Di depan gerbang sekolah SMA Bina Bangsa yang menjadi kawasan jemput bagi para pelajar yang tidak membawa kendaraan pribadi, Namira tengah duduk manis berusaha menyimak keluhan temanya yang sedari tadi tiada habis.
Sejujurnya, ini bukan kali pertama Namira terpilih sebagai tempat penampungan emosi Karin, lebih tepatnya selalu. Kapan pun, setiap kali Karin memiliki masalah atau pertengkaran kecil dengan laki-laki yang bernama Alfa, Namira tidak pernah absen mendengar luapan protes Karin secara berulang-ulang.
Alfa itu begini, Alfa itu begitu, bosan, sih, namun mau bagaimana lagi?
Selayaknya teman yang baik, Namira hanya mencoba untuk setidaknya ada ketika dibutuhkan. Meski tanpa dipungkiri, di sisi lain ia juga berharap agar sopir pribadinya dapat segera datang membawanya pergi.
"Maksud gue kalau dia nggak mau, dia bisa, 'kan? Menolak pakai cara yang sopan? Nggak usah marah-marah segala!"
Menghela napas, lama-lama telinga Namira bisa melar mendengar ocehan Karin. Temannya itu sangat berapi-api jika sudah membahas si juara satu Keith Farez Alfansa. "Lo kesal banget kayaknya? Memang, Alfa ngomong apa aja ke lo?"
"Ngomong?" tanya Karin dengan mata membelalak. "Alfa, tuh, nggak bisa ngomong kayak manusia, Nam! Dia menggonggong!"
"Astaga, Rin!" Namira terperanjat. Terkadang, ia suka heran. Sebenarnya, sudah sampai sejauh mana, sih, tingkat kebencian temannya itu kepada Alfa?
"Gue yakin, dia pasti sengaja sok jual mahal buat mempersulit rencana gue. Argh! Siapa, sih, orang bego yang nggak mau ambil kesempatan emas buat jadi siswa berprestasi? Nggak tertarik dia bilang? Cih, jangan bercanda!"
"Ya, kali aja ... Alfa bukan sosok yang—"
"Bukan sosok yang gimana? Lo nggak usah cari alasan buat memaklumi perilaku dia, deh! Nggak mungkin dia bisa nggak tertarik, Namira! Setiap yang memiliki kemampuan lebih, pasti selalu punya ambisi untuk dikejar!"
Mendengarnya, Namira termenung. Oke, Karin buktinya. Namira paham betul tabiat Karin seperti apa. Walaupun otak mereka berbeda level, Namira bisa merasakan kebenaran dari apa yang dikatakan oleh Karin. Sekiranya, andai Namira cerdas pula, ia tidak akan menyia-nyiakan anugerah tersebut begitu saja.
"Lo tau nggak, sih, Nam? Apa yang paling bikin gue kesal?"
Namira menggeleng. "Apa, Rin?"
"Alfa, tuh, punya semua yang gue butuhin. Dan brengseknya, dia bersikap seolah-olah semua itu nggak ada yang penting."
"Maksud lo?"
Melepas kacamata bulatnya, Karin mencebikkan bibir tak bersemangat. "Bayangin, deh, Nam. Semisal, lo punya keinginan buat tinggal di sebuah rumah yang mewah ... banget. Tapi, dengan kondisi lo yang sekarang, lo tau, lo cuma bisa hidup pas-pasan di sebuah gubug yang sederhana. Di sisi lain, lo punya tetangga yang tajir parah dan punya istana super megah mirip banget kayak apa yang lo mimpiin. Anehnya, tetangga lo, tuh, malah biarin istananya kosong berdebu gitu. Nggak ditempati sama sekali. Kesal nggak, sih, lo lihatnya? Tau begitu, dari awal nggak usah bangun istana aja sekalian."
Namira menganggukkan kepalanya. Ia paham maksud dari ucapan Karin. Secara tidak langsung, temannya itu sedang melontarkan ungkapan metafora mengenai kecemburuannya terhadap otak Alfa. Sudah jadi yang paling pintar, namun tidak pernah dimaksimalkan secara sempurna. Karin yang notabenenya mempunyai ambisi tinggi untuk mengejar tangga prestasi tentu merasa terganggu dengan perilaku pasifnya Alfa.
"Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, suka-suka dia nggak, sih, Rin, mau apain istananya? Yang pilih buat bangun propertinya dia, 'kan? Yang punya duit juga dia. Kalau rugi, ya, yang rugi dia sendiri. Kenapa lo yang repot?"
KAMU SEDANG MEMBACA
KARSA
Teen Fiction[Pemenang Wattys 2021 Kategori Young Adult] Semenjak dikalahkan secara berturut-turut selama 3 semester pertamanya menduduki SMA Bina Bangsa, Karin nyaris kehilangan bentuk kepercayaan dirinya sebagai sosok yang mewarisi otak pintar keluarga Wijay...