(Halo. Kalau kamu suka cerita ini. Jangan lupa klik tanda bintang di bagian bawah untuk mendukung cerita ini ya)
Dering telepon menyentak telinga Runi dan menarik kesadarannya kembali dari alam mimpi. Mata gadis itu masih terpejam, tetapi tangannya meraba-raba ke samping, mencari benda pipih yang makin keras melantunkan lagu soundtrack serial kartun kesukaannya. Karena tak kunjung juga menemukan ponselnya, Runi terpaksa bangun dan membuka mata. Diedarkannya pandangan ke seluruh penjuru kamar untuk menemukan di mana benda berisik itu berada.
Gadis itu mendecak. Ponselnya ternyata tergeletak di dekat kaki tempat tidur. Tampaknya semalam dia tak sengaja menendang benda itu hingga terjatuh ke lantai. Bertambah lagi satu goresan pada layar ponsel yang dibelinya tiga tahun lalu itu.
Gama Fareza. Nama itu berkedip di layar ponsel Runi. Angka di bagian atas layar menunjukkan hari masih pagi, belum lewat pukul tujuh. Gama yang menelepon pagi-pagi, terutama beberapa jam setelah Runi mengirimkan draft komik untuk jadwal terbit minggu ini, sungguh bukan pertanda baik. Pasti lelaki itu hendak menyuruhnya revisi.
"Assalamualaikum. Kenapa, Mas?" Runi menyapa dengan suara serak khas orang baru bangun tidur. Kantuk masih betah menggelayuti kedua kelopak matanya. Dia baru sempat tidur selepas salat Subuh, itu artinya belum genap dua jam tubuhnya mendapat jatah istirahat.
'Waalaikumsalam. Kamu baru bangun?' Gama justru mentertawakannya. Suara serak dan berat lelaki itu mengayun di udara. Terdengar menyebalkan, tetapi harus Runi akui tidak buruk-buruk juga untuk didengar pada pagi hari.
"Menurut, Mas? Emangnya Mas Gama nggak lihat aku kirim draft jam berapa semalam?"
'Berarti baru tidur jam tiga?'
"Mana mungkin aku tidur di jam tanggung kayak gitu, bisa kelewat Subuh nanti. Aku baru tidur jam lima," jawab Runi sambil menggaruk kepala, membuat rambutnya yang memang belum tersentuh sisir sejak kemarin makin kusut. "Sudah, Mas Gama nggak perlu kebanyakan basa-basi. Langsung aja. Apa yang harus kurevisi?"
'Nggak banyak kok, Run. Cuma aku ngerasa empat panel terakhir terlalu buru-buru. Coba kamu panjangin dikit, terus potongnya pas ketika Faral menoleh ke belakang. Jangan langsung kasih tahu kalau yang datang itu Jona, biar pembaca penasaran.'
Runi meminta Gama menunggu sebentar sementara dia bangkit dari tempat tidur dan beranjak ke komputer untuk memeriksa kembali draft komik yang baru diselesaikannya semalam. Sudah satu setengah tahun dia dikontrak sebagai komikus tetap di sebuah platform komik online, dan Gama adalah editor yang selalu membimbing dan membantunya.
"Ah iya. Bener juga kata Mas. Kayaknya aku dah gagal fokus semalam. Jadi nggak kepikiran bikin cliffhanger." Runi mengusap wajahnya. "Oke, nanti aku revisi. Thanks, Mas. Ada lagi?"
'Tolong bukain pintu. Aku di depan.'
Perlu beberapa detik bagi Runi untuk mencerna permintaan Gama. Kening gadis itu membentuk tiga garis kerutan yang menjadi ciri khasnya kala kebingungan atau merasa heran.
"Di depan mana?" tanya Runi untuk memastikan.
'Ya di depan rumahmu lah, Runi. Masak di depan monas.'
Runi langsung memutus sambungan telepon. Gadis itu buru-buru menyambar jaket, rok panjang, dan jilbab instan. Setelah melapis piyamanya dengan jaket dan rok, dia berlari menuruni tangga dengan jilbab tersampir di pundak.
Disempatkannya mampir ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Rambut panjangnya dia cepol sembarangan, tak perlu rapi, yang penting tak menjuntai melewati jilbab yang akan dikenakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Cinta Arunika (Tamat)
RomanceArunika Dahayu, gadis dengan tawa sehangat matahari pagi. Gama Fareza, pria dengan sorot mata secemerlang bintang. Kenar Andaru, lelaki dengan senyum seteduh bulan purnama. Takdir membelit kisah mereka dalam jalinan cerita yang entah hendak dibaw...