19-Surreptitious

134 33 8
                                    

Jam istirahat berbunyi. Berbeda dengan hari-hari biasa, Dana yang sering menghabiskan jam istirahat di perpustakaan, warung milik Hasan, lapangan atau atap sekolah. Namun, hari ini ia memilih untuk beristirahat di kantin, menyantap soto ayam sembari membaca novel ‘The Time Traveller’s Wife’ karya Audrey Niffenegger yang dipinjam dari Sesya beberapa waktu lalu.

Sebenarnya Dana tidak suka ke kantin, tapi perutnya tidak bisa diajak kompromi dan terus berdemo minta diisi.

“Kak Dana? Kak Dana makan di kantin juga?”

Dana mengangkat kepala dan seketika raut wajahnya langsung berubah kecut saat mendapati Arel telah mendaratkan bokong di depannya.

Inilah salah satu alasan mengapa ia tidak suka ke kantin.

“Kak Dana makan apa?”

“Yang kamu lihat apa?” balas Dana dingin.

Arel tersenyum kikuk lalu menyibak rambut ke belakang telinga. “’Kan mau basa-basi dulu, Kak. Hm, rasanya gimana? Kalau menurut Kakak enak, aku mau pesan soto ayam juga.”

“Kalau tidak bisa diam, silakan pergi,” tegas Dana, membuat nyali Arel sedikit menciut.

Meski sering kali bersikap acuh bahkan cenderung kasar, tapi Arel tidak juga putus asa dan menyerah untuk mengerjarnya, malah semangat gadis itu justru semakin membara. Dana terkadang heran, terbuat dari apa hati Arel.

Time traveler? Atensi Arel beralih pada buku yang berada di tangan Dana.

“Kak Dana suka buku itu?” tanya Arel sambil mencondongkan badan ke depan.

“Hm,” sahut Dana cuek lalu menutupi wajah dengan buku itu.

“Kakak tahu gak kalau ayahku itu profesor?” tanya Arel yang hanya dijawab dehaman Dana. “Tahun ini ayahku lagi ngerjain proyek mesin waktu loh.”

Mendengar itu, Dana malah tertawa renyah. “Kamu kira aku bisa dibohongi. Yang lagi ngerjain proyek mesin waktu itu Profesor Lee. Memangnya Profesor Lee itu ayahmu?”

“Bukan ta-“

“Nah.” Dana mengedikkan bahu.

“Memang bukan ayahku, tapi dia pamanku, dia adik ayahku.”

Dana menurunkan buku lalu menatap Arel dengan tatapan menyelidik. “Jangan berbohong, Rel. Aku gak suka sama cewek yang suka bohong kayak kamu.”

Arel memutar bola mata malas. “Apa aku harus bawa foto keluargaku ke sini? Atau aku harus bawa kartu keluarga nenekku dulu ke sini biar Kakak percaya sama aku?” Ia mulai kesal.

“Oke, jangan marah. Aku cuma memastikan.”

“Mana bisa aku marah dengan Kakak, tapi Kakak kok tau sih tentang proyek mesin waktu itu? Kakak ikutin, ya?”

Dana mengangguk. “Aku tertarik dengan mesin waktu, makanya aku penasaran dan excited sekali saat tahu di Bengkulu ada proyek sebesar itu.”

Senyum Arel langsung mengembang mendengarnya. Kali ini ia punya topik baru untuk berbicara lebih lama dengan Dana.

Si tua Bangka itu akhirnya berguna juga untuk dekati Dana.

“Ohiya, ka-“

“Hei, Sya,” potong Dana reflek saat melihat Sesya yang tengah berjalan menuju ke meja tempat ia dan Arel duduk. “Tumben kamu ke kantin. Gak bawa bekal?”

Sesya tersenyum canggung sambil menggeleng pelan. “Ada sesuatu yang mau aku omongin, Kak.”

"Kamu mau ngomong di mana?” tanya Dana dan Sesya langsung menggeleng.

“Bukan, bukan sama Kak Dana tapi ….” Sesya melirik ke arah Arel. “Ada yang mau aku omongin dengan Arel, Kak.”

Baik Arel maupun Dana tampak terkejut mendengar ucapan Sesya. Arel tersenyum sinis. “Mau apa? Bicara aja di sini.”

“Gak bisa, Rel. Kita omonginnya di taman aja, gimana?” tawar Sesya memberanikan diri.

Kalau tidak ada Dana, mungkin sekarang Arel tangannya sudah mendarat di kepala Sesya karena berani membantah. Namun, demi menjaga image baik, terpaksa Arel mengiyakan tawaran Sesya.

“Aku ke taman dulu, Kak. Kakak di sini aja, ya? Nanti aku ke sini lagi,” pamit Arel, tapi Dana tidak mengubrisnya.

***

Hampir sepuluh menit Sesya dan Arel duduk saling berdampingan di bangku panjang taman sekolah. Namun, tidak satu pun dari mereka yang mengeluarkan suara.

Baik itu Arel yang duduk di ujung kanan atau Sesya yang duduk di ujung kiri. Padahal ia yang mengajak Arel untuk ke taman.

Arel membuang napas kasar lalu melipat tangan di depan dada. “Dalam hitungan ketiga enggak ngomong, aku pergi.”

“Satu ….”

“Du-“

Sesya menggigit bibir bawahnya. “Masalah kemarin. Aku mau tanya sesuatu.”

Arel memutar bola mata malas. “Cuma ngomong gitu aja susah banget. Mau tanya apa kau? Awas aja kalau gak penting.”

“Aku mau tahu aja tentang laki-laki kemarin.”

“Siapa?”

“Ng … itu yang muncul di atap di … hari itu,” jawab Sesya ragu. Kilasan peristiwa hari itu kembali terputar di memori kepalanya.

“Oh, Edo maksudnya?”

Sesya langsung terdiam. Ia ingat betul yang di atap hari itu adalah Filo. Ya, mereka memang mirip tapi ia seratus persen yakin bahwa hari itu yang datang adalah Filo, bukan Edo.

“E-Edo?”

“Iyalah, siapa lagi. Aneh sih, kenapa dia ada di sini padahal dia bukan murid sekolah ini.” Arel menyilangkan kakinya. “Lebih anehnya kenapa dia malah belain kau. Cepat jujur, kau kenal dia dari mana?”

Sesya menggelengkan kepala. Bingung harus menjawab apa, karena lelaki yang membantunya kemarin bukan Edo melainkan Filo. “A-aku gak tahu.”

“Kalau gak kenal kenapa dia nolong kau? Sampe ngancam aku segala lagi, kalau bukan karena dia sepupuku udah aku aduin ke ayah dia.”

“Se-sepupu?”

“Iya, kenapa emangnya?”

Apalagi ini?


---

Kenyataan apa lagi iniii? Kembaran anakku adalah sepupu dari saingan aku dalam merebutkan suamiku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kenyataan apa lagi iniii?
Kembaran anakku adalah sepupu dari saingan aku dalam merebutkan suamiku.


GratiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang