Sudah terhitung seminggu penuh, hari-hari Alfa, Karin, dan Luna dirayapi kegiatan padat mempersiapkan tahap akhir perlombaan EKSEMPELAR sampai-sampai tujuan mereka datang ke SMA Bina Bangsa, rasanya hanya selintas menimba ilmu tanpa merangkap ruang untuk beraktivitas sosial terhadap teman sebayanya. Meski semua agenda main total dihentikan, mereka bertiga—berkat komitmen yang dimiliki—tetap menjalaninya dengan segenap hati yang lapang.
Entah persisnya dimulai sejak kapan, kedekatan antara Alfa, Karin, dan Luna sontak terjalin jauh lebih hangat dibandingkan sebelumnya. Mereka benar-benar saling menyemangati dan membantu satu sama lain menghadapi kesulitan.
Barisan objektif terus ditempuh berbarengan tanpa mengalami perdebatan. Setiap ada yang berhasil menunjukkan progres tanda kemajuan, biasanya kalimat apresiasi akan terlontar keluar atau silih berpatungan mentraktir hadiah berupa makanan kesukaan sebagai upaya dukungan sederhana.
Menanggapi itu, andai Karin boleh menebak apa yang mendasari terjadinya segala perubahan tersebut, mungkin sejatinya berakar dari sikap Alfa yang kini terlihat sangat suportif dan tak lagi sukar diajak kerja sama. Personalisasi laki-laki itu bertumbuh pesat layaknya baru memperoleh semangat besar—entah apa—yang selama ini ia butuhkan.
Menilai potensi sanggup Alfa keluar secara maksimal, otomatis Karin ikut terdorong untuk mengimbangi kemampuan rival nomor satunya itu. Namun, jangan khawatir. Persaingan adu kecerdasan yang meliputi dua remaja pintar tersebut sudah tak diselipi kacaunya kebencian dan kesalahpahaman, seperti dahulu. Sebaliknya, Alfa dan Karin turut berbahagia mengamati perkembangan masing-masing.
Satu catatan penting yang perlu disoroti adalah, diam-diam ketika Luna tidak memperhatikan, Alfa gemar mengusap lembut puncak kepala Karin mengisyaratkan kesan bangga saat perempuan itu sukses mengalahkan ketangkasannya. Di satu sisi, Karin akan terbawa perasaan sendiri pura-pura keberatan, padahal jantungnya kelewat heboh berdebaran.
Di tengah kondisi yang berjalan sekarang, mustahil, bukan? Ia mampu membenci seorang Keith Farez Alfansa yang ternyata lihai sekali menyembunyikan sikap manisnya? Sebentar, maksud Karin, perilaku lelaki itu jelas berbahaya! Pokoknya—mulai detik ini, Karin wajib berhati-hati andai mau peredaran darahnya dapat terpompa dengan lancar.
"Nggak kerasa, ya, kita udah sampai ke tahap akhir."
Merespons kalimat Luna yang menguar di sela waktu istirahat, Karin menelan salad buahnya kemudian berucap, "Iya, dong, Lun. Bagaimanapun juga, kerja keras kita nggak main-main, 'kan?"
Kini, mereka bertiga sedang makan santai di ruang tenang. Hampir menghabiskan seluruh waktunya terus berlatih mengerjakan soal secepat mungkin, tentu membuat mereka butuh mengisi tenaga menyegarkan pikiran.
"Betul, Rin. Walau begitu, aku masih suka deg-degan bayanginnya. Nggak sangka aja babak semi dan finalnya digabung jadi satu. Habis ini, kita nggak bakal sering ketemu untuk mengikuti masa bimbingan intensif lagi."
"Well, gue yakin kita udah memanfaatkannya sebaik yang kita bisa." Seraya menggapai sebelah tangan Luna yang terlipat di meja, Karin tersenyum lebar. "Di luar itu, selepas perlombaan ini selesai, kita harus tetap berteman, ya?"
"Oh, Karin, pasti!" Netra Luna menyorot binar kebahagiaan.
Tak mendengar adanya balasan dari seorang laki-laki di seberang, Karin memicing sinis memaksa Alfa buka suara.
"Karina?" Menanggapinya, laki-laki itu mengerutkan dahinya dalam tak sependapat ucapan Karin tadi bersifat menggeneralisasi mencakup eksistensinya pula. Maksud Karin, sebenarnya apa menyisipkan kata 'kita' di sana? Alfa tidak berniat menjaga hubungannya dengan Karin hanya sebatas berjudul pertemanan. Yang Alfa mau, tentu melebihi itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
KARSA
Teen Fiction[Pemenang Wattys 2021 Kategori Young Adult] Semenjak dikalahkan secara berturut-turut selama 3 semester pertamanya menduduki SMA Bina Bangsa, Karin nyaris kehilangan bentuk kepercayaan dirinya sebagai sosok yang mewarisi otak pintar keluarga Wijay...