Usai memastikan ruang ini sepenuhnya ia kuasai tanpa harus membalas ucapan selamat atau dikelilingi oleh suara tangis beserta tatapan iri pesaing lainnya—sebab tak terima mendapati kekalahan, Karin membenamkan seluruh wajahnya pada tumpukan bantal lalu berteriak sekencang mungkin untuk menumpahkan binar kebahagiaannya yang melimpah berlipat ganda. Kedua kakinya yang membentang lurus, ia hentakkan bergantian ke atas dan bawah menyeleraskan perasaan bungahnya.
"Karin ... kamu senang banget, ya?" Di sebelah perempuan itu, Luna yang mengulas senyum lantaran terpapar besarnya aura positif milik Karin, lantas ikut duduk di tepi ranjang memangku jemarinya dengan sopan.
"She's not just happy, Luna, she's overreacting." Lain lagi di seberang sana, Alfa yang pastinya tak mungkin melewati batas kamar tersebut malah menggeleng pelan sembari menyenderkan punggungnya santai di bingkai pintu. Laki-laki itu mengembuskan napasnya panjang hendak menyembunyikan kegembiraan. Bukan maksudnya enggan meramaikan, melainkan dengan minim sisa tenaganya, Alfa tak sanggup menyamai energi Karin yang senantiasa menguar kuat di sekitar.
"Sumpah! Gue berhak, dong, bersikap berlebihan? Kita nggak sekadar lolos doang! Tapi, akumulasi poin kita ada di urutan pertama!" Membalikkan badannya yang tengkurap sambil memeluk sebuah bantal, Karin sempat merapikan rambutnya sebentar kemudian lanjut berbicara, "Usaha kita buat latihan berebut soal nggak ada yang sia-sia. Kecepatan menjawab kita juga meningkat pesat dibandingkan babak penyisihan kemarin. We did it so well, guys! Gue nggak bisa berhenti amaze mengingat performa kita barusan."
Beralih menghadap depan, Luna mengamati lanskap perkotaan yang tembus pandang melalui haluan jendela. Ia berkata, "Aku setuju sama kamu, Rin. Sampai sekarang, bahkan aku masih merinding. Buat aku yang pemula, pengalaman tadi luar biasa banget! Berkat dorongan kalian, aku jadi bisa bantu memperoleh sekian skor melebihi pertimbangan yang aku kira."
"Gue bilang apa, 'kan? Lo, tuh, hebat, Lun." Seraya merengkuh tubuh Luna dari samping, bibir Karin melekuk manis menempatkan dagunya di atas pundak perempuan itu. Wewangian yang dipakai Luna, terbaur sejuk dan menyegarkan. Tangan kanan Luna lalu menepuk permukaan kulit Karin secara lembut berbalasan. Gestur Luna halus sekali. Akhirnya, Karin tidak salah lagi perihal mendekap sosok tegap yang bertolak belakang terhadap struktur anatomi Luna.
"All right, take your time girls. Kalau butuh apa-apa, gua ada di kamar." Pada sisi berlawanan, Alfa yang sudah lelah hendak merebahkan diri barang sejenak pun melangkah pergi meninggalkan momen persahabatan Karin dan Luna yang menghangat. Meski kini, Karin tak menghadiahinya dengan sentuhan fisik berupa pelukan erat selayaknya dahulu, Alfa tetap senang melihat perempuan itu leluasa mengukir senyum cerah di wajahnya.
Entah sejak kapan, antusiasme Karin telah menjelma hal penting bagi Alfa yang tak umum memeriahkan kemenangan. Alfa jadi teringat momen 4 tahun lalu di mana ia pertama kali terpukau kepada Karin. Hebohnya reaksi perempuan itu, sanggup menjembatani rasa penasaran Alfa lewat bayangan yang terlintas di kepala.
Kala itu, Alfa tengah putus asa berat lantaran sederhana pendambaannya, kembali mustahil terwujud terlepas berapa upaya yang susah payah ia kerahkan. Namun, reaksi Karin yang benar-benar hidup menunjukkan trofi kebanggaan, berhasil mencerminkan sikap Alfa andai orang tuanya mau datang walau sekali saja. Hiburan Alfa di panggung menyedihkan tersebut, hanyalah memindai gerak-gerik Karin yang—tak disengaja—tulus mewakili harapannya. Di luar itu, kepribadian Karin yang tampak bersemangat dan periang mampu menarik perhatian Alfa secara diam-diam.
"Karina, lo nggak berubah sedikit pun, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
KARSA
Teen Fiction[Pemenang Wattys 2021 Kategori Young Adult] Semenjak dikalahkan secara berturut-turut selama 3 semester pertamanya menduduki SMA Bina Bangsa, Karin nyaris kehilangan bentuk kepercayaan dirinya sebagai sosok yang mewarisi otak pintar keluarga Wijay...