Malam ini, hembusan angin yang menyelir dari pendingin udara mobil serta pemandangan landscape yang membentang di depan layar penglihatan, menjadi teman utamanya selama beberapa jam tengah berkemudi tanpa tujuan. Seragam putih abu-abunya masih terbalut kusut membungkus tubuh, sebelah tangannya yang menggantung lesu pada sisi pintu sering kali ia gerakkan untuk menyurai rambutnya berantakan.
Satu dari sekian banyak hari, terkadang ia suka menyendiri di balik alur keramaian kota. Mengendarai mobil sport putihnya berputar membelah jalanan dengan kecepatan yang begitu tinggi, kemudian melambat di saat suasana mengizinkannya untuk berlaku memeluk tenang. Terkadang di saat itu terjadi, kepalanya yang mulai bosan menyingkirkan hal-hal yang rasanya ingin sekali ia buang pun tersadar. Sebenarnya, dirinya ini sedang rehat dari kumpulan manusia atau pada dasarnya ia memang sendirian?
Tak ada siapa di antara nestapa dan tak ada cara di setiap kenapa.
Sungguh, ia belum ingin pulang. Namun, kantuk dan segala energinya yang begitu cepat terserap habis memintanya mengistirahatkan diri menutup malam.
Gerbang putih yang menjadi pembuka dari bangunan super megah bernuansa klasik tersebut membuat kakinya menginjak pedal rem menghentikan kendaraan. Seorang satpam pribadi yang tengah menyesap kopinya pun segera keluar dari pos untuk membuka jalan menuju ke dalam.
Meski remaja laki-laki itu tahu dirinya dengan penjaga keamanan yang bekerja di rumahnya tersebut terpaut umur 3 dekade lebih, ia tidak menurunkan kaca mobilnya sama sekali untuk sekadar menuai sapaan atau menyematkan gestur balasan. Tanpa adanya ucapan terima kasih dan senyuman yang dahulu biasa tampil, kendaraannya melaju begitu saja memasuki pekarangan rumah yang luasnya cukup untuk menata lahan perkebunan.
Iya, semua telah berubah.
Alfa bukan lagi seorang anak kecil yang pandai mewarnai petak halaman rumahnya dengan riang. Berpura-pura saja, bahkan tidak bisa. Semenjak satu-satunya warna yang menghiasi bangunan lengang ini terpaksa menghilang, Alfa kehabisan cara untuk tetap bahagia.
Setidaknya di sini. Di mana peta ruang telah mati terbekap sunyi.
Menutup pintu mobilnya yang terparkir asal pada halaman yang membentang, Alfa sempat menarik napas panjang sebelum berjalan memasuki rumah. Gagang dari papan kayu berornamen spiral itu pun ia ayunkan, tepat disambut ucapan 'Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga?' meski hanya berputar di kepala.
Sosok memang telah tiada, namun pula bayangan tersebut tidak pergi ke mana.
Jujur, Alfa tidak mengerti kenapa ia harus mempermasalahkan kenangan itu, padahal ketika sudah menjadi remaja, semestinya ia mulai belajar untuk menanggung bebannya sendiri. Sayang, sampai saat ini, ia tidak berkembang barang sedikit pun.
"Den Alfa, kok, pulangnya malam sekali? Belum makan, ya? Mau dimasakin apa?"
Enggan menghiraukan koordinator asisten rumah yang baru sampai menyambangi keberadaannya, Alfa hanya menggeleng singkat sebagai balasan. Tanpa bermaksud ingin menanggapi, kakinya bergerak pelan menaiki anak tangga.
Mendapati reaksi tersebut, wanita berkepala empat itu tampaknya tahu mood tuan mudanya sedang tidak baik-baik saja. Semenjak memasuki usia remaja dalam rentang waktu tertentu, putra sulung dari majikannya yang kaya raya mampu bersikap lebih dingin dari biasanya.
"Kalau nanti lapar, langsung panggil Bibi saja, ya?" ucapnya dari bawah mengamati punggung pemuda laki-laki itu dengan raut cemas.
Sesampainya di lantai atas, Alfa lalu segera memasuki kamarnya untuk kemudian menyalakan pendingin ruangan. Sebelah tangannya merogoh saku hendak mengaktifkan kembali smartphone-nya yang tadi sempat ia non-aktifkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KARSA
Teen Fiction[Pemenang Wattys 2021 Kategori Young Adult] Semenjak dikalahkan secara berturut-turut selama 3 semester pertamanya menduduki SMA Bina Bangsa, Karin nyaris kehilangan bentuk kepercayaan dirinya sebagai sosok yang mewarisi otak pintar keluarga Wijay...