Flashback off
Aku duduk di sebelahnya seperti biasa, hanya saja perasaannya yang berbeda. Dulu aku dengan sedikit gugup menunggu ledekan kecil darinya. Tetapi setelah kejadian itu, tepat berselang sehari sesudah di ulang tahun darinya. Aku mendapati tamparan keras darinya.
Mungkin itu juga menjadi sebab aku dingin padanya sekarang, aku tidak pernah menunggu lagi senyuman darinya, sekarang yang kutunggu hanyalah waktu yang kapan berakhirnya. Dulu aku ingin berlama dengan waktu, namun sekarang aku ingin sekali mempersingkatnya. Kurasa semuanya sudah tampak beda, aku melakukan ini semua pun demi kebaikannya.
"Dia yang Lo suka itu Yasmin? Si dingin yang nggak jelas ninggalin Lo secara kasar sampai membekas!" Hina resa dengan penuh amarah.
"Masih banyak pria yang lebih baik dari dia Yasmin!" Jelas resa mencoba memberi masukan ke wanita yang sudah habis logikanya.
"Resa mohon! Gua nggak apa-apa kok temen-temen," senyum Yasmin menguatkan dirinya sendiri.
"Jangan khawatir sama gue," tambah Yasmin.
"Orang kayak Bara ini emang ya!" Jengah Danil kehabisan kesabaran.
"Lo mending sama gua? Gua bisa bahagiain Lo!" Tatap Danil.
"Tapi gue nya nggak mau," terang yasmin.
Semua orang tak habis pikir dengan rasa suka yang dimiliki Yasmin kepada bara sangat di luar kadar logika. Orang-orang menyayangkan dengan good looking yang dimiliki Yasmin terbuang sia-sia. Yasmin meminta semua orang berhenti menjudge buruk Bara.
Semua orang bubar. Keprihatinan tampak di raut sahabat-sahabat Yasmin. Mereka begitu terlihat jengkel dengan sikapku kepada Yasmin.
Namun aku tetap dengan pendirianku. Aku tidak peduli, karena sejauh ini semuanya sudah berjalan sesuai dengan apa yang aku mau.
Sebagian dari mereka kembali ke kantin dan beberapa di kelas. Ya para penghuni bangku belakang yang sedang kubicarakan sekarang ini. Mereka yang mager akan kehidupan mereka sendiri. Bahkan untuk makan sepertinya nasi yang harus menghampiri mereka saat makan. Tak ayal meja menjadi saksi mereka mewujudkan mimpinya di alam bawah sadar.
"Inikan yang Lo mau Bara?" Batin Yasmin.
Hitungan detik suasana sunyi, Rafael datang dengan tentengan di tangannya.
"Nah, ketemu! Bangsat!" decak Rafael kesal.
"Lo bikin pesenan ke bibi kantin. Terus Lo pergi gitu aja ninggalin duit di meja," seloroh Rafael tak habis pikir dengan sahabatnya.
"Ini! Gua mau ke lapang, main basket!" Tinggal Rafael.
Dia datang, lalu ngomel tidak jelas, setelahnya pergi tanpa permisi.
Gila ya tuh anak.
Baik aku dengan Yasmin berlagak sok menahan tawa akan gelagat Rafael tadi. Kekesalannya membuatku harus menahan nafsuku untuk tertawa. Aku dengan Yasmin keduanya saling memutar bola mata selaras akan penetrasi dari Rafael tadi.
"Bukannya tadi Lo udah makan di kantin Bara?" Yasmin mencoba mengawali percakapan.
"Iya. Ini bukan buat gue, tapi buat Lo!" Beri Bara.
"Ini seperti biasanya. Jangan anggap apa-apa!" Pintaku dingin.
"Iya, karena kata Lo kita cuma sekedar temenan. Nggak lebih dari itu sekarang."
"Jangan suka main dengan kata! Nanti Lo kemakan sama omongan sendiri," ingat Yasmin.
Aku tak meladeni ucapannya. Aku hanya terdiam kembali dan fokus akan buku novel yang kuambil dari ransel.
"BTW makasih!" Lirik Yasmin.
"Makasih karena Lo nggak mau lihat gue ngosongin perut gue, dan gue bakal lakuin ini setiap hari."
"Biar Lo kembali lagi kayak dulu," bisik Yasmin dengan setiap suapan yang ia masukkan ke mulutnya.
Yasmin terus berbicara intens tapi aku sudah tidak peduli akan itu. Karena terakhir kali 2 minggu setelah jarak antara aku dengannya dimulai. Yasmin terkena mag karena telat makan dan harus dirawat seminggu. Di situlah alasan aku memberinya makanan kantin tanpa sepengetahuan orang-orang.
Baik aku dan Yasmin pandai membuat drama. Jadi semuanya berjalan baik, bahkan aku akui permainan drama Yasmin lebih bagus daripada aku.
Bel pulang. Aku menuju loker untukku mengambil barang penting yang kusimpan di dalamnya.
"Bara!" Kejut Rafael.
Dengan santai aku menjawab kejutannya.
"Apa?"
"Main basket!"
"Nggak bisa. Gue mau ke perpus!" Tutupku sambil mengunci loker milikku.
"Mau ikut?" Tawarku.
"Males anjir, tapi nggak apalah. Gue ikut!"
"Tapi besok Lo main basket!"
"Iya, Rafael. Ya udah ayo!" Ajakku.
"Oke.."
Aku dengan Rafael menuju perpustakaan. Bermodalkan pulpen dan buku di tangan. Aku memiliki tujuan besar sering berlama di perpustakaan ini. Iya, aku ingin menjadi penulis terkenal nantinya. Dan menjadi penulis produktif seperti Pramoedya Ananta Toer.
Tujuanku bukan menjadi penulis bayaran terbesar. Namun aku ingin menjadi penulis yang bisa setiap tahunnya menciptakan minimal 3 buku. Tak masalah bukuku nantinya dikenal atau tidak.
Yang pasti aku ingin ialah hobby ku bisa aku salurkan dan kuapresiasi sendiri. Karena bagaimanapun membuat senang semua orang itu tidak mungkin, tetapi kita bisa membuat senang diri kita sendiri. Jika tubuh kita mau, itu akan mudah.
"Jadi?" Tanya Rafael.
"Apaan?" Tanyaku balik dengan heran.
"Lo sama Yasmin?" Tanya Rafael penasaran.
Bara menghela pelan.
Aku menggelengkan kepalaku sembari menjatuhkannya ke lenganku sendiri.
"Bara!"
"Lo selama 6 bulan. Nggak ada lagi pertanyaan selain itu?"
"Nggak. Jawab!"
"Iya jawab apa? Gue sama dia udah nggak ada apa-apa."
"Lo bilang kayak gitu. Tapi selama ini Lo masih sayang sama dia, gelagat Lo itu nggak bisa disembunyikan."
"Cara cinta Lo ke Yasmin itu masih bingung bagi gue."
"Sayang itu rahasia perorangan, hanya kita sama Tuhan pemilik cinta yang tau!" Jelasku.
"Lo nggak bisa maksa buat berhenti mencintai seseorang. Walaupun orang itu pergi jauh dari hidup kita."
"Berarti Lo menyayat diri Lo sendiri selama ini."
"Lo membuat jarak diantara Lo dan yasmin. Dengan kebodohan yang Lo buat, Lo bakal nyesel pas Yasmin sadar bahwa dirinya mungkin salah telah membalas cinta Lo yang dulu."
"Seakan-akan Lo mau berjuang seorang diri terus ngbuktikan ke semua orang, bahwasannya Lo ingin sukses tanpa bantuan orang lain," ucap Rafael.
"Iya, kan?" Tambah Rafael.
"Nggak juga. Gua cuman nggak mau hidup Yasmin sia-sia bersama gue. Gua mau datang pas gua udah yakin dengan segala materi yang gue punya nanti," jelasku.
"Terus, ketika nanti Lo yakin. Tapi Yasmin jodoh orang lain, Lo mau gimana?" Tanya Rafael.
"Tandanya, dia bukan jodoh gua. Selagi dia masih pacaran, gua masih punya peluang yang sama dengan sekarang buat dapetin dia," senyumku.
"Ikatan suci yang sesungguhnya itu. Pernikahan bukan pacaran!"
"Dan terkadang Lo harus dapetin peluang itu sendirian. Walaupun kecil," tambahku.
Dengan raut tak percaya Rafael memaklumi sifat aneh yang dimiliki oleh Bara sahabatnya ini.
"Jalan cinta Lo bener-bener ribet. Nggak masuk akal menurut gua."
"Jangan dipikirin!" Jawabku enteng.
KAMU SEDANG MEMBACA
BARA & YASMIN (Belum Direvisi)
Teen FictionBara, lelaki sederhana penyakitan yang mengejar cinta murid baru bernama Yasmin. (cinta sama panik itu seperti tali sepatu yang nggak pernah ninggalin sepatunya)~Bara (kamu tahu nggak? Kamu itu sakit karena aku, tapi kamu juga butuh obat penawarnya...