Harap-harap cemas, berjalan sambil membenarkan letak kacamatanya adalah sebuah pertanda bahwa Karin sedang mengalami kebingungan besar. Sedari tadi, Karin tidak dapat menemukan kalimat yang pas untuk diajukan.
"Alfa, lo mau jadi ... duh, kenapa harus dia, sih?" ucap Karin lemas melanjuti. Langkahnya mengikis jarak menuju bagian luar ruangan kelas XI-IPA-1.
Saat ini, Karin tengah menjalani sebuah misi, misi bunuh diri yang memiliki potensi besar untuk menjatuhkan nama baiknya. Ya, sebut saja Karin cari mati. Sudah tahu ia menjalani perang dingin dengan Alfa yang sombongnya setinggi langit, namun sekarang ia malah menerima tawaran yang mengharuskan Alfa bergabung ke dalam aliansi.
Kebenarannya, Karin sangat malas bertemu Alfa. Karin sendiri tidak dapat membayangkan obrolan macam apa yang nanti perlu diutarakan. Memikirkan ucapan Bu Zahra kemarin saja, emosi Karin telah memuncak setengah kepala.
"Sejujurnya, Ibu kelewat bingung kenapa Alfa selalu menolak jika ditawari ikut lomba, padahal menurut Ibu, Alfa tidak jauh berbeda sama kamu."
Juara satu, tetapi selalu menolak jika ditawari ikut lomba? Tanggapan bodoh jenis apa itu? Maksudnya, mentang-mentang terverifikasi sebagai siswa paling pintar secara akademik, laki-laki yang bernama Keith Farez Alfansa merasa tidak perlu mengikuti kejuaraan begitu?
Dasar besar kepala!
Yang perlu digaris bawahi di sini adalah satu. Bagi Karin, dirinya dan Alfa tidaklah dapat dikatakan serupa. Tak seperti Karin yang gemar menghargai usaha dengan mencari segudang prestasi, Alfa lebih cocok dikategorikan sebagai sosok laki-laki angkuh yang merasa paling hebat dibandingkan orang lain. Cepat puas, hobi merendahkan? Apa bagusnya memiliki karakteristik semacam itu?
Dari segi motivasi, tata krama, dan juga kebaikan hati, Karin sangat yakin ia berada jauh di atas Alfa. Namun, perihal keahlian fisik serta kepintaran yang diuji dalam kurikulum, Alfa masih—berkuasa—mengungguli Karin.
Barangkali—sebagai manusia, personalisasi Alfa telah ditukar habis dengan dua bidang yang kelewat mahir diakui tersebut. Perilakunya itu jelas bernilai nol besar! Karin tidak tahu bagaimana cara mengajaknya bicara tanpa harus memulai pertengkaran.
"Huh, ayo, lo bisa, Rin," ucap Karin menyemangati diri. Kini, ia sudah berada di ambang pintu kelas Alfa.
Di dalam sana—tepatnya pada barisan bangku paling belakang, Karin mendapati Alfa tengah bercengkerama bersama kumpulan teman-temannya disertai setumpuk makanan ringan. Seperti kata orang-orang, dari kejauhan laki-laki itu memang tampak royal dan menyenangkan. Semua seratus persen berbeda ketika ia berhadapan langsung di depan Karin.
Boleh jadi, andai dahulu Alfa tidak memulai tawaran—implisit—berupa perang status peringkat yang dicetus secara tidak menyenangkan, Karin akan tertipu pula mengenai sosoknya yang ternyata bermuka dua. Sering kali, ia tidak paham dengan laki-laki itu. Rasanya ada terlalu banyak kejanggalan yang menyebabkan Karin memiliki penilaian lain terhadap Alfa.
Siswa paling pandai seantero kelas sebelas SMA Bina Bangsa, tetapi tidak pernah tertangkap basah sedang belajar ketika berada di lingkungan sekolah? Kegiatan sehari-harinya kelewat santai bermain tidak karuan yang pastinya tidak banyak menghasilkan manfaat, kenapa bisa menempati urutan pertama?
SMA Bina Bangsa sangat ketat, loh, dalam urusan akademik. Karin yang mati-matian belajar di setiap waktu senggangnya sekaligus mengikuti bimbingan tambahan saja, tidak pernah cukup untuk mengalahkan Alfa.
Aneh!
Berjalan sembari mendekati kerumunan, pada akhirnya Karin memberanikan diri untuk mendekati Alfa. Sejatinya, ia benci sekali harus berpura-pura bersikap manis di depan laki-laki tersebut. Akan tetapi, demi Bu Zahra dan juga mamahnya yang terlanjur menautkan harap, Karin bersedia melakukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KARSA
Teen Fiction[Pemenang Wattys 2021 Kategori Young Adult] Semenjak dikalahkan secara berturut-turut selama 3 semester pertamanya menduduki SMA Bina Bangsa, Karin nyaris kehilangan bentuk kepercayaan dirinya sebagai sosok yang mewarisi otak pintar keluarga Wijay...