Bagian 29

77 13 1
                                    

Rita mengetuk pintu Louise tepat pada waktunya karena wanita itu muncul lebih cepat di depan pintu. Loiuse masih berpakaian sama: sweter hijau dan denim panjang berwarna gelap, dan tampak gugup ketika menghadapinya. Wanita itu tidak menyingkir dari pintu hingga Rita mendorong pintunya.

“Keberatan jika aku bergabung?”

Kedua mata Louise melebar, Rita dapat menyaksikan itu, namun yang menarik perhatiannya adalah tingkah Louise yang tiba-tiba terlihat aneh.

“Louise?”

“Aku tidak punya bir,” kata Louise.

“Aku tidak ingin bir.”

Barulah Louise menyingkir dan memberinya jalan untuk masuk. Ruang depan persis seperti gambaran dalam mimpinya. Ruangan itu nyatanya lebih hangat dan tidak berbau menyengat, kecuali karena beberapa barang diletakkan sembarang hingga membuat tampilannya tampak berantakan. Yang menarik pehatiannya adalah deretan kotak musik yang terpajang di dinding. Rita menyusuri tiap sampul musik itu dan menelaahnya satu persatu.

“Aku tidak tahu kau punya selera musik yang bagus,” aku Rita saat memeriksa mesin pemutar musik klasik yang di letakkan di bawah kotak musiknya. “Apa ini berfungsi?”

“Ya.”

Rita menarik sampul musik yang menarik perhatiannya kemudian memutar musik itu dan mendengarkan alunan irama lembut yang menggantung di sekitar mereka. Sementara itu, di sudut ruangan Louise mengawasinya seperti seekor anjing. Ada sesuatu yang aneh dari cara wanita itu menatapnya dan tiba-tiba Rita teringat mimpinya tentang Louise.

“Ini musik yang bagus,” katanya.

“Itu milik Ed.”

“Suamimu memiliki selera musik yang bagus.” Rita mematikan musiknya hingga kesunyian kembali mengisi setiap sudut ruangan. “Apa yang sedang kau lakukan sore ini? Aku pasti menganggumu.”

“Tidak. Tidak ada.”

Sembari menggaruk-garuk lengannya, Rita berkata, “itu kedengaran aneh, karena aku yakin aku baru saja melihatmu berdiri di belakang jendela dengan sebuah kamera.”

Setelah tersenyum kaku, Rita melanjutkan dengan tenang. “Apa yang kau lakukan dengan kamera itu? Apa kau mengambil gambarku?”

Louise tertegun, kemudian, “untuk apa?”

“Aku tidak tahu?” ucapan itu lebih mirip pertanyaan ketimbang pernyataan. “Mungkin kau punya penjelasan yang lebih menarik?”

Louise bergeming, tatapannya tertuju langsung ke arah Rita, tapi wanita itu tidak mengucapkan sepatah katapun hingga Rita berjalan mengitari ruangan itu, menatap dinding-dindingnya yang kosong dan beberapa barang yang tersisa di sana.

“Kau tidak pernah menceritakan padaku bagaimana kau mendapat semua ini?”

“Barang-barangnya milikku,” kata Louise, “tapi rumah ini milik Ed. Aku membelinya ketika masih mengajar. Aku menyukai ide untuk mengisi ruangan dengan pot-pot antik, Ed lebih tertarik pada buku. Semua buku itu miliknya,” Louise menunjuk ke arah rak panjang besar yang berdiri di belakang Rita. Puluhan buku bersampul coklat berjejer dengan rapi. Permukaan rak tampak berdebu, menyiratkan bahwa buku-buku itu tidak disentuh untuk waktu yang lama.

“Menarik.”

“Apa Jim suka buku?”

Pertanyaan Louise barusan berhasil menyita perhatian Rita. Kali ini ia berbalik menghadap Louise dan meminta wanita itu mengulangi pertanyaannya.

“Apa?”

“Apa dia suka membaca buku?”

“Aku tidak yakin. Tergantung pada buku apa yang dibacanya.”

“Bagaimana denganmu?”

Rita mendengus keras dan menjawab. “Tidak tertarik.”

Louise mengangguk-angguk sebelum berjalan menuju dapur dan menarik kursi di sana. Ketika Rita bergabung dengannya, Louise tengah memandangi patung kecil di atas rak, namun yang benar-benar menarik adalah tatapannya yang kosong.

Rita mengamati wanita itu sesaat, kemudian berpaling pada rak-rak tinggi, dinding-dinding berwarna pastel yang menyempit dan jendelanya yang terbuka. Kamar Louise pasti terletak di lantai atas karena Rita menyadari kalau Louise selalu membiarkan jendelanya terbuka.

Rumah itu tidak kalah asingnya dengan rumahnya sendiri. Tidak ada foto-foto keluarga yang dipanjang di dinding, tidak ada suara keributan anak-anak dan tidak ada suara-suara lain seperti suara musik bising yang begitu menganggu, suara teriakan dan gelak tawa, hanya ada mereka dan keheningan yang mengisi setiap sudut tempat. Dapurnya tidak hangat sama sekali. Tidak banyak aktifitas yang dilakukan disana. Porselennya masih tertata rapi, peralatan masak nyaris tak tersentuh dan hanya Tuhan yang tahu apa isi lemari pendingin itu.

“Dulu aku memiliki seorang teman bernama Brenda,” bisik Louise di antara sela-sela giginya. Meskipun pelan, ucapannya terdengar cukup jelas di tengah kesenyapan itu.

“Dia mengalami depresi pasca kehamilan, Itu yang pertama untuknya..” Louise melanjutkan. Kini ia mendapat perhatian penuh dari Rita. “Itu sangat aneh karena dia mengatakan padaku dia begitu takut pada persalinan. Tapi suaminya sangat senang, sayangnya.. kondisinya memburuk seiring berjalannya waktu. Dia menolak untuk bicara dengan siapapun, dia tidak berbicara denganku lagi. Sebenarnya itu membuatku sakit hati, tapi kemudian aku mendapat kabar, dia melompat dari jendela kamarnya dan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Setidaknya.. itu yang dikatakan polisi.”

Kening Rita berkerut saat menyaksikan Louise hanyut dalam pusaran ingatan dari masa lalunya. Mereka masih duduk di belakang meja, mendengar dan berbicara. Kekosongan menjadi misteri lain, menjelma menjadi sesuatu yang aneh di antara keduanya.

“Tidak ada yang tahu kejadian yang sebenarnya.”

“Apa maksudmu?”

Louise mengedarkan tatapannya, sebelum menatap Rita lurus dan bergeming untuk waktu yang lama.

“Aku melihat suaminya berteriak di depan wajahnya. Sesekali memukulnya. Tidak ada yang tahu, tapi aku tahu perbuatan buruk suaminya. Dia bersama wanita lain, dan Brenda.. dia adalah korban. Dia depresi bukan karena kehamilannya, dia depresi karena pernikahannya dan dia tidak benar-benar melompat dari jendela. Suaminya mendorongnya. Mudah sekali untuk mengarang cerita yang akan dipercayai banyak orang. Temanku ini lemah. Tidak ada orang yang berada di pihaknya, orang-orang hanya memercayai apa yang mereka ingin dengar. Suaminya.. hanya karena dia terlihat baik, tidak berarti dia cukup baik.”

“Kau tidak tahu kejadian yang sebenarnya, kan?”

“Aku tahu.”

“Jadi mengapa kau tidak melaporkannya?”

Kata-kata Louise selanjutnya terdengar bergetar di antara bibirnya. Tatapannya menusuk, keteguhannya menjanjikan.

“Mereka menganggapku gila.”

PUNISHMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang