Louise terjaga dari tidurnya ketika matahari telah merangkak naik di atas kepala. Cahayanya menembus masuk melalui ventilasi dan kaca jendela kamarnya yang terbuka. Louise tidak ingat jika ia membiarkan kaca itu tetap terbuka, namun kamera dan catatan pada jurnalnya di atas pangkuannya memberi Louise jawaban bahwa ia sedang memata-matai Rita dan Jim Foster dari balik jendelanya sebelum Louise jatuh tertidur.
Punggungnya terasa sakit akibat tertidur di sofa. Kepalanya berdenyut-denyut tak keruan dan Louise merasakan cairan empedu naik ke tenggorokannya. Ia berlari menyambar toilet dan muntah di sana. Ia telah memulai kebiasaan paginya yang menyenangkan setelah mabuk semalaman. Louise tidak ingat seberapa sering ia muntah di pagi hari. Mungkin Dr. John dapat membantunya tentang hal itu. Louise dapat meminta terapis itu menuliskan beberapa resep penetralisir rasa mual untuknya. Meskipun mencegah muntah di pagi hari nyaris tidak mungkin karena Louise benar-benar tidak menyukai mentega, namun Ally telah menyediakan satu lemari penuh makanan kaleng penuh mentega untuk dihabiskan. Mencium aromanya meningkatkan nafsu makan, sekaligus membuatnya ingin muntah. Hanya ketika Louise merasa kelaparan, ia akan melahap banyak mentega hingga nyaris tidak ada yang tersisa. Kemudian rasa mual itu kian didorong oleh alkohol yang dikonsumsinya setiap malam.
Dulu Louise adalah penganut katolik yang taat. Ia menghadiri misa karena Ed selalu melakukannya dan Louise semakin terbiasa dengan rutinitas yang dilakukan Ed. Ed tipe laki-laki religius yang menolak mabuk. Laki-laki itu tidak suka larut mengonsumsi alkohol dalam jumlah banyak. Menurut Ed itu konyol dan setelah menghabiskan waktu bertahun-tahun hidup dan tinggal bersama laki-laki itu, Louise mulai terbiasa. Ia melihat titik cerah dalam dirinya setelah peristiwa kelam kematian ibunya. Louise merasa hidupnya mulai tertata dengan baik dan ia tidak pernah merasa lebih normal dari saat itu. Mungkin ide untuk memulai kehidupan normal terdengar sangat membosankan sekarang. Ia pergi bekerja selama lima hari dalam satu minggu seperti yang dilakukan kebanyakan orang, bangun pagi-pagi sekali untuk jogging, menyiapkan sarapan Ed, kemudian pada hari libur ia akan disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga dan Louise akan mendampingi Ed menghadiri misa setiap minggu pagi. Ia tidak lagi menjalankan rutinitas itu setelah lima tahun lamanya dan semua itu tiba-tiba terdengar sangat asing untuk dilakukan. Namun, Dr. John pernah mengatakan padanya bahwa Louise membutuhkan suatu kesibukan untuk mengalihkan pikirannya. Ia sibuk mengamati kehidupan Rita Foster, menurutnya itu baik. Ditambah lagi, mereka menjadi lebih sering mengobrol akhir-akhir ini. Setidaknya, ia tidak lagi kurang bersosialisasi.
Rita Foster teman yang menyenangkan, Louise tidak akan memungkirinya. Wanita itu punya latar belakang yang misterius. Louise tidak pernah membayangkan Rita berasal dari keluarga dengan rumah tangga yang hancur dan memiliki seorang kakak yang mengidap bipolar. Ibunya yang bernama Julie mungkin menjadi misteri lain yang menunggu untuk di kupas. Louise telah mencatat semua detail itu dalam jurnalnya. Ia sangat bersemangat untuk melanjutkan tulisannya. Semalam, ia mengamati Rita dan Jim keluar dari mobilnya. Keduanya tampak bersitegang dan pasangan itu nyaris tidak menunjukkan keromantisan seperti biasanya.
Rita langsung pergi tidur begitu sampai di rumah karena Louise melihat wanita itu meredupkan lampunya. Sementara itu, Jim terlihat berdiri di belakang konter, persis di sebelah kursi yang pernah ditempatinya pada konter itu. Louise bisa melihat laki-laki itu menuangkan alkohol ke dalam gelasnya, kemudian Jim hanya berdiri di sana hingga larut. Sikapnya sungguh aneh. Ia terus menatap lurus, dengan segelas alkohol di tangannya. Mungkin Jim hanya sedang memandangi lukisan dinding di balik tirai yang menghalangi Louise dari pemandangan ke tempat dimana Jim menatap, atau mungkin laki-laki itu hanya sedang melamun. Apapun itu, itu bukan hal yang biasa terjadi. Jim sangat tenang hingga Louise kesulitan membahami emosinya. Laki-laki itu bisa bergerak semulus bayangan, menghilang seperti hantu. Mungkin itulah kata yang cocok untuk halaman depan jurnalnya: sepasang hantu berwujud.
Ketika Louise bergerak turun menuju dapur, ia melihat sebuah bayangan melintas dari pintu dapur itu. Kemudian sosok Ally telah berdiri di sana, berdiri memunggungi Louise dan tampak sibuk menyantap roti selainya. Louise nyaris berlari ke arah dapur. Wajahnya pucat seolah-olah ia baru saja melihat hantu. Namun, Ally memang seperti hantu. Wanita itu bisa muncul kapan dan dimana saja.
“Bagaimana kau disini?”
Ally berbalik, memperlihatkan hidung bulat dan rahang tirusnya yang menonjol. Bibirnya pucat karena Ally tidak memakai lipstik. Ia hadir dengan kemeja hijau favoritnya dan jeans longgar yang nyaris mencerminkan sosoknya dengan jelas.
“Oh hai, Lou! Aku sampai disini semalam, sebenarnya tengah malam, jadi aku tidak mengetuk karena kau pasti sudah tidur. Seperti dugaanku, kau bangun terlambat lagi. Tidak masalah, jangan khawatir, aku bukan ibumu. Aku tidak akan menyuruhmu bangun untuk jogging atau membersihkan kamarmu. Itu semua terserahmu, lagipula ini rumahmu.”
Ally mengitari meja, meletakkan sepiring penuh roti selai di sana kemudian duduk untuk menyundutkan pemantik pada putung rokoknya.
“Duduk dan makanlah! Aku tahu kau kelaparan.”
Ketika Louise tidak bergerak, Ally memutar bola matanya.
“Jangan menatapku seperti hantu. Ayo Lou!”
Louise hendak menolak, ia punya banyak kegiatan untuk dilakukan pagi ini seperti: menyelesaikan jurnal harian, mengukur tekanan darahnya, membersihkan sisa muntahan, atau mentransfer gambar-gambar Rita Foster yang ditangkap kamera ke komputernya. Louise cukup sibuk. Namun, pada akhirnya Louise menyerah untuk duduk di seberang Ally.
“Aku tidak mengerti mengapa kau menginap? Itu jarang sekali terjadi. Mengapa kau menginap?”
“Kejutan! Karena aku dan Dan bertengkar lagi. Aku tidak tahan dengannya. Sewaktu-waktu dia bisa menjadi benar-benar menyebalkan sepertimu.”
“Oke itu lucu, kau menghindari satu masalah untuk menghadapi masalah lain.”
“Ayolah Lou, bergembiralah sedikit!”
“Diamlah!”
Ally mengembuskan asap rokok dari mulut dan hidungnya, wangi nikotin itu menampar wajah Louise. Louise memerhatikan saat ujung rokok Ally menghantam permukaan asbak hingga menciptakan bekas yang menghitam di sana. Wanita itu mengangkat gelas, minum dari tepiannya dan berlama-lama ketika menelannya seolah itu adalah minuman terbaik di dunia.
Ally memiliki kemampuan untuk mengundangnya bergabung. Sifatnya mengingatkan Louise tentang ibu mereka yang keras kepala. Ally dan ibu mereka adalah pasangan duel yang cocok, mereka dapat bersama-sama menentang Louise dan bahkan keduanya memiliki kesamaan yang identik yaitu suka tidur dalam posisi telungkup. Menurut Louise itu aneh, menurut Ally itu nyaman.
“Hari ini seharusnya jadwal terapimu, bukan?” Ally membeliakkan kedua matanya dengan sempurna saat mengingatnya.
“Tidak, aku membatalkannya.”
“Kenapa? Serius Lou, jangan main-main dengan pengobatannya!”
“Tidak, kau harus mendengarkan aku. Aku sudah merasa baikkan sekarang. Itu sudah tidak ada gunanya, oke? Aku hanya ingin kau berhenti mengingatkanku bahwa ada yang tidak beres denganku.” Louise enggan menceritakan kesibukannya yang mungkin akan menjadi bahan hiburan untuk Ally.
“Tidak, kau melantur!” tuding Ally.
“Berikan aku rokokmu!” Louise menjulurkan satu tangannya yang spontan dihindari Ally.
“Apa?”
“Berikan saja aku rokoknya!”
“Tidak! Kau akan kembali pada pengobatanmu. Aku tidak ingin mendengar alasan apapun lagi. Aku membayar mahal untuk itu dan kau mengacaukan keadaan seperti biasanya. Tidak peduli bagaimana ibu kita bekerja sebagai pelacur, atau aku! Kau orang egois yang hanya memikirkan dirimu sendiri! Aku tidak ingin menghabiskan waktu hidupku dengan menghadapi versi terburuk dari saudariku, dan jika kau berpikir aku akan membiarkannya, maka tidak. Kau terjebak bersamaku, Louise, kau selalu membenciku dan ibu, tapi aku tidak! Dan lihat dirimu! Betapa kacaunya dirimu! Kau makhluk paling idiot di muka bumi!”
“Maka jangan berbicara denganku! Pergi sajalah dan jangan pernah menginjakkan kaki di propertiku lagi!”
Ally sudah bangkit saat Louise berteriak di depan wajahnya. Kini wanita itu meraih mantel dan kunci mobilnya. Wajahnya memerah persis seperti yang diharapkan Louise, namun Louise tidak benar-benar meyakini ucapannya. Ia tidak bermaksud menyinggung Ally, alih-alih membuat dirinya puas dengan perdebatan itu. Hanya saja, Louise tidak dapat menarik kata-katanya dan ia tidak bisa mencegah kepergian Ally. Di kursinya, ia duduk dengan punggung kaku sembil mengetuk-ngetukkan jarinya di atas permukaan meja. Suara gemuruh mesin mobil terdengar di halaman depan. Suara itu menghilang secepat kemunculannya. Ketika yang tersisa hanya keheningan, Louise hanya berharap dapat menenggelamkan dirinya dan rasa kesal itu.
Namun, alih-alih melakukannya, Louise berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Ia membanting pintu dengan kasar, merasa tidak dapat bersikap lebih bodoh lagi dari anak kecil. Ia telah melewati malam-malam itu, ketika Louise mulai berdebat dengan Ed dan segalanya menjadi kacau. Ia mengingat Ed duduk di sudut ruangan, membolak-balik halaman jurnalnya dan berusaha mengabaikan Louise. Terkadang, laki-laki itu suka menyampirkan tangannya di pada lengan kursi, mengenakan tunik hitam hanya agar membuat dirinya tetap hangat, duduk di belakang meja kerjanya, kemudian Ed tidak akan bicara semalaman. Laki-laki itu mampu menjaga emosinya tetap stabil: satu kemampuan yang tidak dimiliki Louise sepanjang pernikahan mereka. Ed memiliki kepekaan dan intuisi yang tajam untuk memahami emosi seseorang, namun ketika seseorang membuat laki-laki itu kecewa, ia akan marah dengan sangat anggun. Namun itulah Ed, sisi yang bertolak belakang dari keburukannya. Menenggelamkan diri dengan buku-buku adalah pilihannya. Sebagai dosen sejarah hal itu sangat mudah dilakukan, namun Louise tidak dapat memikirkan suatu kegiatan yang cukup baik untuk meluapkan emosinya. Dr. John menyarankan meditasi, namun Louise tidak pernah fokus untuk beberapa menit saja. Itu aneh mengingat ia seorang fisikawan yang cerdas. Ia telah merancang neuron dalam otaknya dan membentuk sebuah siklus yang tak beraturan. Dengan kata lain, Louise telah memasang bom di kepalanya yang siap meledak kapanpun. Well, itu hanya masalah waktu.
Sisa cairan anggur di dalam botol yang diletakkannya di atas nakas meledeknya. Seandainya seisi ruangan itu hidup, mereka mungkin akan menertawakan Louise. Betapa kacau hidupnya. Ia telah mendesain versi terburuk dirinya. Kini Ally membencinya, dan hanya masalah waktu sebelum Louise membenci dirinya. Namun, ia telah melewati tahun-tahun sulit itu, sejauh ini Louise bertahan tanpa satu alasan yang jelas. Menyaksikan kehidupan orang-orang di sekitarnya adalah pengobatan, suatu bentuk terapi yang membuat gairahnya meningkat. Ia dapat dikatakan berada pada titik dimana segalanya terlihat membingungkan. Titik-titik itu seperti sekumpulan air yang mengetuk-ngetuk atap rumahnya, menciptakan kilasan balik dari masa lalunya dan memberinya gambaran sepintas tentang apa yang mungkin terjadi di masa depannya.
Louise terus menebak-nebak. Itu sebuah pertanda buruk, ketika seseorang mulai menebak-nebak apa yang akan terjadi pada hidupnya.
“Kau tidak memiliki tujuan, dan kau mulai menebak-nebak,” kata Ed suatu malam.
Louise merenungi banyak hal, namun yang menarik perhatiannya adalah jurnal milik Ed yang masih tersimpan di dalam rak. Sampulnya telah menguning dan berdebu. Bekas genangan air membuat kertasnya mengeriting, namun tinta dari tulisannya tidak memudar. Ada banyak hal yang tulis Ed dalam jurnal itu, bukan hanya agenda kerjanya, rencana atau materi singkat yang disampaikannya dalam seminar, namun juga pengobatan alami, meditasi, sebuah tulisan yang mengandung filosofi-filosofi lama. Menurutnya itu klasik dan menarik, setiap kata tampaknya sangat memukau. Buah pikiran yang tajam, tidak tergantikan.
Louise menggeledah seisi lemari, berusaha menemukan apapun yang tersisa dari Ed, hingga ia menyaksikan mobil hitam terparkir di ujung jalan. Louise menyadari bahwa mobil itu terparkir di sana cukup lama. Seorang pria dengan tunik abu-abu baru saja keluar dari dalam, ia berjalan menuju kediaman Foster.
Sementara itu di atas balkonnya yang tinggi, Rita Foster melambai ke arah laki-laki dengan tunik abu-abu itu, tersenyum ke arahnya kemudian berlari turun dan menyambutnya di pintu belakang rumah.
Perhatian Louise sepenuhnya teralih. Ia menyaksikan saat pasangan itu berhati-hati ketika mengendap masuk ke dalam. Louise bergerak mendekati jendela, ia masih melihat ketika Rita menarik tamunya untuk masuk menaiki tangga. Melalui kaca-kaca transparan di rumahnya, padangan Louise bergerak mengikuti mereka di anak tangga, kemudian bergerak naik dan menyusuri lorong di lantai atas sebelum menghilang di ruangan kosong. Rita berdiri memunggungi kaca, berhadap-hadapan dengan pria itu sebelum berbalik untuk menurunkan tirai-tirai tinggi dan mengakhiri pemandangan Louise ke sana.
Louise menepuk birai jendelanya dengan kesal, menunggu, masih menatap ke tempat yang sama. Namun, Rita Foster dan tamu misteriusnya tidak lagi terlihat. Kini ia menatap ke mobil hitam di seberang jalan, sebuah ford hitam yang tampak asing. Siapa laki-laki ini? Mungkinkan saudara Rita? Adik atau kakak? Namun Rita hanya memiliki seorang ibu bernama Julie dan seingat Louise, Rita tidak memiliki keluarga lain yang berada cukup dekat dengannya. Lalu siapa pria ini? Seorang tamu? Teman? Atau kekasih? Permikiran itu cukup menggelikan tapi menarik.--
KAMU SEDANG MEMBACA
PUNISHMENT
WerewolfRita Foster menjalani kehidupan pernikahan yang sempurna bersama Jimmy Foster - Jim. Sejauh ini semuanya berjalan mulus hingga suatu hari ia menatap keluar jendela dan membayangkan kehidupan yang berbeda.. Dari balik kaca jendela, Louise Paige suka...