Hari-hari demikian terus berlalu. Berjalan dikelilingi padatnya pertemuan kelompok, mengerjakan variasi latihan soal, hingga memelajari jalan pintas perhitungan baru, tak terasa permulaan babak kualifikasi hanya tinggal menunggu waktu.
Sepanjang bergantinya pagi, siang, dan sore yang mayoritas selalu ia habiskan di lingkup sekolahan, Alfa merasa beberapa periode singkat yang turut menyambutnya tersebut, telah memengaruhi beberapa bagian dalam dirinya sejak ia memutuskan untuk mengikuti perlombaan.
Baik itu di ruang tenang, di kantin, maupun di kelas, tidak jarang pikiran Alfa melayang bebas hendak berkeliaran melewati batas.
Jujur, sejauh 4 tahun usai berlangsung, Alfa sudah lama tidak membuka apa pun yang berpotensi membentuk sumber kemurkaannya tersebut. Tanpa diberi tahu pun, Alfa merupakan orang yang paling paham semua ini akan menyebabkan dirinya kembali menjadi kacau.
Oleh karena itu, memasuki fase remaja yang ia tahu bahwa hadirnya gejolak emosi dapat memperburuk kondisinya semakin berantakan, Alfa sebisa mungkin selalu menjaga ketenangannya dengan mencukupi semua urusan yang berkaitan atas peristiwa tersebut. Lukanya masih terasa basah setiap kali ia bersinggungan terhadap kata-kata yang mampu membuka kunci loker menuju memori kelamnya.
Alfa terlalu benci pada dirinya waktu itu. Alfa benci pada sebuah perantara yang mengakibatkannya berlaku semenyedihkan itu.
Sebagai seorang anak laki-laki yang lahir dengan seperangkat naluri dan nilai yang mengikat ke seluk jiwanya tanpa syarat, Alfa pikir, adalah hal yang tidak adil baginya untuk merasakan semua pengalaman pahit tersebut. Tidak jarang, identitasnya mengalami distorsi sehingga pantas ada kalanya ia kebingungan harus melaju ke arah mana.
Satu poin penting selama ia menjalani konseling singkat bersama Mba Diana atas bantuan Zaki di awal masa pubertasnya dahulu adalah, sejatinya manusia akan terus berkembang terlepas dari tidak atau terpenuhi kebutuhan umumnya di masa kecil asal ada kemauan. Pernyataan itu cukup memberi alasan bagi Alfa agar terus bergerak maju tanpa berlarut meratapi kesedihan.
Namun, mengakhiri sesi pentingnya begitu saja tanpa mendengar catatan lain yang barangkali dapat membantunya mengarahkan perilaku lebih baik, Alfa sekarang baru menyadari bahwa sisi ego dan naifnya—yang lewat dibiarkan tumbuh—mungkin menjadi dasar mengapa ia sulit untuk sembuh.
Percakapan dengan Zaki malam itu telah memukul batin Alfa telak terkait kadar sensitivitas yang dimilikinya. Alfa pikir, selama ini ia sudah berhasil mengontrol emosinya secara sempurna, padahal kenyataannya, Alfa hanya terus berlari karena tidak mau diajak membahas perkara.
"Lo yakin? Menghindar adalah cara yang tepat untuk menghadapi segala hal yang sebenarnya lo suka, Fa?"
Iya, sekuat hati, dahulu Alfa meneguhkan diri untuk tidak boleh kembali menghampiri kotak yang tak segan menggaris lukanya besar-besaran. Namun, susunan kalimat yang pernah Zaki utarakan perlahan-lahan membuat Alfa berpikir, bagaimana sebuah luka bisa sembuh jika yang bisa mengobati selalu ia suruh pergi jauh-jauh?
"Ada kalanya, kita harus memerangi luka terbesar kita untuk mendapatkan apa yang ingin kita tuju, Fa. Gua mau lo menemukan itu."
"Hah ... nggak kerasa, ya, sebentar lagi perlombaan mau dimulai."
Sekilas, serba-serbi ucapan yang utuh dikeliling rona antusias tersebut membubarkan perenungan Alfa secara penuh. Laki-laki itu menolehkan kepalanya menyamping, mendapati seorang perempuan berkacamata dengan nama lengkap Karina Garda Kusuma tengah menjulurkan tangannya sembari tersenyum sering-sering.
"Karin ... kamu, kok, bisa ceria begitu, sih? Aku aja kelewat deg-degan bayanginnya." Komentar dari Luna membuka seutas percakapan.
Karin menjawabnya tanpa merasa keberatan. "Gue juga deg-degan, kok, Lun. Deg-degan yang disambung nggak sabaran," katanya menyilangkan lengan tepat di atas meja. "Truely, I'm so excited for this. Segera datang sebuah hari di mana kita bakal berjuang sebagai satu tim untuk memperebutkan kejuaraan. Kalau fokusnya dipusatkan ke arah sana, khawatirnya bisa dibayar pakai semangat, 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
KARSA
Teen Fiction[Pemenang Wattys 2021 Kategori Young Adult] Semenjak dikalahkan secara berturut-turut selama 3 semester pertamanya menduduki SMA Bina Bangsa, Karin nyaris kehilangan bentuk kepercayaan dirinya sebagai sosok yang mewarisi otak pintar keluarga Wijay...