8-Suspiciousness

177 38 32
                                    

Bel istirahat telah berbunyi, setelah memasukkan buku-buku ke dalam laci, Sesya bergegas pergi menuju perpustakaan yang terletak di lantai dua. Secara otomatis langkahnya bergerak menuju kursi kosong yang terletak di sebelah jendela besar yang langsung menghadap lapangan basket.

Tempat favoritnya setelah atap untuk melihat permainan basket Dana, tetapi ada yang berbeda hari ini. Tidak ada sosok lelaki jangkung berseragam basket oren-hitam dengan nomor punggung dua di sana. Kedua netra milik Sesya celingak-celinguk untuk mencari keberadaan Dana, tapi nihil.

Ke mana, ya?

“Cari siapa?”

Sesya segera membalikkan saat mendengar suara berat di belakangnya. Senyumnya langsung merekah lebar saat mendapati Dana berdiri di sana. “Kak Dana? Gak main basket?”

“Oh, kamu nyariin aku, ya?” tanya Dana lalu mengambil tempat di sebelah Sesya.

“Ih bukan gitu, cuma ….”

“Cuma? Cuma apa ayo?”

Sesya memainkan jari-jemarinya gugup. “Sebenarnya, iya, sih, habisnya permainan basket Kak Dana ‘kan keren.”

Dana terkekeh geli, lalu menepuk-nepuk pelan puncak kepala Sesya. “Makasih pujiannya, kalau kamu mau aku bisa ajarin kamu main basket,” tawarnya.

Bola mata Sesya menatap Dana berbinar-binar. Tawaran dari Dana sangat menggiurkan dan diajari basket oleh Dana adalah salah satu impiannya selama ini. Namun, mengingat daya tahan tubuhnya yang tidak memungkinkan.

“Hm, mau sih, Kak, tapi aku gak begitu suka olahraga.”

“Kelihatan, sih. Kamu sukanya pasti baca novel ‘kan?” terka Dana

“Wah, hebat! Kak Dana kok tahu, sih?”

Lagi-lagi Dana dibuat tertawa dengan tingkah Sesya. “Kemarin ‘kan kamu pinjami aku novel ke aku. Lupa, ya?”

“Astaga! Maaf, Kak. Aku pikunan orangnya, tapi omong-omong selera Kak Dana unik, ya. Sekarang mana ada cowok-cowok yang mau baca novel, apalagi kalau novel klasik, udah tebel terus bosanin,” ungkap Sesya.

“Iya, Sya, kamu bener,” kekeh Dana setuju. “Tapi kamu gak kalah unik, zaman sekarang anak perempuan pada suka sama dunia hiburan Korea, sedangkan kamu malah hobi baca novel klasik sama nongkrong di warungnya paman Hasan,” sambungnya lagi dengan diakhiri candaan.

Sontak Sesya membulatkan mata lebar. “Eh, Kak Dana lihat aku pas lagi makan di warung paman Hasan?” tanya Sesya merasa terkejut. Pasalnya ia suka bersikap tidak tahu malu saat makan di warung Hasan.

Rasanya ia ingin menghilang saja dari bumi ini daripada harus menahan malu di depan Dana, idolanya yang kelak akan naik tingkat menjadi suami di masa depan.

“Iya, Sya. Aku selalu lewat jalan belakang kalau pulang dan pergi, karena lebih dekat dari rumah. Aku juga selalu ngelihat kamu di halte bus pas aku balik ke sekolah buat latihan basket,” cerita Dana, membuat kadar malu pada diri Sesya semakin meningkat.

“Kak … Dana juga lihat aku pas nunggu bus, ya?” tanya Sesya pelan.

Dana mengangguk lalu tertawa kecil. “Kamu suka banget, ya, sama siomay sampai bungkus lagi?” tanyanya diakhiri kekehan.

“Ih, enggak, Kak. Itu 'kan buat Filo anak ki-nya adik ayahku hehe,” jawab Sesya dalam sekali tarikan napas.

Ck, kenapa mulut ini suka banget keceplosan, sih! kesal Sesya.

“Filo? Oh, iya, sepupu kamu itu ‘kan? Kayaknya kamu dekat banget sama dia, ya.”

Sesya menganggukkan kepala antusias. “Banget, Kak. Soalnya kami satu server, dia itu kayak aku versi cowok. Bedanya, sih, dia jago masak makanan Chinese.” Sesya menceritakan Filo, tapi hanya sebagian kecilnya saja.

GratiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang