03. Musuh

13.2K 2.2K 82
                                    

Di atas tribun lapangan belakang yang tertutup melingkupi pagar berjaring kelambu, Karin tengah terduduk bersama kerumunan yang kelewat asyik memperhatikan pertandingan bola dengan seru.

Tak seperti yang lainnya, fokus Karin tidak mengarah ke situ. Ia sedang termenung memikirkan nasibnya yang entah sampai kapan harus selalu mengecewakan di hadapan orang tua.

Pagi tadi—saat sarapan, mamah Karin sempat menyinggung perihal peringkat yang sebenarnya sudah keluar kemarin lalu. Namun, Karin belum mau membahasnya karena belum siap menerima reaksi yang akan diberikan. Beruntung, Kanova cepat tanggap untuk mengalihkan pembicaraan. Kembaraannya itu tahu persis harus berbuat apa ketika hal ini mulai dipermasalahkan.

Iya, terima kasih pada Kanova sang penyelamat. Meski telah mendapati kelonggaran waktu, Karin tetap merasa tidak tenang. Entah kenapa, mengulur sesuatu yang seharusnya dapat diselesaikan dengan cepat justru membuatnya jadi resah. Mau itu sekarang atau nanti, sama saja Karin harus menghadapi komentar dari mamahnya, bukan?

"Woah! Gol, gol, gol!"

"Kelas XI-IPA-1 memang andalan!"

"Iyalah, isinya pentolan semua."

"Eh, siapa yang masukin tadi? Gua nggak lihat."

"Farhan?"

"Bukan."

"Siapa?"

"Biasa, Alfa."

Karin membenahi letak kacamatanya. Sorak ramai dari perkumpulan pelajar yang mengitari sekelilingnya membuat lamunan Karin buyar. Mau tidak mau, ia terpaksa mengikuti alur pergerakan para laki-laki yang tengah melakukan selebrasi di dekat garis gawang tersebut.

"Karin! Rival lo keren banget!"

Kedua matanya melirik sebal ke arah Namira. Apa-apaan, sih, ucapannya itu?

"Eh, sorry. Maksud gue, ya, gitu, deh," balas Namira salah bicara. Sebelah tangannya yang bergerak gemas ingin memeluk Karin langsung ia lepas. Lupa bahwa Karin dan Alfa adalah musuh besar. Atau bagaimana, sih, ceritanya? Namira tidak paham dengan persoalan anak pintar.

"Apa, sih, bagusnya si Alfa itu?" tanya Karin culas. Ia memicingkan pandangan mengarah pada seorang cowok yang tengah dikerubungi teman setimnya tersebut.

"Ih, lo." Namira mencebikkan bibir. Sebenarnya, ia punya satu juta alasan untuk mengelu-elukan sosok Alfa di hadapan Karin. Namun, temannya sudah terlanjur membenci. Jika sudah begitu, ya, tidak ada guna. "Alfa, tuh, nggak banyak tingkah, Rin. Lihat, deh, udah jebolin gawang lawan aja, dia cuma lari kecil sambil balik lagi ke posisi, nggak heboh joget sana sini kayak cowok-cowok lain. Semacam soft boy yang rendah hati gitu nggak, sih?"

"Soft boy yang rendah hati?" Karin mendengkus. Tidak ada sejarahnya Alfa bisa bersikap seperti itu di mata Karin. "Ck, maksud lo lebih ke cowok angkuh yang sok kecakepan di depan banyak orang?"

"Ish! Terserah lo, deh," jawab Namira menggerutu sebal. Benar, bukan? Apa yang ia pikirkan barusan? Karin sudah terlanjur tidak suka, bagaimana mau mengagumi?

"Tenang, Rin. Gue seklik sama lo. Bagi gue, Alfa juga nggak sekeren itu." Berjarak satu baris di depannya, Rania ikut mencampuri perdebatan yang tak mungkin menemui titik temu tersebut. "Jelas-jelas, cowok gue lebih, wah, dibandingkan dia. Betul nggak?"

Karin kembali menonton pertandingan. Para laki-laki yang menjadi bintang pemain telah tersebar memulai babak baru. "Yah, kalau itu gue nggak bisa menyangkal. Pokoknya, Alfa itu cowok paling nggak banget di Bina Bangsa."

KARSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang