05. Tuntutan

10.3K 1.8K 105
                                    

Dimarahi secara habis-habisan sekaligus mengarungi ucapannya yang kelewat tidak masuk akal merupakan dua kategori yang tidak habis pikir dapat Karin terima. Sore tadi, sebenarnya mulut Bu Zahra mengandung kekuatan magis jenis apa, sih? Kok, bisa Karin terlena begitu saja tanpa memikirkan segelintir konsekuensi yang mungkin dihadapi?

Maksud Karin, janjinya itu tidak main-main, loh! Menyanggupi untuk menjadi pawang Alfa selama mengikuti masa sebelum sampai menuju waktunya perlombaan bukanlah suatu hal yang mudah! Boro-boro mengatur sebagai ketua tim, mengajaknya bicara dalam konteks yang normal saja, Karin tidak bisa.

"Lo yang pakai kacamata!"

Panggilan tak mengenakkan tersebut kembali berputar di kepala Karin. Kenapa, sih? Ia tidak bisa berhenti membayangkan wajah congkak Alfa serta intonasi dari suaranya yang terdengar rendah? Jika seperti ini terus, bisa-bisa Karin cepat mati lantaran frustasi!

"Karin! Kamu nggak dengar ucapan Mamah, ya?!"

Mendapati seruan tersebut, otak Karin langsung menggeser pengaturan topik yang saat ini harus menjadi prioritas utamanya. Saking terlalu banyak kekesalan yang ia miliki terhadap Alfa, Karin jadi tidak fokus memperhatikan mamahnya berkomentar.

"Kamu lagi pikirin apa, sih?"

"Bukan apa-apa, Mah," jawab Karin cepat menutup kecurigaan. Mungkin, jika mamahnya saat ini tidak sibuk membahas ranking, bayangan Alfa tidak perlu mampir ke dalam benak Karin.

"Kenapa kamu juara dua lagi, Sayang? Biasanya selalu juara satu? Kamu kebanyakan mainnya, ya, sekarang? Atau diam-diam, selama ini kamu udah punya pacar di belakang Mamah? Aduh, Karin ... Mamah udah bilang, 'kan? Pacaran itu bisa ganggu kamu belajar! Pasti cowok kamu anak nggak benar! Makanya kamu malas belajar kayak begini?"

Terima kasih kepada layanan informasi yang dikirim secara manual menuju alamat email para orang tua yang anaknya berhasil menduduki peringkat sepuluh besar, mamah Karin jadi mengetahui bahwa ia telah dikalahkan oleh Alfa sebanyak tiga kali berturut-turut.

Sejatinya, tujuan mengekspos peringkat tersebut adalah untuk membawa berita gembira atas pencapaian yang berhasil diraih oleh pelajar unggulan SMA Bina Bangsa. Harapannya, dengan begitu mereka yang telah berupaya keras dapat diberi apresiasi oleh para wali murid.

Ironisnya, satu dari sekian banyak yang merayakan, rancangan itu tidak berlaku di hadapan nyonya besar keluarga Wijaya. Dengan segala bentuk kredibilitas dan reputasi nama keluarganya, Anna Lestari Kusuma—mamah Karin—tidak mungkin dapat menerima putrinya kalah dalam persaingan.

"Nggak, Mah ... Karin belum punya pacar. Kalaupun, iya, Karin nggak mungkin mau jalin hubungan yang nggak menguntungkan. Lagian, poin Karin sama Alfa cuma beda sedikit. Nggak susah, kok, buat kejarnya di akhir semester," ucap Karin merunduk memegangi bantal sofa. Ia tidak tahu alasan apa yang dapat menenangkan hati mamahnya.

"Begitu terus jawaban kamu? Sesulit itukah meraih juara satu? Dari kelas sepuluh sampai sekarang selalu saja beda sedikit. Mamah ini sayang sama kamu, Karin! Mamah cuma pengin kamu pintar, selalu kasih kamu fasilitas yang terbaik buat belajar supaya ke depannya kamu bisa jadi orang yang hebat! Kenapa masih belum cukup?"

Karin termenung. Sama seperti waktu sebelumnya, Karin juga tidak suka selalu menempati urutan kedua. Walau ia tahu persis ada banyak siswa-siswi yang berbondong-bondong ingin bertukar peringkat dengan dirinya, Karin tetap merasa kurang. Bukan karena tidak bersyukur, melainkan baginya yang mengaliri darah Wijaya, semua tidaklah sesederhana itu.

Papah Karin, yakni Barga Arifin Wijaya merupakan salah satu pengusaha sukses yang dikenal seantero pulau Jawa, sedangkan mamahnya—Anna Lestari Kusuma—adalah mantan model ternama yang sekarang beralih fungsi menjadi sosialita dari perkumpulan wanita masa kini.

KARSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang