Suara kicauan burung terdengar riuh mengitari langit pagi. Mentari besinar cukup terik di minggu ini. Di halaman depan, ada Sesya dan Hanna yang sedang merawat berbagai macam bunga di halaman rumah. Hari ini kedua orang tuanya tidak ada pekerjaan ke luar rumah.
"Sesya, gimana sekolahnya, Sayang?" tanya Hanna sembari menanam bibit baru di dalam pot.
"Baik kok, Bun. Teman Sesya baik-baik semua, gak ada yang galak."
Walaupun lebih banyak yang menyebalkan, sambungnya di dalam hati sambil mengingat kilas peristiwa buruk yang akhir-akhir ini menimpa.
"Bagus kalau gitu. Bunda senang kalau kamu cepat beradaptasi di sekolah baru kamu."
Sesya hanya menyengir mendengar perkataan Hanna. Andai tidak ada Arel mungkin masa sekolahnya tidak akan kacau begini.
"Kemarin malam yang jemput kamu itu siapa? Kok gak dikenalin sama bunda, sih. Bunda kan mau kenalan juga."
"Namanya Biru, Bun. Hm, iya deh ntar kapan-kapan Sesya ajak ke rumah," ucap Sesya sambil menghidupkan keran untuk menyirami bunga-bunga di dekat pagar.
"Pacar kamu?" tanya Hanna tiba-tiba.
"Eh? Enggaklah, Bun. Cuma teman tahu," jawab Sesya meluruskan. Bisa-bisanya Hanna menganggap Biru itu pacarnya, padahal mereka hanya sebatas teman. "Dia teman Sesya, sama kayak Jicko yang malam itu pernah antarin Sesya habis pulang kerja kelompok."
"Ya mana bunda tahu, makanya bunda tanya. Kalau gitu jangan-jangan yang di depan itu pacar kamu, ya?"
Sesya menatap Hanna dengan dahi mengerut. "Hah? Yang mana, Bun?" tanyanya.
"Itu yang di luar pintu pagar," jawab Hanna.
Sesya langsung melihat ke arah yang ditunjuk oleh Hanna. Bola matanya membulat lebar dan mulut terbuka sedikit saat melihat Dana berdiri di sana. Ia langsung menepuk dahi dengan telapak tangan. Bagaimana ia bisa lupa kalau Dana akan berkunjung minggu ini.
"Kamu kenal gak?"
Sesya mengangguk pelan. "Kakak kelas Sesya, Bun."
"Sudah cepat sana bukain pintu." Hanna mengambil alih selang air dari tangan Sesya. "Kasihan dia udah lama di sana."
"I-iya, Bun." Sesya segera berjalan ke depan lalu membukakan pintu pagar untuk Dana. Lelaki itu terlihat semakin tampan dengan kaus garis-garis dan jaket denim di luar. Rambut Dana yang biasa pendek dan rapi kini mulai panjang.
Ganteng banget sih. Sesya menelan ludah samar. Bisa-bisa ia jatuh cinta kembali pada laki-laki ini.
"Selamat pagi, Sya," sapa Dana dengan senyum khas, dan jangan lupakan lesung pipi yang bisa membuat para gadis diabetes.
"S-selamat pagi, Kak. Maaf, ya, aku lama," sahut Sesya diliputi rasa bersalah bercampur malu. "Masuk, Kak." Ia mempersilakan Dana masuk ke halaman rumah.
"Itu ibu kamu, Sya?" tanya Dana saat tidak sengaja melihat Hanna yang tengah menyirami tanaman.
Sesya mengangguk. "Mau disapa, Kak?"
"Boleh?"
Sesya terkekeh geli mendengar respon Dana yang terkesan polos. "Bolehlah, Kak. Masa gak boleh, sih."
Lelaki itu tersinyum simpul lalu mengekori Sesya yang berjalan lebih dulu menuju Hanna.
"Selamat pagi, Bu," sapa Dana ramah sembari menyalami tangan Hanna.

KAMU SEDANG MEMBACA
Gratia
Teen FictionSesya hanyalah seorang murid Mageìa High School biasa yang memiliki kisah hidup monoton. Tak ada yang menarik dari hidupnya hingga sosok lelaki mendatanginya dan mengaku sebagai anaknya dari masa depan. Benarkah lelaki itu adalah anaknya dari masa d...