07. Salah

8.6K 1.8K 68
                                    

Dalam perjalanannya melangkah jemu menuju tempat yang disepakati sebagai target sasaran lokasi, Karin mempertimbangkan banyak hal atas sebuah rencana yang sebenarnya tidak ingin ia lanjuti.

Menyerah terlalu dini? Bukan, jatuhnya lebih ke tidak etis.

Catat baik-baik, ya? Ini baru usaha pertama Karin untuk membujuk Alfa agar masuk ke dalam tim. Namun, sempat menjabarkan tujuan atau poin pentingnya saja, Karin belum bisa. Berbicara dengan Alfa yang terbilang mustahil menahan—barang sedikit—sifat arogannya, membuat Karin jadi tertarik mundur untuk menyampaikan pesan.

"Lo mau minta maaf atas sikap lo yang kemarin udah kurang ajar, 'kan?"

"Gua nggak akan dengar sebelum lo minta maaf!"

Tidak jelas! Kenapa, sih? Karin harus menuruti perintah diktatornya Alfa? Coba beri tahu, kurang ajar bagian mananya jika Karin tak mau mengambil bola yang sengaja ditendang sembarang ke arahnya oleh seorang laki-laki yang tidak memiliki rasa tanggung jawab? Pantas, bukan? Karin marah? Baru kali ini Karin mengakui sebuah kesalahan yang—sebenarnya—tidak ia miliki.

Sejujurnya, Karin sendiri tidak yakin apakah pujian serta hadiah yang ditawarkan andai memenangi perlombaan EKSEMPELAR mampu membayar amunisi kesabarannya untuk menghadapi seorang Alfa. Laki-laki itu jelmaan monster! Monster berperilaku keji yang bahayanya lagi berotak pintar!

Akibat pernyataannya tadi pagi yang sudah pasti menyiratkan makna akan kebutuhan, Alfa tanpa ragu langsung memanfaatkan hal tersebut untuk melemahkan Karin. Walau Karin belum mengungkapkannya secara eksplisit, namun laki-laki itu kelewat pandai memainkan situasi.

"Mana yang namanya Alfa?! Gue perlu bicara sama dia!"

"Masalahnya ini privasi! Ada persoalan masa depan yang pengin gue bahas sama lo!"

Bodoh! Kenapa juga menyatakannya serinci itu? Meski belum paham betul inti persoalannya apa, Alfa terlanjur merasa tinggi dahulu, bukan, jadinya?

"Nggak penting! Gua punya semua yang gua butuh!"

"Argh, resek! Lo nggak mungkin punya semuanya, Keith Farez Alfansa!" seru Karin bermonolog geram tak beradab.

Ditilik berdasarkan informasi yang didapatkan dari Bu Zahra tentang enggannya seorang Alfa mengikuti perlombaan, sih, sekiranya laki-laki tersebut memang tidak tertarik akan mewahnya arti kejuaraan. Di sini, secara jelas Karin lebih membutuhkan Alfa dibandingkan sebaliknya. Tidak tahu penawaran jenis apa yang harus diutarakan nantinya.

"Bikin Mamah bangga, ya?"

Karin termenung. Susunan kalimat yang tiba-tiba muncul dalam benak tersebut, mendorong Karin untuk melakukan apa pun demi mewujudkannya. Asal bukan memenuhi seluruh permintaan sewenang-wenangnya Alfa saja—yang sudah pasti ingin menjatuhkan harga diri Karin.

"Huh, dia belum pulang? Bisa jaga omongan juga ternyata."

Tepat di area parkiran belakang SMA Bina Bangsa yang notabenenya disediakan khusus bagi para pengguna kendaraan beroda empat, Karin mendapati Alfa tengah bersender duduk di atas mesin kap mobilnya yang terlihat paling mewah di antara sekitar. Meski begitu, bukannya mengesankan, aura laki-laki itu justru mengeruh. Sekiranya, Alfa terlanda kesal setengah mati.

"Jangan bikin gua menunggu. Pulang sekolah, kita ketemu di parkiran belakang. Jelas?"

Karin tertawa sinis. Kurang jelas apalagi? Memang hanya Alfa yang dapat memanfaatkan situasi? Siapa suruh mengungkap kelemahan di hadapan rival sendiri? Ini ganjarannya jika cari gara-gara terhadap Karin. Biar mampus sekalian Karin sengaja menunda waktu selama hampir mendekati 1 jam agar Alfa kelimpungan stres menahan bosan.

KARSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang