20-Topaz's Room

141 30 1
                                        

Tap … tap … tap

Bunyi derap sepatu Sesya yang tengah berlari masuk ke dalam apartemen. Gadis itu lalu duduk di lobi utama apartemen yang ditinggali Biru, juga Edo. Ia menatap arloji di pergelangan tangan kirinya. Jarum jam baru menunjukkan pukul sepuluh kurang lima belas menit.

Ah, hampir aja telat.

Menurut infomasi yang didapat dari Biru, Edo selalu pergi latihan jam sepuluh pagi setiap hari sabtu dan minggu. Demi menyatukan kepingan puzzle yang tidak beraturan, Sesya rela  berbohong pada Hanna, ibunya.

Sesya mengambil napas dalam lalu mengambil cermin kecil dari dalam totebag hitamnya lalu berkaca sambil merapikan anak-anak rambutnya yang berantakan. Namun, tanpa sengaja wajah Edo terpantul di cermin itu.

Ia sontak melihat ke belakang dan benar saja, Edo benar-benar ada di belakangnya. Lelaki itu tampak santai melangkah menuju pintu keluar.

Tidak mau ketinggalan, Sesya langsung memasukkan cermin ke dalam totebag lalu buru-buru mengejar Edo sebelum ia semakin jauh.

“Tung-“

Tiba-tiba Edo menghentikan langkah kakinya, membuat Sesya tanpa sengaja menabrak case gitar di punggung Edo.

“Aw, astaga!” Sesya meringisi sembari mengusap-usap dahinya yang agak merah.

“Oh, sorry-sorry. Aku gak sengaja, kamu gak papa?” tanya Edo merasa bersalah. Pasalnya di dalam case itu ada gitar dan pasti sakit rasanya terantuk gitar.

Sesya mengangkat wajah lalu menyengir lebar. “Gak papa kok, cuma perih dikit doang.”

“Syukurlah ... ng ... tapi mukamu gak asing.” Edo mengerutkan dahi, memasang raut wajah serius seakan sedang berpikir keras. “Oh iya, aku ingat. Kamu cewek yang di swalayan kemarin ‘kan? Penggemar aku, iya ‘kan?”

Siapa yang mau jadi penggemarmu, sih. Sesya hanya tersenyum tipis lalu mengangguk pelan. “Hm, jadi begini, aku ada tugas dari sekolah. Apa kamu mau membantuku?”

“Tugas apa? Memangnya ada yang bisa aku bantu?” Edo bertanya balik.

“Iya, aku butuh kali bantuanmu. Jadi, aku disuruh bikin artikel tentang idolaku dan karena aku hm … penggarmu jadi apa aku boleh wawancara kamu untuk isi artikelku?” pinta Sesya berbohong. Mana ada tugas seperti itu.

“Wah, boleh-boleh. Anak-anak pasti senang, gimana kalau kamu ikut aja aku ke tempat latihan? Sekalian lihat gimana kami pas lagi latihan. Mau?” tawar Edo yang langsung dijawab dengan anggukan penuh semangat oleh Sesya.

Mana mungkin Sesya menyia-nyiakan kesempatan besar ini. Inilah waktu yang tepat untuk mengorek informasi apa saja tentang Edo lalu menyusun kepingan puzzle yang berantakan itu.

Okay, nanti kami bakalan tampilkan yang terbaik jadi tolong buat artikel yang bagus, ya. Jangan lupa untuk tunjukin ke aku hasilnya.”

“Eh?” Sesya tertawa renyah. “Hehe oke deh.”

Bukan hanya wajah, bahkan sifat Edo pun sama menyebalkan seperti Filo. Ah, omong-omong ke mana lagi anak itu? Apa dia kembali ke masa depan lagi? Ih, aku kan pengen ikut.

***

Setelah berjalan kaki selama beberapa menit akhirnya Sesya dan Edo sampai di sebuah kafe kecil di pinggir jalan besar. Kafe itu terlihat sangat aesthetic dan ramai didatangi oleh pengunjung padahal hari masih terlalu pagi.

Mereka berdua masuk dan langsung menuju sebuah ruangan di dekat dapur. Ada sebuah papan kayu kecil tergantung di depan pintu, bertuliskan ‘Topaz’ yang diukir dengan tinta hitam.

“Kami latihan di sini, Sya,” ucap Edo sebelum masuk.

Sesya manggut-manggut paham. “Tempatnya nyaman, ya.”

Yup, you’re right. Kebetulan kafe ini punya kakaknya Tristan, guitarist Topaz. Makanya kami diizinkan pakai ruangan ini buat latihan.”

“Wah, gratis dong?”

Edo terkekeh mendengarnya. “Mana ada yang gratisan di dunia ini. Sebagai bayaran, kamu selalu perform di sini tiap malam minggu.”

Sesya manggut-manggut paham. Mereka juga bertemu di malam minggu dan di tempat yang sama. “Oh, gitu, ya. Tapi gak papa kalau aku masuk ke dalam?”


“Santai aja, its okay. Aku yang ajak kamu, lagian kamu juga mau nulis artikel tentang kami ‘kan?” tanya Edo memastikan dan Sesya mengangguk.”Nah, tunggu apa lagi. Yuk, masuk! Tapi siapkan batin, ya.”

“Hah? Memangnya kenapa? Hm … temanmu galak-galak, ya?”

Edo terkekeh lagi. “Bukan, tapi ganjen karena kelamaan jomblo.” Ia lalu menarik kenop daun pintu itu dan membukanya lebar. Mereka berdua langsung disambut dengan pemandangan tiga orang lelaki yang tengah memainkan instrument masing-masing.

“Woi, la-eh ada cewek, pacar kau?” tanya seorang lelaki berkulit paling gelap dibandingkan yang lain.

“Bukan, cuma penggemar." Edo dan Sesya melangkah masuk. "By the way, Sya, kenalin yang itam ini namanya Aditya, dia gitaris. Yang kecik ini namanya Samuel dan yang sok ganteng ini namanya Tristan, adik yang punya kafe,” ucap Edo memperkenalkan teman-temannya.

“Oh, halo.” Sesya melambaikan tangan kaku. “Perkenalkan nama aku Sesya Ornella, kalian bisa panggil aku Sesya.”

“Kenalan gak sah kalau gak jabat tangan tahu!” Tristan hendak menjabat tangan Sesya. Namun, Edo dengan cepat menepis tangan Tristan sebelum ia sempat menyentuh Sesya. “Apaan? ‘Kan bukan cewek kau.”

“Memang bukan, tapi dia ke sini buat bikin artikel tentang kita. Jadi, jangan macam-macam!” peringat Edo.

“Anjir! Bakalan debut di artikel dong aku,” seru Aditya, membuat Sesya terkekeh geli.

“Udah, jangan pada banyak bacot! Cepat atur posisi, kita harus kasih penampilan terbaik buat tamu VVIP kita,” komando Edo.

Lalu Edo memberikan Sesya sebuah kursi plastik. “Duduk di sini aja, Sya, biar gak capek berdiri. Kamu ‘kan tamu VVIP.”

“Makasih, F-Do.”

Masing-masing mereka mulai mengambil posisi. Dalam hitungan ketiga, alunan musik masuk perlahan ke dalam daun telinga Sesya, disusul dengan suara berat Edo yang terdengar lembut dengan iringan instrumen.

Sesya menikmati tiap bait lirik yang keluar seraya bertepuk tangan riang. Wajah Filo terlihat samar guratan paras Edo. Sejak kejadian di atap hari itu hingga kini mereka belum bertemu lagi. Relung hatinya semakin bergetar ragu.

Kamu siapa, sih?


---

Bye, aku mau jalan bareng Filo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bye, aku mau jalan bareng Filo.


GratiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang