Sesya hanyalah seorang murid Mageìa High School biasa yang memiliki kisah hidup monoton. Tak ada yang menarik dari hidupnya hingga sosok lelaki mendatanginya dan mengaku sebagai anaknya dari masa depan.
Benarkah lelaki itu adalah anaknya dari masa d...
Suasana sunyi menyelimuti kelas Sesya, seakan tidak ada kehidupan di dalam sana. Hampir seluruh isi kelas memilih menghabiskan waktu istirahat di kantin, lapangan, perpustakaan atau di mana saja, kecuali di kelas.
Hanya tersisa Sesya yang tengah tidur pulas di kursi bagian paling belakang. Dulu itu adalah bangku milik Biru, tapi kini telah menjadi hak miliknya. Biru sendiri yang melarang ia untuk duduk kembali dengan Cindy. Biru tidak mau ada pertengkaran yang kedua antara mereka berdua.
“Aw, dingiin!” Sesya reflek bangun saat merasakan metal dingin menyentuh kulit lehernya. Ia lalu mengusap tengkuk yang basah akibat ulah Jicko.
“Nih, minum biar gak ngantuk.” Jicko menyodorkan sekaleng cola pada Sesya kemudian duduk di atas meja sebelahnya.
“Dimana-mana kalau mau ngusir ngantuk pakai kopi bukan pakai cola,” protes Sesya.
“Iya, sama-sama,” sahut Jicko sarkas.
Sesya memutar bola mata malas. “Kamu ada perlu apa?”
“Emang kalau mau ngomong sama ‘bestfiend’ harus ada keperluan dulu? Gak sekalian bikin janji jauh-jauh hari juga?”
“Ih, bukan gitu. Maksud aku ini.” Sesya mengangkat kaleng cola pemberian Jicko. “Ini maksudnya apa? Kamu mau apa?”
“Astaga! Negatif terus pikirannya. Ck-ck, padahal aku kasih cola biar kamu ada semangat hidup,” jawab Jicko membela diri.
“Aku ‘kan selalu semangat.”
“Dasar manusia gak tahu diri. Padahal dari datang sekolah aja loyo kayak mayat hidup baru bangkit dari kubur.”
Sesya menyengir lebar. “Tapi makasih, ya, Jick. Kapan-kapan aku traktir balik deh.”
“Boleh kali, Sya, tapi yang beli cola ini si Biru bukan aku. Aku mana mampu, duit jajan aja pas-pasaan,” ucap Jicko sekaligus mencurahkan isi hati secara terselubung.
Sesya hanya tertawa renyah lalu menatap kaleng cola yang ternyata pemberian dari Biru. Berbicara tentang Biru, ia jadi teringat kembali kilasan peristiwa tadi malam. Untuk pertama kali ia bertemu dengan Edo, sosok lelaki yang sangat mirip dengan anaknya, Filo.
Haruskah aku ke atap untuk memastikan? Tapi … kalau Filo gak ada lagi gimana? Ah, bodo ah.
“Jicko,” panggil Sesya.
“Apaan?”
“Aku mau minta tolong. Boleh ‘kan? Ntar aku traktir siomay deh.”
Kini malah Jicko berbalik menatap Sesya curiga. “Minta tolong apa? Aku mencium bau-bau busuk nih.”
“Nanti kalau bu Isma absen namaku, tolong bilang aku lagi di UKS, ya,” pinta Sesya sambil memasang raut wajah memelas.
“’Kan bener, kamu mau bolos ‘kan?”
Sesya langsung menggeleng kuat. “Bukan bolos tapi izin gak ikut kelas. Sekali doang.”
“Sama aja.”
“Iya-iya, tapi tolong izinin aku, ya,” pinta Sesya lagi.
“Hm … siomay dua porsi tambah batagor satu, ya.”
Sesya langsung menyengir lebar. “Siap. Kalau gitu aku pamit dulu. Makasih, Jick.” Ia langsung memasukkan buku-buku ke dalam ransel lalu bergegas pergi. Tujuannya adalah atap sekolah.
***
Waktu pulang sekolah tiba. Sesya langsung menyeret langkah pulang kembali ke rumah. dari raut wajahnya yang kusut dapat ditebak kalau ia tidak bertermu dengan Filo di atap sekolah tadi.
Flashback
Setelah berpamitan dengan Jicko, Sesya bergegas pergi, menaiki satu per satu anak tangga dengan terburu-buru. Sesampainya di atap, ia sama sekali tidak melihat keberadaan Filo. Bahkan ia sudah mengelilingi tiap sudut untuk mencari. Namun, nihil.
Tidak berselang lama, terdengar suara langkah kaki mendekat. Sesya pikir itu adalah Filo, tapi saat ia membalikkan badan ….
“Kak Dana?”
Lagi-lagi Dana, padahal yang dicari-cari adalah Filo. Dan setelah mendengar pernyataan pahit kemarin, Sesya tidak bisa menutupi lagi raut wajah kecewa di wajahnya.
“Lagi cari sesuatu?”
“Bukan urusan Kak Dana.”
Dana mengernyit bingung. “Kalau memang lagi cari sesuatu, mau kubantu?”
“Gak usah, Kak.”
“Kamu aneh banget hari ini. Ada masalah?”
Masalah aku itu kamu tahu! batin Sesya.
“Gak ada, Kak!” jawab Sesya sedikit ketus.
Dana terdiam sejenak lalu menggaruk tengkuknya, bingung pada sikap Sesya yang tiba-tiba berubah ketus. Padahal selama ini Sesya selalu bersikap manis padanya.
“Sya, a-“
Teettt …
“Oh udah bel, aku pamit pulang dulu. Permisi, Kak.”
Untunglah bel berbunyi, menyelamatkan Sesya dari rentetan pertanyaan yang akan menyerbunya. Jadi ia langsung pergi sebelum Dana sempat mencegat langkahnya.
Langkah Sesya berhenti di depan taman di dekat rumahnya. Ia melangkahkan kedua tungkai menuju ayunan lalu duduk di sana. Ia butuh udara segar saat ini.
“Huh, menyebalkan! Dasar cowok menyebalkan!” kesal Sesya sambil menendang-nendang pasir dengan ujung sepatunya.
Tanpa ia sadari sepasang kaki tengah melangkah mendekatinya lalu berhenti tepat di depan Sesya. Gadis itu mengangkat wajahnya dan ….
“Filo?”
Kedua mata berbentuk bulan sabit itu menatap Sesya sambil menyengir lebar. “Halo, Ma. Do you miss me?”
“Dasar anak durhaka!” umpat Sesya kesal lalu menendang tulang kering Filo, membuat si empunya meringis kesakitan.
“Aw, sakit, Ma.”
“Biarin, makanya siapa suruh menghilang. Gak tau, ya, gimana susahnya aku nyari kamu. Di atap sekolah gak ada, di rumahku juga gak ada, kamu tuh dari mana sih, Fi?” tanya Sesya.
“Im sorry, Ma.” Filo mengambil tempat di ayunan sebelah Sesya. “Aku … kembali ke masa depan sebentar.”
Sesya mengerutkan dahi. “Ngapain? Kenapa gak ajak aku? Aku ‘kan juga mau ke masa depan.”
Filo mengulum senyum tipis. “Bukan apa-apa. By the way, gimana kelanjutan hubungan Mama dan ayah? Aku udah lama gak dengar cerita kalian berdua.”
Raut wajah Sesya kembali kusut saat mendengar pertanyaan Filo. Baru saja mood-nya naik karena bertemu dengan Filo. Namun, kini jatuh kembali saat mendengar nama ‘Dana’ disebut-sebut.
“Kenapa mukanya malah kusut?” tanya Filo peka.
Sesya mendengus kesal. “Aku kesal tahu!”
“Why?”
“Masa selama ini kak Dana cuma anggap aku adiknya aja. Padahal dia udah bersikap manis kali sama aku. Dia suka elus kepala aku, bahkan pegang tangan aku. Masa cuma dianggap adik sih, Fi? Nyebelin kali ‘kan!” cerita Sesya dengan mengebu-ngebu, meluapkan segala perasaan yang menumpuk di dada.
Bahkan aku juga sampai di-bully sama Arel karena dia, sambungnya di dalam hati.
“Oh jadi karena itu muka Ma-uhuk … uhukk ….” Filo tiba-tiba batuk.
“Eh? Kamu gak papa? Mau minum?” tanya Sesya khawatir sambil mengelus-elus punggung Filo. “Astaga! Mukamu pucat kali, Fi.”
“Gimana gak khawatir kalau kamu kelakuannya minta dikhawatirin terus. Aku tuh kepikiran terus tahu gak sama kamu,” omel Sesya kesal.
“Im sorry, Ma, a-“
”Sorry-sorry, kesel tahu gak, Fi. Kalau kamu ada apa-apa jangan selalu bilang gak apa-apa. Kamu anggap aku apa, sih?”
Melihat Filo hanya diam membuat Sesya jadi merasa bersalah. Ia mendesah berat. “Kalau ada masalah cerita sama aku, kalau kamu sakit bilang sama aku dan kalau kamu mau pergi pamit sama aku. Jangan buat aku kepikiran, Fi. Aku sayang sama kamu.”
Filo mengulum senyum tipis lalu mengangguk. “Maaf udah buat Mama kesusahan karena aku.” Tangannya menjulur, menggapai puncak kepala Sesya lalu mengelusnya lembut.
Seulas garis tipis muncul di bibir tipis saat melihat gelang pemberiannya masih tergantung di pergelangan tangan Filo.
---
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Selain minta dikhawatirin, kamu juga minta disayang terus ya):