Pagi-pagi sekali Biru telah siap dengan seragam dan ransel hitam tersangkut di atas pundak. Jam di pergelangan tangan kirinya baru menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Tidak biasa Biru berangkat sepagi ini.
Namun, berbeda dengan hari ini. Ada sesuatu yang harus dipastikan olehnya.
Koridor lantai satu masih sangat sepi. Hanya terlihat beberapa murid yang berlau-lalang di sana. Biru melangkahkan kedua tungkai menuju ujung koridor. Matanya memicing saat mendapati daun pintu kelas sedikit terbuka. Bertanda kalau sudah ada yang lebih dulu datang.
Seulas senyum miring muncul di bibir tipis Biru sebelum ia melangkah masuk ke dalam kelas. "Sedang apa di meja Sesya?"
Braak ...
Sebuah spidol jatuh dan bergelinding ke arah Biru. Perlahan gadis berambut pendek itu membalikkan tubuhnya ke belakang.
"Aku tahu kamu orangnya." Biru memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana lalu berjalan mendekati gadis itu. "Dari awal aku duduk sama kamu. Aku udah tahu kalau kamu orangnya,"
"... Cindy."
Cindy menelan ludah samar. "B-bukan aku. Bukan aku yang coret-coret meja Sesya."
Biru membungkuk untuk memungut spidol yang jatuh. "Lalu bisa jelaskan ini?"
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut gadis mungil itu. Ia bahkan tidak berani menatap wajah Biru yang tengah menatapnya sangar.
"Gak usah bohong lagi! Kamu udah tertangkap basah. Cuma kamu yang punya spidol ini, karena kamu sekretaris kelas ini."
Cindy tersenyum sinis. "Mana ada sekretaris yang nulis pake spidol permanent. Kamu tahu sendiri 'kan kalau yang nyoret meja Sesya itu pake spidol permanent."
"Aku tahu."
"Kalau ta-"
"Dan aku juga tahu kalau yang kedua kamu coret meja Sesya pakai cat air yang susah dihapus, aku juga lihat di kotak pensil kamu," ucap Biru seraya menatap Cindy tepat di kedua manik hitam legamnya. "Aku cuma gak tahu alasannya. Kenapa?"
Cindy terdiam sejenak sebelum menarik napas panjang memberanikan diri menatap netra Biru. "Kalau aku bilang aku diancam sama orang lain apa kamu percaya?"
"Ya." Biru lalu mengangkat sebelah alisnya. "Siapa yang nyuruh?"Cindy terdiam lagi untuk beberapa detik. "Arel, mantanmu, dia yang suruh aku untuk menganggu Sesya dan dia juga yang ngancam akan keluarkan aku dari sekolah kalau gak menuruti perintahnya."
"Dan kamu takut sama dia?"
Pertanyaan Biru berhasil memancing amarah Cindy. "Kamu gak tahu, ya, kalau mantanmu itu kayak orang gila. Kamu gak ingat ada berapa banyak orang yang keluar dari sekolah karena dia?"
Cindy lalu tertawa sinis. "Kamu pasti juga gak tahu segila apa dia waktu menindas orang lain." Ia kemudian menggulung lengan kemeja sekolah, menunjukkan lebam-lebam serta bekas luka yang tercetak jelas di atas lengan, membuat Biru terperanjat kaget saat melihatnya.
"Itu per-"
"Iya, ini perbuatan Arel, karena aku pernah nolak perintahnya." Cindy mendesah berat lalu menutup balik lengannya. "Aku gak sejahat itu sama Sesya. Aku terpaksa," lirihnya.
Biru hanya terdiam, mencoba untuk mencerna ucapan Cindy. Separah itukah?
"Aku minta maaf," ujar Biru.

KAMU SEDANG MEMBACA
Gratia
Fiksi RemajaSesya hanyalah seorang murid Mageìa High School biasa yang memiliki kisah hidup monoton. Tak ada yang menarik dari hidupnya hingga sosok lelaki mendatanginya dan mengaku sebagai anaknya dari masa depan. Benarkah lelaki itu adalah anaknya dari masa d...