Pagi-pagi buta, Sesya sudah sibuk bergelut dengan berbagai macam bahan makanan di dapur. Hanna, ibu Sesya yang baru tiba di rumah merasa bingung melihat tingkah Sesya yang tampak aneh.
Biasanya gadis itu tidak suka bermain di dapur. Namun, hari ini ia tampak bersemangat sekali.
“Kamu ngapain, Sya?” tanya Hanna sambil mengintip hasil masakan Sesya.
“Lagi buat bekal, Bun,” jawab Sesya tanpa mengalihkan pandang dari kotak bekal yang tengah dihiasnya.
“Tumben banget kamu buat bekal sendiri, biasanya juga suruh bunda buat bikin bekal,” curiga Hanna.
“Ih, Bundaa, ‘kan Bunda masih capek masa Sesya suruh bikinin bekal buat Sesya. Lagian Sesya ‘kan udah besar, Bun. Buat bekal kayak gini mah gampang,” jelas Sesya sambil membanggakan diri.
“Hm, masa, sih.” Hanna memicingkan matanya. “Kamu gak mau ngerepotin bunda atau karena kamu mau bikin bekal yang special buat seseorang?” tanyanya menggoda.
Sontak Sesya langsung membalikkan tubuh ke belakang dengan bibir mengurucut ke depan. “Ih bukan gitu tahu, Bun,” elaknya.
Hanna malah tertawa melihat tingkah Sesya. “Bunda becanda, Sya. Udah kamu berangkat sana, nanti telat.”
“Astagaa! Hampir aja, Sesya siap-siap dulu, ya, Bun.” Sesya menutup kotal bekal dan memasukkannya ke dalam ransel. Setelah semua siap, ia langsung berangkat ke sekolah bersama Adam, ayahnya.
Hari ini Sesya tiba lebih pagi. Kedua tungkai jangkung miliknya melangkah riang menyusuri koridor. Tidak sabar rasanya untuk bertemu Filo ketika jam istirahat nanti. Ia ingin tahu bagaimana reaksi Filo saat melihat hasil racikan tangannya pagi tadi.
Selain itu ada hal yang ingin ditanyakan pada Filo, perihal kejadian semalam. Kejadian yang membuatnya tidak bisa tidur nyenyak karena terus menerka apa jawabannya.
Sama atau hanya sekadar mirip saja?
“Hei, Sya.”
Sesya mengangkat wajah. Senyumnya langsung mengembang saat mendapati Dana berdiri di depan kelasnya. Lelaki itu sedang menyenderkan punggung di dinding sambil membaca buku ‘The Little Prince’ miliknya yang dipinjamkan beberapa waktu lalu.
“Selamat pagi, Sya,” sapa Dana sambil tersenyum lebar.
Rasanya jantung Sesya akan melompat ke luar saat melihat lesung pipi milik lelaki itu. “Se-selamat pagi, Kak Dana,” balasnya ‘tak kalah ramah.
“Kak Dana mau ketemu siapa, Kak? Biar aku panggilkan.” Sesya melihat ke dalam kelas melalui jendela kaca. Namun, ia tidak melihat siapa-siapa di sana kecuali Cindy. “Um, Kak Dana mau ketemu Cindy?”
Dana menyengir lebar lalu menggelengkan kepala. “Enggak kok, aku mau ketemu kamu, Sya.”
“Aku?” Sesya menunjuk dirinya sendiri. “Kenapa? Ada perlu apa?”
“Ini.” Dana mengangkat novel yang dipegangnya. “Aku mau kembalikan ini, udah aku baca sampai habis.”
“Oh, cuma mau balikin buku aja, ya.”
Dana mengangguk. “Aku suka banget sama ending-nya. Hm, kamu punya lagi novel-novel klasik begini, Sya?”
“Punya banyak, Kak. Soalnya ayah punya banyak koleksi novel klasik kayak gini, bahkan ayah sampai buat perpustakaan pribadi di rumah buat pajang koleksinya.”
“Benarkah? Kalau gitu apa aku boleh main ke rumahmu?’
Pupil mata Sesya seketika membula lebar, mulutnya terbuka sedikit saat mendengar permintaan Dana. Apakah ini mimpi? Sesya mencubit paha belakang dan rasanya sakit.

KAMU SEDANG MEMBACA
Gratia
Teen FictionSesya hanyalah seorang murid Mageìa High School biasa yang memiliki kisah hidup monoton. Tak ada yang menarik dari hidupnya hingga sosok lelaki mendatanginya dan mengaku sebagai anaknya dari masa depan. Benarkah lelaki itu adalah anaknya dari masa d...