02. Multitalenta

14.9K 2.3K 107
                                    

Barangkali andai diberi nyawa, sebatang pensil mekanik yang kini berada dalam genggamannya mungkin siap menjerit keras sebelum dihancurkan. Karin yang melakukan penyiksaan terhadap benda mati tersebut hendak membantingnya kencang tak berperasaan.

Malam ini, ia stres sekali. Kegagalan yang menghampirinya tanpa henti rasanya tak kunjung lepas menghantui.

"Hah! Dia, kok, menang terus, sih?!" seru Karin meluapkan kekesalan. "Ini nggak mungkin! Pasti ada yang nggak beres!"

Kakak laki-lakinya yang sedang memainkan video game di atas kasur tersebut lantas sedikit terperanjat ketika mendengar Karin berteriak. Earphone-nya bahkan tak cukup menangkal sumber suara, ia langsung menoleh. "Lo kenapa, sih? Halaman buku lo kertasnya nggak sengaja ketekuk lagi?"

"Jangan sok tau, deh, Ka! Lo pikir permasalahan gue seremeh itu?!"

"Ya, maaf. Lo, 'kan, suka heboh perihal begituan," jawab Kanova tampak menciut. Perempuan memang sangat menyeramkan jika marah. "Lagi kenapa, hm? Ngomong sini, biar gua nggak salah tebak."

Menutup buku hafalannya yang secara formalitas ia baca, lantas Karin berbalik menghadap kembarannya. Ia bingung harus bagaimana. Persoalan yang saat ini menyita perhatiannya cuma Kanova saja yang mengetahui.

"Nilai gue baru aja keluar tadi," ucap Karin menguar kecewa. Ia tertunduk. "Dan ternyata itu semua nggak cukup buat dobrak peringkatnya."

"Peringkat?" Kanova mengangkat sebelah alisnya. "Monitor keramat Bina Bangsa udah muncul maksud lo?"

Karin pun bergumam memberi jawaban. Ia mengangguk sekali.

"Lo juara dua lagi?" tanya Kanova lebih spesifik, namun tak dibalas Karin. Laki-laki itu mematikan smartphone-nya yang masih menjalankan permainan. "Rin."

"Iya, dia masih juara satu. Menurut lo aneh nggak, sih, Ka?"

"Hm? Apanya yang aneh?"

"Ya, semuanya, Ka! Dari gerak-geriknya aja, Alfa itu nggak kelihatan kayak anak yang pintar, bahkan kerjaannya setiap hari cuma main bola sama teman-temannya! Nggak jelas tebar pesona sama cewek-cewek di Bina Bangsa. Ikut lomba juga nggak pernah. Ih, pokoknya nggak banget, deh!"

Dahi Kanova tampak mengerut mendengar penuturan dari kembarannya tersebut. Sebenarnya, ia belum pernah berkenalan dengan yang namanya Alfa. Semua ia ketahui sebatas cerita dari Karin saja. Sementara berdasarkan hal itu, sudah jelas Karin sangat membencinya.

"Memangnya kenapa kalau lagat dia nggak kelihatan rajin? Siapa tau di luar sekolah dia giat belajar?"

"Mana mungkin, Ka? Kalau dia berprestasi di bidang olahraga, gue masih bisa percaya. Lah, ini?" Kedua mata Karin saling mendelik saking tidak sukanya. Ia kembali berbicara, "Lo belum pernah ketemu sama dia, Ka. Alfa itu songong setengah mati! Cowok modelan begitu pasti pakai cara lain buat angkat nilainya!"

"Punya bukti apa lo bisa yakin banget begitu?" tanya Kanova sedikit tersinggung. Sebagai sesama laki-laki, ia merasa tidak terima derajat golongannya direndahkan.

Karin menjawab, "Buktinya, ya, lo."

"Gua?"

"Iya, lo." Karin mengangkat wajahnya tinggi-tinggi. "Lo itu salah satu cowok yang hobinya olahraga sama bersosialisasi, Ka. Coba jawab pertanyaan gue. Apa selama ini lo pernah dapat nilai yang bagus?"

"Wah." Kanova membuka mulutnya lebar. "Lo lagi hina gua ceritanya?"

"Bukan menghina. Gue mengutarakan fakta yang beropini logis."

"Jadi, pernyataan lo barusan opini atau fakta?"

Karin mendengkus. Kembarannya ini kenapa, sih? Susah sekali menyetujui ucapannya? "Keduanya nggak ada yang penting. Intinya, Alfa nggak mungkin diberkati otak yang mumpuni juga!"

KARSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang