"Danilo terapinya seminggu dua kali ya bu," ujar sang dokter.
Tari mengangguk mengiyakan ucapan sang dokter. Danilo sudah keluar ruangan terlebih dahulu bersama Clarissa.
"Kalo begitu saya permisi ya dok," ujar Tari lalu di balas senyuman oleh sang dokter.
Tari berjalan menyusul yang lainnya. Mereka semua sudah berada di lobby untuk menunggu Tari. "Ayo! Mau langsung pulang apa jalan-jalan dulu?" ujar Tari.
"Jalan-jalan dulu aja Tar," jawab Andra.
"Kemana?" sahut Satria.
"Pantai aja gimana? Lama gak ke pantai," usul Danilo.
"Nah! Boleh tuh!" balas Satria.
"Oke! Sepakat ke pantai ya?" Semua membalas ucapan Andra dengan anggukan.
Satria segera mengambil alih kursi roda Danilo lalu mendorong dan memindahkannya ke dalam mobil. Pantai cukup jauh dari pusat kota.
Mereka membutuhkan waktu hampir 3 jam untuk sampai ke pantai. Sesampainya disana mereka langsung saja di sambut semilir angin pantai.
Panas matahari bukan halangan untuk menikmati indahnya pantai. Rasa lelah selama perjalanan di bayarkan oleh keindahan pantai.
Mereka berlima sepakat untuk pulang saat matahari telah terbenam. Jarang-jarang sekali mereka dapat ke pantai bersama, karena Andra di sibukkan oleh pekerjaannya.
Saat ini mereka semua sedang mengisi perutnya. Makan di pinggir pantai memang sangatlah enak. "Danilo, mau makan apa?" tanya Clarissa.
Danilo tersenyum, "Apa aja, yang penting lo yang suapin."
"Gembelnya aktif ya bun," sahut Satria.
"Canda gembel canda," lanjutnya.
Danilo menatap Satria sinis, "Iri bilang bos! Papale papale pale pale."
"Udah, bunda aja yang pesenin," ujar Tari menengahi.
Tari memesan menu secara acak. Tak berselang lama pesanannya datang, meja sangat penuh dengan makanan. Yang Tari pesan rata-rata adalah makanan kesukaannya.
Tak banyak bicara, semua segera melahap makanan yang ada. Jika di tanya mereka lapar atau tidak, jawabannya sangat-sangat lapar.
Selesai makan, Danilo mengajak Rissa berkeliling. Tidak peduli dengan terik matahari yang menyengat.
Bergurau penuh tawa, terlihat seperti dua insan yang sangat bahagia. Dunia seakan-akan hanya milik mereka berdua. Banyak juga yang menatap aneh ke mereka berdua.
Bahkan ada yang berkomentar tentang Danilo yang memakai kursi roda. Danilo sempat terdiam, namun Clarissa berhasil mengalihkannya.
Mereka bermain sampai matahari terbenam.
"Rissa," panggil Danilo.
"Hm?" balas Rissa.
Danilo memegang tangan Clarissa, "Sini, berdiri di depan gua."
Clarissa segera berdiri di depan Danilo, "Kenapa?"
"Aku bukan lelaki yang bisa bersikap romantis. Tidak memiliki keunggulan, serta cacat. Dengan ini, dengan kesederhanaan ku, disaksikan oleh semesta. Didengar oleh bumi beserta isinya, aku ingin mengungkap sesuatu.
"Teruntuk kamu, wanita yang aku sayang. Tiada lelah ku menunggumu dari dulu, hari ini aku ingin memperjelas semua. Perasaan ini masih sama saat aku bertemu denganmu dahulu kala.
"Terkadang sesusah itu merangkai kata. Tanpa menunggu lama, maukah kamu menjadi wanita yang selalu ada di sisiku? Menemaniku di setiap lelah dan bahagiaku."
Danilo mengeluarkan sebuah kotak, "Dengan cincin sederhana ini, aku ingin mengikatmu. Dan maukah kamu menjadi wanita spesial dalam hidupku, Clarissa Tristeza Alhaya?"
Clarissa menutup mulutnya tak percaya. Air mata nya mengalir tanpa izin. Entah dia menangis bahagia atau menangis terluka.
Clarissa mengusap air matanya, "Untuk saat ini aku akan selalu menemanimu tanpa kamu minta. Entah hari selanjutnya akan tetap seperti ini atau berbeda lagi."
"Kenapa?"
Clarissa mengalihkan pandangannya, "Tidak ada alasan untuk itu, semesta selalu berganti kasih dan kisah. Sebesar apapun usahamu jika semesta tidak setuju maka sia-sia saja."
Danilo menunduk, "Kenapa ngomong gitu? Jijik ya haha? Aku udah lumpuh gak bisa jalan."
Clarissa lagi-lagi mengusap air mata nya. "Bukan masalah fisik, bukan masalah hati, tapi ini masalah semesta dan takdir Dan!"
"Kenapa lo ngomongin semesta dan takdir?! Seolah-olah lo tau kalo kita emang gak di takdirin buat bareng!"
"Atau ada orang lain di hati lo Riss?" lanjut Danilo.
"Aku udah bilangkan?! Ini bukan masalah hati! Tapi masalah takdir!" ujar Clarissa.
"Kenapa seakan lo tau semua takdir dan kemauan semesta?! Lo siapa? Lo bukan Tuhan Rissa!" balas Danilo.
Clarissa membalikkan badannya, "Aku mimpi buruk Dan! Aku gak mau kamu pergi! Aku gak mau kehilangan kamu! Puas kamu?!"
Danilo terdiam sesaat, "Tapi gak gini Riss."
"Oh ya? Terus aku harus gimana?!" balas Clarissa.
"Itu cuma mimpi Riss, mimpi cuma bunga tidur. Itu gak bakal terjadi," ujar Danilo berusaha menenangkan Clarissa.
"Nggak Dan! Itu pasti bakal terjadi. Mimpi itu kaya nyata Dan! A-aku takut hikss," balas Clarissa dengan sedikit terisak.
"Percaya sama gua, itu gak bakalan terjadi," ujar Danilo meyakinkan Clarissa.
Clarissa beralih menatap mata Danilo, "Jangan pernah tinggalin aku Dan."
"Iya Rissa," balas Danilo dengan tersenyum.
"Promise?" Rissa menjulurkan jari kelingking nya dan dibalas oleh Danilo. "I'm promise!"
Senyum terukir di wajah mereka. "Eh iya, ini gua masih di gantung in. Jadi ini di terima apa di tolak?" ujar Danilo.
Clarissa menunduk, "Aku gak mau Dan."
"Hah?!"
"Gak mau nolak maksudnya hehe," ujar Clarissa sembari terkekeh.
"JADI? DI TERIMA?!" Clarissa menjawab dengan anggukan.
"YES!!"
"Woy! Alam semesta! Gua di terima! Minta doa restunya ya!" teriak Danilo.
Clarissa terkekeh melihat Danilo yang begitu bahagia. Tanpa membutuhkan waktu lama lagi, Danilo segera meraih jemari Clarissa. Memasangkan cincin yang dia bawa tadi.
"Cincinnya cantik, kaya yang make."
Cupp
Danilo mencium punggung tangan Clarissa sangat lama sekali. Seolah-olah tangan itu hanyalah miliknya, pipi Clarissa merona karena salah tingkah.
"Dan, udah dong. Malu di liatin orang," ujar Clarissa.
Danilo terkekeh, "Malu-malu tapi mau kan?"
"DANILO!!"
"Hahaha! Sini-sini peluk," ujar Danilo.
Tak peduli dengan tatapan beberapa orang, mereka berpelukan disinari cahaya senja yang telah redup.
"Jangan pergi, gua sayang sama lo," ucap Danilo di tengah-tengah pelukannya.
"Sama, aku juga," balas Clarissa.
"Eh iya Riss, kalo udah nikah mau bikin anak berapa?"
•••
tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALONE ✔
AléatoirePada umumnya keluarga adalah rumah kita, namun mengapa berbalik? Mengapa keluarga menjadi neraka bagiku? Tempat dimana seharusnya aku mendapat kehangatan, namun mengapa yang ku dapat siksaan bertubi tubi? Dimana letak keadilan? -Clarissa Tristeza Al...