Rita sangat pandai menyusun rencana. Dulu ia melakukannya dengan tepat. Ia sangat disiplin dan ia menyukai hal-hal baru yang membuatnya merasa tertantang. Pagi itu adalah hari yang baru dimana ia hanya ingin melakukan apa yang digerakkan dari dasar hatinya. Rita melangkah menyusuri jalanan, bergerak sangat cepat dan penuh keyakinan. Di satu bahunya tas selempangnya mengayun dengan bebas. Ia penuh rasa percaya diri mengenakan mantel hitam dan bot coklat lamanya. Melakukan sesuatu menurut gerak hatinya selalu mengirimkan getaran aneh ke sekujur tubuhnya. Di satu sisi hal itu mampu membuatnya merasa terlahir kembali. Ia adalah ratu atas dirinya. Rita mengulangi kalimat itu berkali-kali: sebuah kalimat yang sama yang diulanginya sepanjang pertunjukan. Ia nyaris dapat mendengar suara musik di kepalanya, segala hal tiba-tiba menuntunnya menuju apa yang hanya ingin dilihatnya – dirasakannya.
Di ujung persimpangan jalan, David menunggunya. Laki-laki itu mengenakan setelan gelap dan Rita menyukai setiap aspek yang melekat dalam dirinya. Suatu masa ia suka melihat David berdiri di atas panggung, mengenakan celana ketat, menggerak-gerakkan tubuhnya dengan anggun. Ada sesuatu dari pria itu yang membuat Rita menyukainya. Mereka adalah pasangan yang spektakuler di atas panggung, pemikiran itu mampu mengahatkan tubuhnya. Rita nyaris bisa merasakan darah mengalir lembut pada pembuluh nadinya, mengagumi bagaimana cara jantungnya mulai berdetak tak keruan. Disanalah ia berada: tepat di ujung persimpangan jalan. Kota membentang di belakangnya, langit biru masih cukup cerah, suhu udaranya bersahabat. Bangunan-bangunan tinggi di sekelilingnya hanya menyembunyikan mereka dari kebisingan kota yang terjadi di luar sana. Namun Rita dapat merasakan tanggannya bergetar, ia menyukai sensasi itu, merasa ingin berlama-lama di dalamnya.
David melambai ke arahnya, tersenyum ketika Rita bergerak mendekat, kemudian mendaratkan ciuman singkat di wajahnya dan membisikkan sesuatu dalam bahasa prancis ke telinganya. Rita suka cara laki-laki itu memanggilnya sayang dengan aksen yang kental dan sedikit penekanan di bagian akhirnya. Setiap wanita akan menyukai David dalam segala aspek. Ia pengertian dan lembut, laki-laki dengan kemampuan yang sempurna.
“Maaf aku terlambat.”
“Sepuluh menit,” timpal David sambil tersenyum. “Kau ingin kopi?”
“Ya.”
“Ayo!”
Mereka duduk dan mengobrol di kedai kopi. Rita merasa canggung, terutama karena David mulai memerhatikan sikapnya. Ada suatu kejanggalan yang membuatnya tidak nyaman yaitu memikirkan Jim dan alasan yang harus ia berikan jika laki-laki itu bertanya.
“Ada apa?” tanya David setelah mereka duduk berhadap-hadapan. Rita sengaja memilih bangku di sudut sehingga keberadaannya tidak menarik perhatian. Bagaimanapun, ia tidak pergi meninggalkan kota dan kerabat atau orang yang terhubung dengan Jim bisa saja mengenalinya.
“Aku ingin memberitahumu kalau ini sangat tidak nyaman, namun aku menikmatinya. Kuharap kita tidak harus sembunyi-sembunyi.”
“Kau sudah berbicara dengan Jim?”
“Tidak, kurasa tidak.”
Kedua mata David menyipit dan perubahan emosinya membuat Rita bergerak dengan gelisah. Ia mungkin telah menyinggung laki-laki itu, namun Rita tidak bermaksud melakukannya.
“Kupikir itu yang ingin kau bicarakan?”
“Aku seharusnya mengatakannya padamu. Aku tidak bisa mengambil keputusan cepat. Jim banyak membantu, maksudku.. dia membiayai hidup Julie dan.. aku benar-benar bodoh jika kau berpikir mau mendengar ini..”
“Tidak, tidak, katakan saja!”
“Oke. Aku menyukaimu, tapi aku tidak bisa meninggalkan Jim. Tidak sekarang.”
“Kapan kau akan melakukannya?”
“Aku belum siap.”
“Aku mengerti.”
“Tidak, David, kumohon.. ini bukan apa yang kuinginkan. Aku tertekan..”
“Apa maksudmu?”
“Rumah itu, aturannya, dan Jim. Aku tidak tahan dengan semua itu. Aku merasa hidupku direnggut, tapi bersamamu.. semua itu seperti kembali. Aku merindukan kehidupan seperti itu. Aku ingin bebas, tapi aku tidak bisa melakukannya begitu saja. Jim akan marah..”
“Dia akan marah jika mengetahuinya, apa perbedaannya? Kenapa menunggu lama?”
“Dengarkan aku! Kau tidak mengenalnya. Dia tidak akan melepaskanku begitu saja. Tanpa alasan yang jelas, dia tidak akan menyetujui perceraian itu, dan dia bisa melakukan apapun. Percaya saja padaku. Aku butuh waktu. Beri aku waktu untuk menemukan cara.”
“Itu bukan masalah besar untukku, oke? Aku mengkhawatirkanmu..” David meletakkan satu tangannya yang hangat di atas punggung tangan Rita. Laki-laki itu menekankan ibu jarinya di sana dan mengirimkan getaran yang membuat Rita merasa lebih baik. “Hanya katakan saja apa yang bisa kulakukan?”
Rita ingin mengatakan pada David untuk tidak meninggalkannya dalam situasi itu, namun bisakah ia memercayai laki-laki itu? Setelah apa yang mungkin dapat terjadi, Rita enggan membayangkan yang terburuk. Ia tidak siap menghadapi kemarahan Jim, juga tidak siap untuk kehilangan David.
“Hanya beri aku waktu..”
David meremas tangannya dengan lembut, meredakan sedikit ketakutan yang dialami Rita. Disanalah ia ingin berteduh. Ia selalu membayangkan sebuah tempat yang nyaman dan kosong, tempat dimana ia bebas melakukan apapun yang diinginnya. Terlepas dari segala kekhawatiran itu, Rita berharap ia tidak harus melepas apapun. Setidaknya itu yang terpikirkan olehnya saat ini: mungkin ia hanya membutuhkan sedikit waktu untuk meyakinkan dirinya, mungkin Rita hanya tidak ingin bertindak gegabah. Namun di sanalah ia, berada begitu dekat dengan David hingga nyaris tidak dapat bernafas. Rita selalu menantikan momen itu dan ia telah membayar mahal, namun risiko itu tidak sepadan dengan hasilnya. Memilih untuk tetap bersama David sama seperti mempertaruhkan segalanya. Satu bagian dalam dirinya meminta untuk pergi, satu bagian yang lain meminta tetap tinggal. Bagaimanapun, Rita akan menikmati momen itu selagi ia bisa.
Mereka menghabiskan makan siang dengan cepat, berkendara untuk sampai di sebuah tempat. Keduanya benar-benar tahu apa yang dituju dan memikirkannya membuat mereka terhenyak di atas kursi, mengendara melintasi kota dalam keheningan. David berusaha melerai ketegangan itu dengan menyalakan musik, namun itu tidak berhasil. Dari sudut matanya, Rita tahu bahwa laki-laki itu terus memandanginya, berusaha untuk mengucapkan suatu kalimat yang tertahan di lidahnya.
Hujan turun sebelum mereka sampai di museum yang menjadi tempat tujuan mereka kali ini. David keluar untuk membeli kopi, laki-laki itu kembali dalam keadaan basah kuyup. Rita mengamatinya dari kaca mobil. Wiper-nya tidak berfungsi sehingga mereka harus berhenti di tengah jalan. Saat itu pukul empat sore, beberapa jam lagi Jim akan kembali. Namun itu adalah hari senin yang sibuk dan Jim biasanya menghabiskan waktu lebih lama di kantor sehingga Rita tidak merasa begitu khawatir jika ia pulang terlambat. Jalanan di depannya kosong. Butiran hujan jatuh menghantam atap mobil. Suara percikan airnya seperti mengetuk-ngetuk kaca jendela dan kabut tebal memenuhi jalanan.
David baru saja kembali dengan dua gelas kopi panas. Laki-laki itu menyerahkan satu untuk Rita dan meminum kopinya dari gelas yang lain. Rambutnya tampak basah, pakaiannya juga lembab. Rita mengeluarkan kain dari tasnya, menyerahkan kain itu pada David dan meminta laki-laki itu untuk mengeringkan dirinya.
“Maaf,” kata David. “Seharusnya wiper-nya berfungsi.”
“Tidak apa-apa, aku suka disini.”
“Ya?”
“Yap.”
“Aku juga.”
“Apa rencanamu setelah ini?” Rita berpikir untuk melerai ketegangan di antara mereka, namun ia tahu bahwa cepat atau lambat, David akan menyadari itu.
“Aku menghubungi Harry, dan dia akan datang untuk proyeknya. Kami akan memulainya minggu depan.”
“Kau bilang dia di New York?”
“Ya, tapi dia sudah memesan tiket penerbangan. Dia akan datang besok. Dia menyewa apartemen, jadi aku akan membantunya berkemas. Ada banyak yang harus kami lakukan.”
“Aku ingin mendengar apa saja rencanamu?”
David meletakkan kopinya di atas dashbor. Laki-laki itu melakukannya dengan cepat hingga ketika David mencondongkan tubuh untuk menciumnya, Rita tidak dapat mengantisipasi hal itu. Rita tidak ingin mencegahnya, ia menyukai David dan itu adalah bagian terbaik yang dipikirkannya selama beberapa hari terakhir. David pasti menyadarinya karena wajahnya memerah.
“Aku akan menceritakannya nanti. Sekarang beritahu aku jika kau ingin aku melanjutkannya?”
“Ya, tolong.”
KAMU SEDANG MEMBACA
PUNISHMENT
Hombres LoboRita Foster menjalani kehidupan pernikahan yang sempurna bersama Jimmy Foster - Jim. Sejauh ini semuanya berjalan mulus hingga suatu hari ia menatap keluar jendela dan membayangkan kehidupan yang berbeda.. Dari balik kaca jendela, Louise Paige suka...