POV : BARA
Hari ini aku menjadi bergulat dengan diriku. Sirine berbunyi tak ingin berhenti, suaranya kian memekik keras. Semuanya berjalan berantakan. Tak ada lagi apapun yang kupikirkan selain pulang dan menceritakan semuanya kepada ibuku.
Saat semuanya lepas dari genggamanku. Kuharap ibu tidak kecewa dengan secarik kertas yang kubawa ke rumah nanti. Sekarang aku butuh pangkuan ibu untuk menopang kesedihan, keegoisan, dan segala pemberontakan yang telah kubuat.
Sekarang aku berjalan menuju loker dan kelas. Tatapan orang yang kutemui semuanya sangat menakutkan, seperti seorang pembunuh bayaran yang mengincar kepalaku. Aku merasa ini menjadi hari yang berantakan sekaligus terburuk yang pernah dialami oleh Bara.
"Jadi sekarang kamu pulang Bara?" Tanya guru yang mengajar di kelasku.
"Iya, Bu. Saya diliburkan juga sampai 3 hari," ucap Bara.
"Semoga kamu cepat kembali ya Bara," harap beliau.
"Insyaallah Bu. Terkadang sulit kembali ke tempat dimana orang-orang tak menginginkan keberadaan saya," senyum Bara sembari menyalami beliau.
"Assalamualaikum!" Tambah Bara.
"Wa'alaikum salam," balas beliau dan siswa lainnya.
Aku meninggalkan kelas, meninggalkan sekolah. Pikiranku sekarang terpontang-panting akan dengusan di dalam bawah sadarnya. Sudah tak memiliki siapapun itu begitu jelas yang kualami sekarang.
Benar-benar aku kembali ke rumah, dengan hamparan yang tenang. Menyingkap tabir Surya di pagi hari, mulai kumasuki pintu rumah.
"Assalamualaikum!"
"Wa'alaikum salam, tumben kamu udah pulang lagi Bara?" Tanya ibu sembari menyapu debu-debu di lantai.
"Iya, Bu." Senyumku.
Aku tidak bisa berbohong lagi sama ibu. Ibu mengajarkanku jangan membiasakan berbohong dengan hal-hal sepele karena itu nanti akan menjadi nilai tambah untukku melakukan hal-hal bohong yang lebih besar.
"Kamu kenapa sudah pulang?" Ibu menanyakan pertanyaan ulang yang sama sambil menghampiri Bara.
Lagi-lagi dengan senyum aneh bara menggaruk tengkuknya. Di sini ibu belum melihat lebam luka di pelipis bara yang sudah kian berwarna-warni.
"Bara dikasih ini dari sekolah," tunjuk bara memberikan surat dari sekolah.
"Astagfirullah.. itu mata kamu kenapa? Habis Berantem?" Cemas ibu melihat luka yang ada di mata BARA.
Dengan cekatan ibu mengambil P3K di dapur lalu kembali ke ruang tamu. Iya di rumah ibu mempersiapkan ini untuk anggota keluarganya. Kata ibu, ibu dulu anggota UKS. Jadi ibu tahu betul menangani orang-orang yang terluka semenjak sekolah. Dan di dalamnya pun lengkap, ada perban, kain kasa gulung, steril, peniti, sarung tangan lateks, pinset, gunting, tisu pembersih bebas alkohol, larutan providone-iodine untuk disinfektan luka, plester dan lain-lain.
"Kamu kok bisa berantem sih? Kenapa?" Tanya ibu dengan mulai mengobati luka Bara.
"Ibu!" Kejut Bara mengetahui ibunya tak sedikitpun menampakkan kemarahan di wajahnya.
"Hmmm..?"
"Kok ibu tahu bara di skors, lalu dapet surat dari sekolah ibu nggak marah ke Bara?" Heran Bara sembari menundukkan pandangannya dari ibu yang sedang mengobatinya.
"Lah, aneh. Emang ibu gila marah-marah nggak jelas sama kamu? Ibu tahu betul kamu, kamu pasti nggak akan mulai semua ini. Iya, kan?"
"Kamu datang bawa surat skors dari sekolah dengan wajah luka gini. Iya ibu obatin dulu kamu, setelah itu baru ibu nanya sama kamu. Kamu kenapa bisa berantem di sekolah?"
"Lagian kamu udah gede Bara. Kamu bukan anak 10 tahun yang harus diperintah lagi, umur sebesar ini bagusnya diajak dialog bukan dimarahin."
"Jadi ibu nggak akan marah dong?" Bara mengangkat kepalanya dengan semangat.
"Tergantung!" Tatap ibu.
"Yah..!" Suntuk Bara.
Ibu tersenyum membuatku lebih tenang. Yang kukhawatirkan selama memegangi surat ini salah besar, tadinya aku mengira akan kena marah besar dari ibu. Tapi ibu ternyata tahu benar apa yang diinginkan anak-anak di umur Bara yang sekarang. Ia tahu betul bagaimana memberikan respon pada anaknya.
Aku sekarang benar-benar bersyukur memiliki ibu seperti beliau. Tuhan menciptakan ibu terbaik untukku.
Saat sedang mengobati ibu terlihat lebih tulus.
"Aww!" Ringisku.
"Laki-laki jangan lebay. Tanggung sendiri akibatnya kalau udah berantem," ucap ibu.
"Iya," jawabku singkat.
Ibu menyelesaikan pengobatannya. Aku sekarang lebih baikkan, setelah diobati ibu.
Aku langsung menceritakan semua kejadiannya dari Yasmin, Maya, Rafael. Hingga surat skors diberikan kepadaku. Ibu mendengarkan dengan sesekali terbelalak tak percaya dengan ceritaku. Sampai cerita selesai ibu tak memotong ceritaku sama sekali.
"Gitu Bu ceritanya.." jelasku.
"Kamu mirip sekali kayak Abay!"
"Tapi Abay lebih keras kepala daripada kamu. Kamu belum ada apa-apanya daripada Abay."
"Mirip bapak maksudnya Bu?"
"Iya, dulu di UKS pasti ada satu cowok yang hampir setiap hari bolak-balik ke PMR. Namanya Abay, dia persis kayak kamu. Tapi Abay sering kali hal-hal aneh agar masuk UKS."
"Lah, kok bara belum tahu tuh Bu?" Pancing Bara penasaran.
"Iya ya lah, ibu belum pernah cerita. Tapi itu dulu udah lama."
"Tuh, ibu jadi nostalgia lagi waktu SMA."
"Cerita dong Bu!" Rajuk Bara.
"Kamu mau dengerin emangnya?"
"Boleh Bu. Sambil nunggu adzan Dzuhur," lirik bara ke jam yang terpampang di atas.
"Nggak-nggak!" Tolak ibu.
"Iya ibu," decak bara.
"Maksudnya kamu makan dulu, sholat Dzuhur, ngaji sebentar habis itu baru cerita," ucap ibu sambil menyimpan kembali P3K yang ia bawa.
"Janji ya Bu!"
"Iya Bara," balas ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BARA & YASMIN (Belum Direvisi)
Novela JuvenilBara, lelaki sederhana penyakitan yang mengejar cinta murid baru bernama Yasmin. (cinta sama panik itu seperti tali sepatu yang nggak pernah ninggalin sepatunya)~Bara (kamu tahu nggak? Kamu itu sakit karena aku, tapi kamu juga butuh obat penawarnya...