Bel pulang berbunyi nyaring, membuat murid-murid di kelas bersorak senang di dalam hati. Siapa tidak bosan mendengar ocehan bu Sari tentang rumus-rumus kimia yang begitu memusingkan. Akhirnya setelah hampir dua jam terkurung mereka bebas.
Jicko salah satunya yang antusias. Lelaki itu membenci kimia apalagi bu Sari yang ringan tangan padanya. Lelaki itu langsung memasukkan buku-buku ke dalam ransel. Padahal wanita berusia empat puluh tahunan itu masih belum keluar, ia sedang membereskan barang-barangnya dan tidak lupa membawa pergi sebuah penggaris kayu besar yang sudah menjadi ciri khas-nya.
"Akhirnya pulang!" seru Jicko riang sembari menyisir rambut dengan sisir kecil yang selalu tersedia di saku celana.
"Jick," panggil Sesya.
"Napa?"
"Pulang bareng boleh gak?"
Jicko menoleh sekilas. "Boleh-boleh, mau mampir ke rumah sekalian gak? Ibuku masak gulai tempoyak loh," tawar Jicko yang dibalas gelengan kepala oleh Sesya.
"Gak deh, Jick. Aku nebeng sampai depan apartemen Biru aja."
"Eh?" pekik Jicko, membuat ia jadi objek tontonan penghuni kelas. Untung saja bu Sari sudah keluar. Jika tidak, sudah dipastikan ia pulang dengan bekas pukulan penggaris kayu.
"Hush! Jangan berisik tahu!"
Reflek Jicko menutup mulut dengan telapak tangan. "Maaf-maaf, lagian kamu mau ngapain ke apartemen Biru?" tanya Jicko berbisik.
"Siapa yang mau ke apartemen Biru? Aku bilang aku mau ke depan apartemen Biru, ke swalayan kecil itu loh yang punya ayahnya kak Dana."
Jicko manggut-manggut paham. "Jadi bukan ke apartemen Biru?" tanyanya yang dijawab gelengan oleh Sesya. "Yah, kirain."
"Kirain apa?" tanya Sesya menilik tajam ke lelaki di depannya itu.
Jicko menyengir lebar. "Kirain udah ada rasa sama Biru, tapi ... ngerasa aneh gak sama si Biru?"
"Aneh gimana?" tanya Sesya.
"Jangan bilang-bilang, ya, ini firasatku doang soalnya."
Sesya mengangguk. "Iya, lagian Biru juga gak bisa diajak gibah."
"Ngerasa gak kalau akhir-akhir ini Biru nempel banget sama Cindy?"
"Hm, enggak."
Jicko mendengus kesal. "Udahlah, pulang-pulang. Aku udah lapar."
***
Rintik hujan mulai turun membasahi kota Bengkulu. Perlahan bulir bening turun semakin deras. Terpaksa Jicko harus ikut berteduh bersama Sesya di depan swalayan. Tubuh gadis itu menggigil kedinginan sambil memeluk erat ranselnya.
"Maaf, ya, aku gak punya jaket jadi gak bisa romantisan kayak di dram-drama korea," ucap Jicko membuat Sesya di sampingnya terkekeh geli. "Tapi kalau kamu kedinginan, sih, aku bisa hangatinnya."
Dahi Sesya mengerut mendengarnya. "Hangatin pake apaan?"
"Pakai pelukanlah, sini aku pelukin." Jicko merentangan tangan, menyambut Sesya ke dalam pelukan.
"Mau ditendang, ya?" ancam Sesya.
"Eh, janganlah!" Jicko langsung mengambil jarak lebar di antara mereka berdua. "Orang becanda, jangan beneran dipeluk. Nanti Biru bisa marah."

KAMU SEDANG MEMBACA
Gratia
Fiksi RemajaSesya hanyalah seorang murid Mageìa High School biasa yang memiliki kisah hidup monoton. Tak ada yang menarik dari hidupnya hingga sosok lelaki mendatanginya dan mengaku sebagai anaknya dari masa depan. Benarkah lelaki itu adalah anaknya dari masa d...