13. Senyum

9.4K 1.7K 79
                                    

Hanya teruntuk kepada dirinya sendiri, Karin mengakui, ia tidak terlalu pandai berkomunikasi. Maksudnya, bukan berarti tidak bisa sama sekali, melainkan dalam konteks bersosialisasi, Karin tidak begitu paham bagaimana caranya mendekati.

Sejujurnya, andai masih terhadap sesama perempuan, sih, tidak masalah. Namun, ketika sudah masuk ke lingkup area lawan jenis? Itu beda lagi.

Mengenai konsep yang dipercayai akan terbentuknya suatu hubungan, Karin pikir laki-lakilah yang seharusnya mendekati perempuan terlebih dahulu. Selama ini, Karin memang tidak pernah mengalami kesulitan karena merasa cukup populer—meski berujung hanya beberapa yang menjadi teman dan nol—semata-mata lantaran sifat selektifnya—di kategori berpacaran.

Dilengkapi dengan kepercayaan diri berkat turunan paras cantik ibunya sekaligus otak pintar ayahnya, Karin merasa tidak perlu berupaya keras agar terlihat menarik di hadapan para lelaki—atau barangkali sifat ramah dan hangat tidak mengalir di sambungan rantai genetiknya. Namun, setelah mengeksploitasi waktu Kanova tadi malam, Karin lantas berpikir bahwa kemampuan ini mungkin perlu ia pelajari demi melancarkan misinya—yang belum tuntas barang satu persen pun—terkait Alfa

Ketika Karin membawakan permasalahan dan kebingungannya atas mengapa Alfa selalu berperilaku tidak ramah di saat Karin membujuknya, Kanova justru tertawa terbahak-bahak dan mengatai otak Karin terlampau kolot sebab hanya dipenuhi ilmu tentang mata pelajaran saja.

Iya, perihal semacam ini, tidak dapat dipungkiri merupakan area kekuasaannya Kanova. Andai Karin bisa mewarisi sedikit kecakapan berbicara, pastinya ia tidak perlu mempermalukan diri meminta bantuan kepada Kanova. Beruntung, Tuhan Mahaadil membagi talenta mereka berdua sama rata.

"Lo serius, Rin, dulu lo pernah ketemu Alfa di satu perlombaan?"

Tak cukup sampai di situ, tentu Karin juga meminta pendapat kedua teman dekatnya. Namira yang baru saja menyeruput jus jeruk melalui sedotan sontak membelalakkan mata ingin mengetahui kejelasannya. Sedangkan Rania? Alis perempuan itu tertekuk seru menandakan tanya.

"Lihat sendiri," ujar Karin melayangkan layar ponselnya sejajar wajah Namira dan rania.

Mau dilihat dari segi mana pun, kedua temannya itu tahu persis bagaimana rupa kutu buku Karin semasa SMP. Meski begitu, laki-laki yang berdiri di atas podium nomor 2 dengan rona cerianya agak sedikit berbeda terhadap sosok yang mereka bayangkan. "Ini, foto lo sama...."

"Lo tau siapa," jawab Karin menyimpan kembali gadgetnya ke atas meja kemudian melahap salad buah yang ia beli.

"Lucu banget! Alfa pernah gemukan, ya?"

"Gembul, tapi bentukan wajahnya agak mirip. Mungkin di sini dia belum puber?"

"Ah, iya, benar. Pas kecil gemesin, gedenya cakep bukan main."

"Ya, keturunan bule memang beda, sih. Blasteran mana dia, tuh? London?"

"Girls?" Mendengar percakapan Namira dan Rania yang justru mempermasalahkan tampilan fisik Alfa—yang mana sangatlah tidak penting, dahi Karin dibuat mengernyit akibatnya. Tanpa ragu, jemarinya pun menjetik kencang demi mengambil atensi lawan bicaranya. "Can we please be focus?"

"Oops! Sorry." Namira dan Rania meringis bersamaan.

"Jadi, perihal lo yang diminta Bu Zahra menjabat sebagai ketua tim EKSEMPELAR, bersambung ke masalah Alfa yang kata pacar gue, Luna, dan Bu Zahra nggak mau ikut lomba sekaligus lo yang nggak berhentinya berantem sama itu cowok, hubungannya apa dengan foto yang lo kasih saat ini?"

Meletakkan gelas minumannya yang sudah habis, Namira pun angkat bicara memberikan jawaban. "Don't you get it? Gambar yang Karin tunjukkin menandakan bahwa dulu sebenarnya Alfa rajin ikut lomba."

KARSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang