28. Niatan Baik

39 13 1
                                    

"Jika seandainya ada seorang laki-laki yang berniat baik padamu, apa kamu sudah siap untuk membuka kembali hatimu?"

Abil Dafa Muaffaq

_My Future_

***

Aku tak menyangka kembali dipertemukan dengan dia untuk kedua kalinya. Yang pertama saat ia bersama Aisyah mengunjungi ku di negri Jiran, saat itu aku masih berstatus sebagai istri sah dari Muhammad Arfan Hafidz. Yang kedua saat ini, aku sudah tak lagi bersama pria hangat itu, pertemuan kedua itu begitu mengagetkanku. Pasalnya, ia menyembunyikan keberadaannya dari orang-orang terutama yang berkaitan dengan masa lalunya.

Aku tak tahu bagaimana perasaanku, yang jelas rasa buatku untuknya masih tersimpan rapi, meski pernah terkikis oleh cinta yang diberikan oleh seseorang yang berstatus sebagai mantan suamiku. Ternyata debaran itu masih sama seperti beberapa tahun silam. Senyumnya, bahkan sempat mengalihkan duniaku.

Jihan Makaila
Aceh, 25 November.

Jihan menutup kembali buku bersampul hijau pudar tersebut. Seulas senyum terbit dari bibirnya, pandangannya bahkan tak teralihkan dari ponselnya. Tama mengernyit heran saat mendapati sang adik senyum-senyum sendiri, dahinya berkerut saat ia sudah berada di belakang Jihan.

Sebuah foto bersama bersama di sebuah acara seminar di kampusnya tadi. Tapi yang menarik perhatiannya, seorang laki-laki berjas hitam dengan kemeja maroon yang melekat ditubuhnya tengah tersenyum ke arah kamera.

"Pandangin aja terus tuh foto!" Jihan tersentak kaget saat mendengar suara Tama yang begitu dekat dengan telinganya. Jihan segera mematikan ponselnya dan menatap sang kakak dengan gelisah.

"Kak," lirih Jihan, Tama hanya meliriknya sekilas kemudian ia pura-pura sibuk dengan ponselnya.

"Han, Kakak mau tanya sesuatu sama kamu." Tama menaruh ponselnya di meja belajar Jihan.

"Apa?" tanya Jihan pelan.

"Kamu masih ada rasa ya sama dia?" tanya Tama dengan tatapan intimidasi. Jihan melebarkan matanya, pipinya mulai memanas. Jihan hendak saja menjawab, tetapi rupanya Tama sudah mendahuluinya.

"Cukup! Enggak perlu dijawab! Dari sikap kamu, Kakak udah bisa menyimpulkan. Jihan, dengerin Kakak! Kalau kamu beneran masih ada rasa sama dia, bagaimana dengan Arfan?" Pertanyaan Tama sukses membungkam mulut Jihan. Ia menunduk, sejujurnya ada secuil rasa bersalah pada Arfan, selama menjadi istrinya ia diam-diam masih memiliki rasa pada pria lain yang notabenenya adalah sahabat Arfan.

Jihan menggeleng pelan, "Jihan sudah berusaha untuk mencintainya, Kak! Tapi, di saat rasa itu mulai tumbuh, justru dia malah mutusin ini semua, Jihan bingung, Kak." Jihan menangis, hatinya sakit saat usahanya untuk membuka hati pada Arfan sia-sia saat mendapati Arfan yang dengan teganya membagi rasa cintanya.

Tama merengkuh tubuh sang adik yang kini tengah bergetar, ia paham bagaimana perasaan Jihan. Ia menatap sendu sang adik yang masih menangis dalam dekapannya.

***

Abil terdiam terdiam sejenak dalam sujud panjangnya, ia menangis menumpahkan segala rasa yang tengah menggerogoti hatinya. Ia memohon ampunan pada Rabb-nya, ia mengingat-ingat segala kesalahan yang pernah ia berbuat.

My FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang