Laju motor Iqbaal yang kencang membuat angin malam menerpa wajahnya, sehingga matanya mengedip beberapa kali akibat debu yang ikut terbawa terbang. Percakapannya tadi pagi bersama keluarganya di meja makan, juga obrolannya dengan Bia di teras rumah cewek itu tiba-tiba beradu dalam pikiran. Harus bagaimana sekarang? Bayangan-bayangan indah atas pilihannya untuk tetap tinggal di Jakarta seketika raib begitu saja. Nyatanya tetap tidak ada Bia, walaupun ia memilih menetap. Ia juga tidak bisa melanjutkan mimpinya menempuh pendidikan di luar negeri. Namun, ia bisa membantu Ayahnya jika tetap tinggal. Tandanya ia menjadi anak yang berbakti. Bukankah begitu? Lantas kenapa Iqbaal merasa tidak senang? Apa karena perpisahannya dengan Bia nanti? Bukannya dia sendiri yang mengatakan kalau perpisahan tak selamanya menyedihkan? Nyatanya tetap saja itu buruk. Dadanya menjadi mengempis sesak, mengetahui hal itu. Apakah Bia dulu juga merasakan yang sama ketika mendengar Iqbaal yang akan pergi ke luar negeri?
Iqbaal menghentikan motornya tepat di pinggir jalan. Ia melepas helmnya, mengacak kasar kepalanya. Iqbaal pikir dari pada berkendara dengan pikiran berkecamuk, lebih baik ia menenangkan diri dulu sambil menatap temaramnya rembulan.
Cowok itu menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Ia memejamkan matanya sebentar, mengusap mukanya sedikit kasar. Beberapakali ia memggeleng, setelah memikirkan kemungkinan-kemungkinan cara yang bisa ia ambil untuk menyelesaikan masalah ini. Cowok itu menjelentikan jarinya, matanya membulat dan sudut bibirnya tersungging ke atas. Ia memutuskan untuk membantu perusahaan ayahnya selama beberapa minggu, kemudian kalau masalah perusahaan ayahnya selesai ia akan tetap berangkat ke Australia. Lagipula jaman sudah canggih, ia bisa memantau perusahaan dari jauh. Toh Iqbaal juga belum cabut berkas dan kebetulan masih satu bulan lagi jikalau ingin mengundurkan diri. Cowok itu mengangguk senang, mengenakan helmnya kembali dan menarik stang meluncur menuju rumah, tak sabar memberi tahu Ayahnya tentang idenya itu.
🌊🌊🌊
Sayangnya, itu tak semudah yang Iqbaal pikirkan. Begitu ia melangkahkan kaki masuk. Rumah Iqbaal kosong, tak ada siapapun. Hingga teleponnya berdering. Ternyata Bundanya yang menelpon. Tapi kenapa suara Teteh yang terdengar? Kenapa juga suarnya bergetar seperti menangis? Ada apa?
"Ayah Le!" katanya sedikit terbata dan terisak.
"Ayah." tukasnya sekali lagi.
"Iya Ayah kenapa teh? Semua baik-baik aja kan?" tanya Iqbaal.
Yang ditanya malah terisak menangis. Membuat Iqbaal makin panik.
"Teteh sama Bunda di mana?"
Telepon terputus. Iqbaal menghela napas kasar, kemudian memijat pangkal hidungnya. Ada apa sebenarnya? Cowok itu menelpon ulang Tetehnya lagi, sayangnya tidak terhubung.
Ting! Ponsel cowok itu bergetar. Tanpa basa-basi ia segera membukanya.
Bunda
Rumah Sakit Medica Center
KAMU SEDANG MEMBACA
Halo Effect [IDR]
Fanfiction[SELESAI] Ini kisah anak manusia bernama Bia. Lengkapnya Jemima Tsabia. Seorang gadis yang baru menginjak usia remaja dan baru mengenal romansa. Pertemuannya yang tidak sengaja di toko buku dengan seorang pemuda yang nantinya ia ketahui bernama Iqb...