Aku berpikir bahwa dengan pergi melarikan diri untuk menghindari luka dan trauma, akan membuatku menjadi baik-baik saja.
Aku berpikir mampu memperbaiki segalanya, menghindari kesalahan atau kegagalan yang terjadi.
Namun tanpa kusadari, tragedi yang sebenarnya sedang bersembunyi di suatu tempat, yang sewaktu-waktu melompat ke arahku ketika aku lengah.
Lalu pada suatu titik, aku akan jatuh terpuruk ketika menyadari bahwa kehidupanku tidak banyak ataupun sedikit berubah.
•
•
•Aku duduk di kursi peron stasiun, menatap tiket kereta untuk beberapa lama. Pikiranku kusut. Suara hiruk pikuk di sekitarku, semakin membuat perasaanku kalut. Aku mengangkat pandangan, memperhatikan orang-orang yang sibuk berlalu-lalang dengan tas bawaan mereka. Setelah mendengar kabar dari Risa tentang kondisi Ayah, dua hari setelah ujian selesai, aku meminta izin pada paman dan bibi untuk pulang ke Surakarta selama tiga hari. Aku tidak menjelaskan secara menyeluruh tentang alasan aku pulang, aku hanya berkata bahwa Ayah sedang sakit, jadi aku harus pulang untuk mengetahui kondisinya.
"Rinjani!" Aku memutar tubuhku, terkejut saat mendapati Kak Devan setengah berlari ke arahku dengan napas tersengal. Keringat membasahi pelipisnya. Rambutnya sedikit berantakan. Seolah ia baru saja mengikuti lari maraton jarak pendek.
"Kamu ... udah mau pergi?" Dia berusaha mengatur napasnya yang masih memburu.
Aku mengangguk lemah. "Aku mau pulang ke Surakarta sebentar," kataku. "Ayahku sakit." Seulas senyum tipis terukir di bibirku. Aku berharap bahwa senyum yang aku tunjukkan padanya tidak terlihat aneh atau dipaksakan.
Kak Devan menatapku beberapa lama, tatapannya seolah sedang bertanya; apa aku baik-baik saja-sebelum akhirnya menyodorkan kotak karton yang berada dalam genggamannya.
"Nih, buat oleh-oleh ke rumah," katanya dengan senyum dua jari.
Aku menatap kotak tersebut, lalu berganti menatapnya. "Kenapa memberiku ini?" Pertanyaan yang tak perlu kutanyakan sebenarnya.
Dia memang selalu memperlakukanku dengan baik. Karena semua kebaikannya itu, terkadang membuatku merasa dihinggapi perasaan takut. Bagaimana jika kebaikannya nanti akan membuatku bergantung padanya?
"Enggak apa-apa. Kebetulan tadi aku habis dari toko kue langganan, jadi sekalian aku bawakan buat kamu." Tangannya masih terulur di udara, menunggu. "Cepetan ambil, capek, nih, tanganku," katanya sembari menggoyangkan tangannya, memintaku untuk segera menerimanya.
"Makasih, ya, kak." Sedikit segan, aku menerima pemberiannya.
Dia mengambil tempat di sampingku. Suasananya menjadi sedikit canggung selama beberapa menit. Aku merasa aneh karena biasanya Kak Devan selalu punya cara untuk mencairkan suasana, kali ini kami saling terdiam. Seolah sedang sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Berapa lama lagi keretanya sampai?" Meskipun terdengar basa-basi. Pertanyaan itu memecah kebisuan di antara kami.
Aku melirik jam tanganku sekilas. "Sekitar dua puluh menit lagi." Lalu kami terdiam lagi. Aku hanya tidak tahu harus mengatakan apa. Kalimat perpisahan pun tidak perlu, aku hanya akan pergi beberapa hari karena menjelang liburan kenaikan kelas.
"Aku tidak tahu kata apa yang cocok untuk menghibur kamu." Kak Devan menatapku dengan sorot matanya yang hangat.
Aku hanya membalas tatapannya dalam diam. Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Aku tidak bisa menceritakan apa pun padanya. Sejak kecil, aku tidak terbiasa untuk diajarkan mengungkapkan perasaan atau emosiku, jadi selama ini aku selalu memendamnya. Lalu, pada akhirnya, emosi itu menumpuk hingga sewaktu-waktu menjadi bom yang bisa meledak kapan saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Youth
Fiksi RemajaRinjani adalah gadis biasa yang memiliki banyak mimpi. Selain ingin melanjutkan sekolah, pindah ke Yogyakarta adalah jalan yang mudah untuknya melarikan diri dari luka karena kepergian ibunya. Ia ingin memulai kehidupan sekolah yang tenang dan lulus...