Desir angin yang bertiup sejuk lewat celah jendela kamar laki-laki itu bersikulasi damai menemani pemikirannya yang tengah usang menyeleraskan permasalahan. Tak seperti biasanya, malam ini Alfa tidak menyalakan pendingin ruangan. Setengah badannya ia biarkan terbuka dengan menaikkan lengan kirinya untuk menyangga kepala sedangkan luas selimutnya ia bentang menggunakan tangan kanan. Embusan hilir yang menerpa tubuhnya halus, kadang kala membuat Alfa lebih nyaman memperoleh ketenangan.
Sejak berpulang dari sekolah, terus-menerus Alfa merenungkan jawaban Karin atas pertanyaannya tentang kesempatan kedua. Perempuan itu lugas memetakan kalimat pasti yang sukar sekali ingin Alfa akui.
Sejauh ini, Alfa memang selalu keberatan untuk memberikan ruang tersebut tanpa mendapat bayaran yang ia butuhkan. Akan tetapi, sukarnya temperamen yang ia miliki, barangkali merupakan penghambat utama mengapa jembatan itu tak kunjung pula ia temukan. Setiap serba-serbi usaha perbaikan tercipta mendatanginya, Alfa malah berfokus pada kebencian. Alfa enggan memedulikan sebab besar luka yang ia miliki berhak untuk disuar sebanyak apa pun yang ia mau.
Sayangnya, di satu sisi Alfa menyadari kondisinya yang memprihatinkan harus mengulangi fase kekalutan. Ledakkan emosi serta hilangnya kestabilan diri sempurna menguras tenaga Alfa habis-habisan. Mungkin, apa yang Alfa perlukan sejatinya adalah berdamai dengan keadaan.
Selayaknya kedekatan hubungan yang tak disangka kini mampu ia capai bersama Karin, keterbukaan Alfa menghadapi rumitnya perkara boleh jadi menjelma kunci yang selama ini ia cari.
"Barangkali ketika lo berhasil melewati sesuatu yang nggak mudah buat dijalani, ke depannya, hal tersebut justru bisa mempermudah kehidupan lo di fase selanjutnya."
Iya, dahulu, bahkan Zaki telah menegaskannya secara terang-terangan. Adapun, pada akhirnya mampu beradaptasi mengolah ambisi Karin dan menerima bentuk dukungannya dengan positif, momok menakutkan perlombaan dapat Alfa tangani meski sempat kacau di beberapa titik.
Bijaksananya ucapan Zaki yang beruntung bisa ia buktikan melalui satu pengalaman tersebut, sekiranya cukup meneguhkan hati Alfa untuk berubah. Sembari menangkal sentimennya yang meluap berantakan, tindakan itu benar membantu Alfa memandang urusannya lebih jernih.
Tok Tok
"Kak? Kakak udah tidur?"
Merespons suara ketukan itu memanggil presensinya, dengan santai Alfa menegakkan badan seraya menyugar rambutnya yang berantakan. Sambil menurunkan kedua kaki ke sisi ranjang, Alfa mengenakan kaus putihnya yang terkapar di sebelah bantal.
Kembali pada masalah inti—berhubung sekarang ia sudah mengutuhkan pola pikir rasionalnya, mungkin ini merupakan waktu yang tepat untuk Alfa mengizinkan pintunya terbuka demi melihat sejauh mana mereka mau berusaha. Walau tentu, tidak bakal semudah itu Alfa memaafkan, namun tak ada salahnya ia mengimplementasikan pendapat Karin. Gestur hangat seharusnya menandakan pembenahan. Alfa harap, kesabarannya tidak sia-sia menawarkan kesempatan.
"Barangkali peruntungan tadi bisa diberikan ke sosok yang kita sayang buat membenahi kelirunya di masa lalu. Itu pun setelah kita yakin, bahwa niat mereka memang tulus menyambung perbaikan."
Bergerak memutar tuas kunci, Alfa hendak menatap mamahnya langsung menanggapi percakapan. Biasanya, Alfa hanya menjawab sekadarnya dari balik pintu. Ia berkata, "Belum. Ada apa, Mah?"
Tersenyum sambil menilik ke dalam ruangan, Stella—mamahnya Alfa—menemukan tumpukan buku berhamburan di kasur putranya tersebut. Jemarinya mengusap permukaan lengan ingin menyampaikan informasi mendadak. Ia berbasa-basi sejenak. "Nggak apa-apa. Mamah cuma mau pastiin aja. Kakak lagi belajar?"
Menoleh ke belakang mengikuti arah pandang mamahnya, Alfa mengangguk singkat mengonfirmasi keadaan. Kenyataannya, ia sempat belajar sekitar 1 jam lantaran Karin menyuruhnya mencoba efektivitas rumus kilat.
"Kakak semangat banget, ya, mempersiapkan lombanya? Mamah senang, deh, melihatnya. Doa Mamah yang terbaik selalu menyertai usaha Kakak."
Mendengarnya—kini tanpa melibatkan emosi mendalam, hati Alfa sedikit menghangat sebab dukungan verbal yang diucapkan mamahnya. Mungkin, besarnya ego yang dibangun Alfa selama ini telah menghalau segala fakta bahwa mamahnya juga sedang berupaya keras merestorasi retaknya hubungan keluarga.
"Ngomong-ngomong, besok pagi Mamah harus menyusul Papah untuk bantu menyelesaikan beberapa urusannya. Kamu nggak apa-apa, 'kan? Mamah tinggal dulu?"
Namun, tak melebihi sekejap Alfa menganggap semuanya baik-baik saja, sumber kekacauan yang menciptakan jarak lebar antara ia dan orang tuanya malah terlontar begitu ringan kembali terulang.
"Iya. Kakak nggak apa-apa," jawab Alfa menguar hawa dingin. Ia tersinggung. Mengapa kemampuan adaptasinya patut ditanyakan? Seolah pengasingan ini baru dilakukan pertama kali saja. Beruntung, Alfa masih memasang raut wajahnya datar mempertahankan harga dirinya.
"Syukurlah," ujar Stella mengulas senyum, mencairkan suasana. Pada dasarnya, ia gugup hendak membawakan topik inti yang dihindari oleh anak semata wayangnya tersebut. "Kak, mengenai hal yang kita bicarakan di bandara malam itu, kalau Kakak mengizinkan, Mamah mau datang ke pertandingan Kakak di babak final nanti."
Mendapatinya, Alfa mengembuskan napas kasar. Remaja laki-laki itu membuang mukanya gusar bingung menanggapi balasan. "Mah, perkaranya bukan tentang Kakak kasih izin atau nggak. Tapi, perlombaannya bakal diselenggarakan di sini. Mamah mau keluar kota, 'kan?"
Stella mengafirmasi. "Betul, Kak. Sebaliknya, itu juga bukan hambatan Mamah buat dukung kamu langsung. Mamah bisa beli tiket pesawat sebelum waktunya tiba."
Menilai adanya binar keseriusan, Alfa termenung sebentar menimbang keputusan. Saat ini, ia benar-benar limbung memproteksi masa kecilnya yang terluka. "Mamah benar mau datang ke perlombaan Kakak?" Sehingga berucap memastikan, Alfa perlu mengonfirmasi kesungguhan mamahnya agar tak bertindak gegabah.
"Ya, ampun, Kak? Kenapa nggak? Seratus persen Mamah yakin, kok, dengan ucapan Mamah. Pokoknya, Mamah janji bakal hadir di sana bersama Papah."
Lantas mengerjapkan matanya layu, Alfa mengangguk pelan meruntuhkan tembok pertahanannya. Kalimat bertajuk ikrar tersebut sanggup memudarkan keraguan Alfa yang membeludak. Ia, bahkan tidak menyingkirkan tangan mamahnya yang menepuk di luas bahu kanan. Mengenai pendambaannya dahulu yang mustahil untuk diwujudkan, semuanya tersusun kembali menyelipkan harapan baru di lubuk hati Alfa.
"Ya, Kakak tunggu."
KAMU SEDANG MEMBACA
KARSA
Teen Fiction[Pemenang Wattys 2021 Kategori Young Adult] Semenjak dikalahkan secara berturut-turut selama 3 semester pertamanya menduduki SMA Bina Bangsa, Karin nyaris kehilangan bentuk kepercayaan dirinya sebagai sosok yang mewarisi otak pintar keluarga Wijay...