Kata maaf saja mungkin tidak bisa menyembuhkan goresan luka di hati, tetapi hanya dengan memaafkan dapat mengangkat segala beban yang menggerogoti dada. Begitu yang dialami Sesya.
Kini pundak Sesya terasa lebi lega ketika beban pikiran yang selama ini dipikulnya perlahan menghilang bersamaan dengan berjalannya waktu. Gadis itu kini bisa sepenuhnya memfokuskan diri pada ujian akhir. Ah, masa putih abu-abunya sebentar lagi akan berakhir.
Dunia perkuliahan akan segera menyambutnya. Berbicara perihal perkuliahan, keadaan batin Sesya kini serasa diaduk-aduk seperti es campur. Perasaan gelisah, takut dan bingung bercampur menjadi satu.
Kedua kelereng cokelatnya mengedarkan pandang ke tiap sisi kafe, menilik satu per satu pengunjung yang rata-rata adalah mahasiswa. Mereka tampak fokus menatap layar laptop dan jari-jemari yang lincang mengetik sesuatu di sana.
Sesya mendesah dengan nafas berat, ditutup layar laptop miliknya lalu menyeruput vanilla latte yang tinggal setengah.
"Udah selesai ngisinya?"
Sesya mengangkat wajah,, menatap Edo yang baru saja mendaratkan bokong di kursi depannya. Lelaki itu meletakkan gitar di lantai lalu mencuri sedikit vanilla latter milik Sesya.
Semesta sedang berbaik hati pada Sesya. Di saat kebingungan sedang melanda, semesta mengirimkan Edo padanya. Hari ini gadis itu pergi ke kafe kecil tempat mereka pertama kali bertemu, menenangkan diri sekaligus mengisi pilihan jurusan untuk ujian masuk kampus.
Siapa sangka ia malah bertemu dengan Edo yang akan mengisi performa di sana.
"Itu punyaku tahu!" kesal Sesya.
"Tahu kok." Edo menyengir seakan 'tak berdosa. "Aku haus, Sya, kalau pesan nyar lama, keburu hilang hausnya.
"Iya deh, terserah. Kamu emang paling jago ngelak." Sesya mendengus kesal lalu menggigit roti bakar cokelat yang tersisa sedikit. Untung saja Edo tidak ikut mengautnya masuk ke dalam perut.
"Gimana, Sya? Udah selesai ngisinya?"
Lagi-lagi Sesya mendesah berat seraya menggelengkan kepala. "Aku bingung mau pilih jurusan apa, Do. Kamu punya saran gak?"
"Saran sih banyak, tapi belum tentu sesuai dengan passion-mu. Takutnya nanti malah bikin kamu kesulitan."
"Hm, passion, ya." Sesya mengetuk-ngetuk dagu dengan telunjuk. "Nyerah deh! Aku enggak tau passion-ku apa. Jangankan passion, tujuan hidup aja gak ada. Hidupku itu kayak air, mengalir aja gitu."
"Untuk apa kamu hidup kalau enggak ada tujuan?" Edo mengangkat kedua alisnya. Sesya dibuat bingung dengan pertanyaannya. "Mau tau tujuan hidupku gak?"
Sesya mengangguk-angguk penuh semangat. "Mau-mau, mana tahu bisa jadi referensi." Ia menyengir.
"Kayaknya enggak bisa dijadiin referensi deh, karena tujuanku mau bikin album yang keren dan bisa adain konser bareng anak band. Mau buktiin ke ayah tanpa sains pun aku juga bisa sukses dan tunjukkan kalau seni adalah jalanku."
"Aku yakin kamu bisa, karena kamu Edo."
Edo tersenyum tipis. "Kamu tahu gak? Aku dan Arel itu sering kali dibeda-bedain dengan sepupu kami, karena mereka pada jago-jago semua bahkan sampai ikut olimpiade tingkat internasional."
"Wah, keren!" puji Sesya tanpa sadar. "Eh, maaf-maaf, maksudku enggak gitu kok, Do," ucapnya meluruskan.
Edo tertawa renyah. "Gak perlu minta maaf kali, Sya, nyatanya mereka memang keren, aku akui itu, tapi aku enggak suka dibeda-bedakan begitu. Tiap orang punya jalan masing-masing untuk bersinar. Seperti matahari dan bulan, gak bisa dibandingkan karena mereka akan bersinar pada waktunya."
![](https://img.wattpad.com/cover/242842550-288-k513286.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Gratia
Novela JuvenilSesya hanyalah seorang murid Mageìa High School biasa yang memiliki kisah hidup monoton. Tak ada yang menarik dari hidupnya hingga sosok lelaki mendatanginya dan mengaku sebagai anaknya dari masa depan. Benarkah lelaki itu adalah anaknya dari masa d...