Duduk menyilangkan kedua tangan di atas meja disertai senyuman yang sudah pegal menahan garis mendekati 1 jam—akibat terlalu lama berbicara dengan Luna, membuat Karin kesulitan membuka mulut ketika hendak mengutarakan kekesalannya kepada Alfa.
Mau bagaimanapun juga, Alfa itu dasarnya memang jelmaan cowok brengsek!
Setelah pertemuannya di ruang Bu Zahra berhasil meresmikan masa bimbingan intensif demi menyiapkan EKSEMPELAR, Alfa, Karin, dan Luna diberikan akses kunci menuju ruang tenang—nama area ekslusif dalam perpustakaan yang dikhususkan bagi siswa-siswi pemilik kepentingan perlombaan—setiap jam 4 sore untuk diskusi belajar bersama.
Hal itu merupakan kesepakatan tambahan yang bebas digunakan jikalau mereka bertiga ingin belajar secara mandiri menimbang edukasi bersama para guru akan dilakukan dalam rentang pukul 08.00—11.30 per harinya.
Selaku ketua, tentu Karin tak mau menyia-nyiakan waktu tersebut begitu saja tanpa digunakan. Terlebih lagi, tim ini baru saja dibentuk. Karin yakin, semakin sering mereka bertemu, pertemuan apa pun akan membantu soal mengenal karakter masing-masing atau menjalin kekompakan.
Usai perbincangannya dengan Bu Zahra berakhir kemudian dirinya dan Alfa serempak pergi meninggalkan ruangan, Karin segera mengejar laki-laki itu niat memberitahukan. Karin pikir, sikap laki-laki itu sedikitnya berubah lantaran keputusannya mengikuti lomba benar-benar di luar dugaan. Namun, alih-alih membalasnya dengan minat, Alfa hanya mengedikkan bahunya singkat seraya berkata, "Lihat nanti."
Karin pun tidak kuasa menyelami percakapannya lebih lanjut sebab saat itu, perasaan senang dan bahagia tengah membuncah mengetahui perjalanan lombanya akan baik-baik saja. Tetapi, seperti biasa, ungkapan terima kasih yang gengsi ia tunjukkan pada Alfa tidaklah pernah bisa berlangsung lama.
Salahnya Karin adalah, ia percaya terlalu cepat. Lupa bahwasanya laki-laki itu senang mencari perkara.
"Lo ingat, 'kan? Janji kita tadi ketemunya jam berapa dan sekarang lo datangnya jam berapa?"
Menumpu kedua tangannya di depan dada, Alfa mengembuskan napasnya lelah menyenderkan punggungnya ke bantalan kursi. Laki-laki itu jelas tidak peduli tentang apa yang sedang dikritisi oleh Karin. Ia malas menanggapi. "Nggak usah diperpanjang. Intinya, gua hadir, 'kan?"
Gigi Karin bergemeletuk. Senyumnya terbuka semakin lebar berusaha memahami. "Iya, nggak usah diperpanjang. Cuma maksud gue, menunggu orang hampir 1 jam itu nggak enak banget. Barangkali biar nggak terjadi lagi, baik lo, gue, atau Luna, semisal ada kepentingan ke depannya, bisa kabarin dulu sebelum hilang begitu aja," jawab Karin semaksimal mungkin mengikis amarah.
"Gua udah bilang, bukan? 'Lihat nanti'? Kalau telat, ya, berarti gua ada urusan."
"Urusan turnamen sepak bolanya cowok-cowok Bina Bangsa maksud lo?" Karin mengangkat sebelah alisnya sinis. Ia menekan intonasi pada kata ganda penuh yang menegaskan sebuah gender.
Berlaku serupa, Alfa menelengkan kepalanya jemu menatap Karin. Setangkap indranya, cara Karin berbicara tidaklah menyenangkan. Ia membalas argumen, "Ada apa dengan turnamen sepak bolanya anak cowok? Punya masalah? Atau lo menganggap aktivitas kita nggak penting?"
"Gue nggak bilang begitu!" Suara Karin mendadak naik satu oktaf. Ia mulai memanas. "Gue cuma minta kalau ada agenda lain, bilang yang jelas agendanya apa. Nggak susah, 'kan? Ngomong 'Gue izin telat karena kelas gue mau tanding babak semifinal nanti sore', bukannya sekadar 'Lihat nanti'!"
Alfa memejamkan matanya beristirahat sejenak. Tatapannya yang sudah sedikit sayu akibat lelah selepas berolahraga pun beralih menghadap Luna meminta persetujuan. "Lun, lo ada masalah kalau gua telat?"
KAMU SEDANG MEMBACA
KARSA
Teen Fiction[Pemenang Wattys 2021 Kategori Young Adult] Semenjak dikalahkan secara berturut-turut selama 3 semester pertamanya menduduki SMA Bina Bangsa, Karin nyaris kehilangan bentuk kepercayaan dirinya sebagai sosok yang mewarisi otak pintar keluarga Wijay...