4.4 What Do I Do?

139 26 0
                                    

Aku menatap ke jendela samping mobil

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menatap ke jendela samping mobil. Mengusap air mataku yang seenaknya turun tanpa diminta. Entah kenapa rasa sakit itu masih saja ada. Rasanya aku tidak terima melihat Kak Iqbaal dengan cewek lain. Padahal dulu aku bilang pada diri sendiri untuk tidak peduli lagi padanya. Terserah Kak Iqbaal mau apa, toh nyatanya dia berlalu begitu saja selama setahun lamanya. Kalau dia peduli dan mau memperbaiki, setidaknya Kak Iqbaal menghubungiku, mencari nomor baruku. Tapi apa? Dia tidak pernah melakukan itu. Berarti semua bisa dismpulkan, hubungan yang belum dimulai dan tidak jelas apa namanya ini sudah berakhir menurutnya. Tapi tidak menurutku. Rasa itu masih ada walaupun layu. Di sini aku masih merindukan dan mengharapkannya sendirian. Kepulanganku ke Jakarta bahkan membuat namanya yang keramat dan jarang kusebut belakangan, terngiang-ngiang di telinga. Sejujurnya aku lelah sekali dengan rasa yang kusimpan, tapi aku bingung harus kemana mencari pertolongan?

Raka menghembuskan napas pelan. Ia menatap punggung Bia yang mulai bergetar. Terakhir kali cowok itu melihat Bia menangis seperti ini saat cewek itu merindukan rumah. Sekarang ada apalagi?

"Bia, lihat deh kayanya lampu lalu lintasnya baru?" hibur Raka.

Mendengar itu aku diam saja tak menghiraukannya.

"Bia, tuh kayanya banyak gedung baru. Jakarta udah berubah."

Aku masih diam saja memunggunginya.

"Bi..."

"Raka, bisa diam gak?" kataku menatapnya dengan mata yang merah.

Cowok itu nyengir lebar menatapku. "Habis lo nangis mulu. Padahal kemarin paling semangat pulang."

"Ka, gue capek."

"Ya sama gue juga capek Bia. Hampir 8 jam duduk di pesawat."

Aku menggeleng. "Bukan capek itu, gue capek sama rasa yang gue punya. Gue bingung Ka, minta tolong ke siapa? Cuma dia." ucapku menangis lagi. Ah! Aku benci sekali sisi diriku yang lemah seperti ini.

"Tunggu? Gue bingung, maksud lo?"

"Jangan bilang, Bang Iqbaal?" katanya.

Patah-patah aku mengangguk. "Capek, gue kira. Gue udah lupa sama dia. Ta--tapi waktu gue lihat dia, benteng pertahanan gue roboh. Gue gak bisa Ka. Gue gak bisa move on. Capek."

Raka menatapku iba. Sepertinya cowok itu sudah bisa mengerti apa yang terjadi. Kupikir dia sudah mulai memahami dari mana masalah ini bermula. Aku yang menangis membuat Raka menepikan mobilnya. Cowok itu menarik bahuku, menangkan seperti saat di tempat makan tadi.

🌊🌊🌊

Dengan lunglai aku memasuki rumah, diikuti Raka yang membawa dua koperku.

"Bia dateng!" tukas seseorang bertriak mengomando.

Mendengar teriakan itu, semua orang lari tunggang-langgang. Radit yang sedang meniup balon bahkan menghentikan kegiatannya. Tiur yang sedang memasang dekor juga menghentikkan aksinya. Olin yang sedang menata makanan juga mengalihkan atensinnya.

Halo Effect [IDR]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang