Bagian 7

193 17 1
                                    

Rita memeriksa ponselnya, ada dua pesan masuk dari David. Ia membacanya dengan cepat kemudian menghapusnya selagi ingat. Ia menghabiskan tiga puluh menit berdiri di bawah pancuran, memejamkan mata dan mengingat-ingat perjalanan mereka. David membawanya ke sebuah tempat, jauh dari keributan yang memekakan. Tempat dimana mereka dapat menikmati keindahan seni dan artefak secara gratis.  Mereka telah menelunsuri museum, menyaksikan sejumlah artefak yang menyimpan kisah misterius seorang balerina, dan mendengar kisah-kisah itu dengan seksama. Ada sesuatu dari perjalanan itu yang memberinya sebuah kesan.

Mereka kemudian duduk di bangku restoran dan mengobrol selama hampir satu jam sebelum Rita teringat tentang Jim dan panggilan teleponnya. Mereka hanya menyusuri jalanan panjang di sudut kota, berusaha menghindari keramaian sebelum David mengundangnya ke apartemen sepuluh lantai yang ditempati laki-laki itu.
David menempati apartemen di lantai tiga tepat di kamar nomor dua puluh satu. Suite yang ditempatinya tidak cukup besar, namun cukup hangat untuk ditempati seseorang. Dinding-dindingnya dilapisi walpaper, sejumlah barang memenuhi sudut-sudut ruangan dan lantai kayunya memerangkap udara dingin di dalam sana.

David mengoleksi sejumlah musik klasik yang berhasil menarik perhatian Rita. Mereka duduk mendengarkan musik itu dan mengobrol. Untuk satu alasan, Rita merasa nyaman. Tempat itu tidak lebih besar dan tidak menawarkan lebih banyak kenyamanan seperti yang ditawarkan Jim di dalam rumahnya. Namun, Rita terbiasa tinggal di dalam apartemen sempit bersama ibunya ketika ia masih remaja. Mereka makan dan hidup dengan layak. Sejauh yang Rita tahu, ia merindukan kehidupan itu: dimana kebebasan mutlak itu menjadi miliknya. Ia ingin berkuasa atas hidupnya seperti nasihat yang dibacanya dalam buku tua. Puncak kebahagiaan seseorang dapat terjadi ketika seseorang berkuasa atas dirinya, emosinya, keinginannya.

Rita pernah merasakan sensasi itu berpusar di dalam dirinya. Sumber kekuatan terbesarnya adalah kebebasannya. Melihat kembali dari pengalamannya, ia pandai memanipulasi emosinya. Sebuah perangkap adalah keahliannya. Rita sanggup berada di tengah keramaian tanpa merasakan emosi apapun. Ketenangannya adalah cara yang elegan untuk menarik perhatian, memerangkap siapapun yang sedang mengamatinya. Atau sebaliknya, ia bisa menjadi begitu menonjol di tengah khalayak. Jauh di luar pemahaman seseorang, tubuh mungilnya adalah pusat perhatian. Ia mampu bergerak dengan anggunnya di atas lantai, berjingkat tanpa bersuara seperti seekor tikus panggung. Awalnya orang di sekitarnya berpikir bahwa Rita pengidap bipolar, persis yang dialami kakak perempuannya. Kebisuannya adalah sumber pertanyaan terbesar. Namun seiring berjalannya waktu, anggapan itu hilang begitu saja. Kemampuannya untuk memikat seseorang tidak dapat diragukan, bahkan Harold mengakui hal itu. Laki-laki itu berani menyingkirkan puluhan balerina demi menarik Rita ke atas panggungnya.

Sekejap Rita merasakan pori-porinya terbuka. Pancuran air dingin itu merayap ke sekujur tubuhnya, menyisakan uap yang mengepul dari bibirnya. Ia telah mengenakan jubah mandinya hingga suara gemuruh mesin mobil dari halaman depan terdengar. Dari tempatnya berdiri, Rita menyaksikan Jim turun dari dalam sedannya. Jendela hitam di ruangan itu memantulkan bayangannya sendiri. Rita memandangi wajahnya di atas sana: pucat dan lesu. Itulah yang dibutuhkannya untuk meluluhkan Jim. Jika dipikir-pikir lagi, ia punya sejuta cara untuk memamipulasi suaminya. Tiba-tiba rahangnya menarik, memperlihatkan sederet gigi putih yang rata dan seringai lebar yang aneh. Ketika Rita sedang mengangumi tampilannya di belakang kaca jendela, suara pintu yang digeser terbuka menjadi satu-satunya penanda bahwa ilusi itu baru saja berakhir.

Jim terbuka pada beberapa pendapat yang tidak terlalu menentang keyakinannya. Richard Foster, ayah Jim, memiliki cara yang lebih primitif untuk menyaring semua yang tidak disetujuinya. Sedangkan Helen, kakak Jim lebih santai, namun sikap Helen terkadang menyebalkan dan Rita punya firasat kalau Helen bermaksud menyingkirkannya dari keluarga mereka.

Bagaimanapun, suaminya bukan versi terburuk dalam keluarga itu. Jim selalu mendengarnya ketika Rita berbicara. Untuk beberapa alasan tertentu, laki-laki itu akan menyetujuinya. Jadi, Rita bermaksud untuk mengambil kesempatan itu dimanapun ia berada. Rita telah mengumpulkan keberaniannya untuk bicara. Ia mengandalkan kemampuannya untuk menghadapi Jim. Secara perlahan namun pasti, ia akan membuat Jim tunduk. Rita belum memiliki rencana tentang hubungan pernikahan mereka, ia tidak memiliki rencana tentang David, Rita hanya menikmati momen yang didapatkannya saat ini. Tanpa bermaksud melukai Jim atau mengacaukan hubungan pernikahan mereka, Rita benar-benar berharap situasi akan berubah.

Rita merindukan Jim yang dulu: cara laki-laki itu menyakinkannya, menggodanya dengan anggun. Kepuasan bersama adalah inti dari hubungan mereka. Namun, Rita tidak merasakan hal yang sama setelah bertahun-tahun. Ia hidup dan menjalani semuanya sendirian. Jim mungkin berpikir bahwa kehadirannya sudah cukup, namun Rita merasa situasi itu mencekiknya, Jim menempatkannya pada posisi serba salah. Mengkhianati Jim bukanlah idenya, namun berada dalam situasi ini juga bukan keinginannya.

Jim tidak mengatakan sepatah katapun malam ini. Laki-laki itu hanya menyambar pintu dan bergerak masuk. Ia menggantung pakaiannya dengan cepat di tiang besi kemudian memberitahu Rita kalau ia tidak akan turun untuk makan malam. Namun, ketika Rita sedang berdiri di ruang pakaian, laki-laki itu bergerak mendekatinya. Ia baru saja mandi dan bercukur. Aroma sabun yang menguar di atas kulitnya menyenangkan. Jim melengkari lengannya ke seputar pinggul Rita, menarik Rita mendekat dan menciumnya.

Dulu, kedekatan Jim mampu membuatnya hilang kendali. Rita tidak yakin apa yang dirasakannya sekarang. Ia tidak mampu mencegah dirinya memikirkan David. Bahkan ketika Jim menariknya ke atas ranjang dan mereka bercinta semalaman, Rita merasakan sesuatu menggelitik perutnya. Perasaan bersalah dan keinginan muncul dan pergi secara bergiliran. Mereka mengakar dan tumbuh di dalam dirinya. Suatu kesadaran yang menamparnya malam itu adalah fakta bahwa Rita tidak lagi menguasai dirinya. Jim memastikan Rita berpikir bahwa laki-laki itu memberikan Rita segala yang dibutuhkannya, kemudian secara perlahan, laki-laki itu akan merebut kebebasannya sehingga Rita tidak pernah lagi berkuasa atas dirinya.

Malam itu, ada banyak hal yang dipikirkannya. Hingga pukul dua, Rita masih terjaga dari tidurnya. Ia menyaksikan lampu di ujung taman. Dahan-dahan pohon yang bergerak lembut di sana, pintu-pintu juga jendela rumah di seberang taman yang tertutup rapat. Jalanan tampak kosong, tiang-tiang berbaris seperti prajurit dan sebuah pagar berkawat dengan tinggi hampir mencapai dua meter di pasang di sudut jalan. Sebuah papan jalan menunjuk ke arah kawasan yang menandai area perbukitan. Mobil-mobil van terlihat berlalu lalang di ujung sana, para pemburu sedang merencanakan piknik di tengah hutan.

Rita mengenakan piyama-nya dengan cepat, turun dari atas ranjang dan bergerak ke arah balkon. Angin dingin malam menampar wajahnya. Ia menyaksikan sejumlah kumbang melompat-lompat di atas semak-semak tinggi. Rumput yang berbaris di bawah sana membentuk petak-petak kecil. Para serangga sibuk berkeliaran. Kemudian kilatan cahaya api kecil di ujung jalan menggodanya. Cahaya itu menari-nari seperti sekumpulan kumbang di atas semak, hanya saja lebih indah. Rita sedang menikmati pemandangan itu ketika suara langkah yang lembut mendekatinya. Jim berdiri di belakangnya, menatap persis ke tempat yang sama seperti Rita.

“Apa yang kau lakukan disini?” bisik laki-laki itu di telinganya.

“Tiba-tiba saja aku merindukan rumah lamaku. Aku merindukan saudariku, aku merindukan Julie, sudah lama aku tidak bicara dengannya.”

Hubungan Jim dan Julie tidak berjalan dengan baik, namun jika menyangkut Rita, laki-laki itu bisa melakukan apa saja, termasuk mengabaikan ketidaksukaannya pada orangtua Rita.

“Aku berada disini dan kau memikirkan orang lain? Kau benar-benar memalukan.”

Rita mendengus dan berbalik ke arah Jim. Wajahnya mengadah dan ia berjinjit untuk memeluk laki-laki itu. Lengan Jim merangkulnya erat, panas tubuh Jim mengantarkan suatu perasaan asing dan Rita berbisik ke telinga Jim.

“Kumohon izinkan aku keluar. Aku ingin memulai sebuah rutinitas yang baru.”

“Kenapa? Kau bosan?”

“Tidak, Jim. Bagaimana bisa aku bosan? Aku hanya ingin menemui ibuku.”

“Ibumu yang angkuh? Tidak.”

“Apa yang salah denganmu? Julie ibuku.”

Rahang Jim mengeras. Sesuatu dalam dirinya menunjukkan emosi yang begitu kentara hingga Rita dapat merasakan dirinya nyaris gentar.

“Kau tidak boleh berbicara dengannya lagi. Dia sudah cukup membuat banyak masalah, dia tidak menunjukkan sikap bijaksana sebagai ibumu.”

“Jim.. kumohon..”

“Kita tidak akan berdebat disini, dan aku sudah mengatakannya. Tidak. Kau mengerti?”

Tapi Jim tidak menunggu jawaban Rita, sebagai gantinya laki-laki itu berbalik pergi meninggalkan Rita berdiri di atas balkon.

Malam yang dingin tak disangka bergerak dengan lambat. Ketegangan itu masih terasa hingga keesokan harinya. Ketika Jim baru saja menghabiskan sarapannya, Rita sedang berdiri di belakang konter, baru saja memasukkan dua kotak gula ke dalam tehnya dan menyesap teh itu dari tepi gelas.

“Kau lihat dasiku?”

Suara itu muncul di belakangnya. Rita berbalik saat menyambar lemari pakaian. Ia berusaha menghindari tatapan Jim bahkan ketika Rita bergerak untuk memasangkan dasi pada kerah kemeja laki-laki itu. Namun Jim tidak berhenti mengamatinya karena Rita dapat merasakan sekujur tubuhnya menegang persis ketika Jim menyentuh rahangnya.

“Apa ini karena Julie? Yang benar saja!”

Alih-alih menanggapinya, Rita memilih untuk berbalik pada secangkir teh yang diletakkannya di atas konter. Sejenak Rita berharap Jim dapat segera pergi sehingga ia dapat bernafas lebih leluasa. Yang terjadi, ia mendengar laki-laki itu meletakkan kunci mobilnya di atas meja.

“Aku ingin kau kembali sebelum pukul lima. Aku akan menelepon,” ucap Jim sebelum berbalik dan pergi meninggalkan ruangan.

Rita mendengar suara pintu depan ditutup dengan kasar. Kemudian suara gemuruh mesin dan ban yang menggilas kerikil di halaman depan rumah. Melalui kaca jendela, ia menyaksikan kepergian Jim. Mobilnya menghilang persis ketika laki-laki itu berbelok ke jalan lepas.

Rita dapat merasakan darahnya berdesir cepat. Jim menginginkannya kembali sebelum pukul lima sore, dan ada banyak hal yang dapat dilakukan Rita. Ia berencana untuk mengunjungi Lester. Rita mungkin juga tidak akan menolak ajakan David untuk menghabiskan makanan dan melanjutkan diskusi mereka tentang koleksi musik-musik klasik di apartemennya. Selain itu, masih ada banyak waktu untuk berbelanja, mengecat kuku-kukunya, pergi ke salon untuk manikur. Sudah lama Rita tidak melakukannya. Hari ini ia ingin bebas dari rumah itu – dari Jim, setidaknya hingga pukul lima sore.

Rita menyegerakan rencananya dengan cepat. Ia mandi dan memoles riasan tipis di wajahnya. Langit cukup cerah pagi itu, alam sepenuhnya berpihak pada Rita dan hal-hal baik berhasil membuatnya tersenyum pagi ini. Ia mengendarai mobilnya melewati kediaman Mrs. Lawrence yang masih tertutup, kemudian rumah di seberang taman. Seorang wanita berambut merah yang tinggal di seberang taman tampak sedang menunggu seseorang di terasnya. Wanita itu mencondongkan tubuh saat melihatnya, seakan-akan ia baru saja melihat hantu. Ekspresinya kosong dan ia benar-benar pucat. Rita hanya tersenyum sekilas kemudian mengemudikan mobilnya melewati tikungan.

Kota tampak padat, puluhan kendaraan melintasi jalur yang sama, rambu-rambu lalu lintas bergilir mengatur jalan. Ruko-ruko di sudut jalan baru saja beroperasi. Pub-pub mulai dipadati pengunjung dan belasan orang yang baru saja menyeberang jalan, berbondong-bondong menuju sebuah walmart. Rita berhenti di sebuah restoran untuk membeli makanan siap saji. Ia telah memesan kopi berukuran besar untuk dirinya dan membayar pesanannya dengan cepat. Kemudian, Rita mengendarai mobilnya menuju apartemen David.
Laki-laki itu telah menunggunya di pintu depan ketika Rita masuk. Sambutan David terdengar hangat dengan aksen prancisnya yang kental. Genggamannya pada tangan Rita mengerat ketika mereka sampai di depan pintu suite. Kemudian, David menggeser pintu dan mempersilakan Rita untuk masuk mendahuluinya.

Aroma krim cukur menguar di dalam ruangan. Selain itu, aroma masakan yang baru saja diangkat dari oven juga tercium segar. Ketika Rita hanya berdiri di tempatnya, ragu untuk mengambil langkah lebih jauh, laki-laki itu membantunya melepaskan mantel dan menggantungnya di tiang besi. David kemudian membimbingnya untuk mendekati konter dan menarik kursi untuk Rita. Samar-samar Rita teringat Jim dan percakapan mereka semalam. Sudah lama sejak Jim bersikap manis dan menyiapkan masakan untuknya. Laki-laki itu menyukai rasa manis, masakan Jim selalu terasa manis.

“Kuharap kau cukup lapar karena aku membuat lebih banyak porsi untuk dimakan dua orang.”

David mengelilingi ruangan. Laki-laki itu bergerak dengan cepat hingga Rita nyaris tidak menyadarinya. Kemudian, di sudut, ia memerhatikan punggung David yang lebar, menyaksikan tangannya bergerak luwes saat menuang bir ke dalam dua gelas kosong.

“Kuharap kau suka anggur merah.”

“Terima kasih.”

“Kau mau kutambahkan batu es?”

“Ya, tolong.”

Mereka duduk bersampingan di depan konter. Laki-laki itu memandanginya ketika Rita menyesap anggur dari gelasnya. Kemudian dengan tangan bergetar, Rita meletakkan gelasnya di atas konter, merasakan keheningan di sekeliling mereka dan mengingat Jim. Satu bagian dalam dirinya enggan mengecewakan Jim, bagian lain begitu mendambakan kebebasan yang tidak diberikan Jim. Rita sepenuhnya bergantung pada keputusan untuk melanjutkan atau mengakhirinya.

“Ada apa?” tanya David ketika menyadari perubahan situasi di antara mereka. “Kau baik-baik saja?”

“Aku terpikir tentang Jim.”

David tidak menunjukan reaksi tententu, namun Rita dapat merasakan ekspresinya mengeras. Laki-laki itu berusaha untuk menarik rahangnya untuk dapat tersenyum.

“Apa?”

“Maafkan aku. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan.”

“Tidak apa-apa, katakan saja. Aku bukannya orang asing, kau ingat? Kau butuh waktu?”

“Tidak, tidak, hanya saja..” Rita menarik nafas dan mengembuskannya dengan cepat. Bulir-bulir uap dari dalam gelas kaca itu mengaburkan warna merah pekat anggurnya, tanpa sadar menariknya perhatiannya.

Sementara itu, David masih menunggunya mengucapkan sesuatu. Satu hal yang dikaguminya adalah ketenangan laki-laki itu, keterbukaannya yang bersahabat: satu perasaan yang tidak akan dirasakannya bersama Jim. Saat berbicara dengan Jim, Rita akan memikirkan secara ulang tentang apa yang harus dikatakannya. Sikap penuh hati-hati itu membuatnya sampai pada satu keputusan yang salah. Pada akhirnya, ia hanyut dalam kekeliruan setiap saat. Sementara hidupnya terus bergerak seirama dengan jarum jam. Hidupnya terbatas pada ruang dan waktu. Segalanya bergerak cepat, detik ke detik, menit ke menit, hari berganti hari, bulan, dan tidak terasa tahun demi tahun berlalu. Ia hanyut sepenuhnya dalam kekeliruan yang dibuatnya sendiri: sebuah keputusan yang memaksanya terseret arus lebih jauh. Rita telah terseret begitu jauh hingga ia khawatir jika tidak ada seseorang yang akan bisa menolongnya, menariknya keluar dari kubangan besar yang dibuatnya sendiri.

“Kau baik-baik saja?” suara David lembut, penuh dan bergetar seperti biasanya. Kemudian laki-laki itu mendekat, minum dari gelasnya dan tersenyum. “Ini enak,” katanya dengan santai.

“Apa yang harus kukatakan pada Jim?” Ada satu perasaan lega yang dirasakan Rita setelah mengatakannya. Ia tahu persis bahwa David memahami ucapannya, tahu kemana pertanyaan itu mengarah dan reaksinya benar-benar mengejutkan Rita. Laki-laki itu mengagetkan Rita dengan menciumnya. Tubuh Rita mematung di tempatnya, ia pikir ia baru saja merasakan aroma David di bibirnya.

“Katakan yang sebenarnya, atau kau bisa diam dan selanjutnya akan berjalan seperti ini.”

Seisi perutnya terasa seperti baru saja dikocok. Rita melupakan anggurnya, percakapannya dengan Julie di telepon dan rencana untuk bersenang-senang. Satu hal dalam dirinya berharap ia memiliki cukup tekad untuk mengangkat kaki, mengakhiri semuanya sebelum terlambat, dan pergi meninggalkan laki-laki itu. Namun, cahaya lembut matahari hanya mampu mengintip melalui jendela, pemandangannya mengundang Rita untuk bergegas pergi. Namun, kehangatan yang ditawarkan di dalam kamar itu telah menahannya. Rita telah memutuskan untuk berpihak pada keinginannya untuk dapat bebas dari Jim. Ia ingin merasa hidup kembali untuk beberapa saat, mungkin dengan begitu Rita benar-benar dapat berpikir jernih sebelum memutuskan yang terbaik.

Biarkan dirinya mencoba, biarkan dirinya mencoba. Jika dirasa hal itu tidak mendatangkan sesuatu yang berarti baik untuknya, maka ia hanya perlu meninggalkannya. Rita hanya perlu mencoba, dan mungkin seiring berjalannya waktu, ia akan menemukan cara untuk menanggung konsekuensinya.

“Aku tidak akan mengatakan apapun padanya,” putus Rita. “Tapi tolong, izinkan aku tetap tinggal.”

“Kau yakin?”

Rita mengangguk. David telah berdiri untuk menyambutnya, dan yang ia tahu mereka bersama-sama menanggalkan pakaian dan mengakhiri pertemuan itu di atas ranjang.

Sekujur tubuh Rita bergetar ketika ia keluar dari apartemen David. Satu tangannya merogoh ke dalam tas untuk menemukan kunci mobil. Ponselnya bergetar beberapa kali dan ia mendapatkan sejumlah panggilan masuk dari Jim yang tidak terjawab.
Rita memutuskan untuk meninggalkan pesan. Ia berkendara dengan cepat ketika hujan deras turun di tengah perjalanan. Rita hanya berhenti di pombensin selama beberapa menit, memutuskan bahwa mulutnya tiba-tiba terasa kering dan ia membutuhkan kopi panas. Setelah berteduh beberapa menit, Rita kembali ke mobilnya.

Jalanan-jalanan besar ditutup karena badai, sementara itu suara yang keluar dari radio di dalam mobil memberitahunya bahwa terdapat sejumlah pohon yang tumbang akibat badai besar di beberapa tempat, akibatnya Rita harus memutar jalur dan melewati jalanan sempit. Jarak tempuhnya lebih jauh, langit sudah gelap ketika Rita sampai di kawasan perumahannya dan hujan mulai mereda. Saat itu pukul lima, Rita bergegas cepat ketika memarkirkan mobilnya di garasi kemudian pergi dalam keadaan basah kuyup dan masuk untuk menjawab panggilan Jim. Rita beruntung karena Jim baru menghubunginya selang beberapa menit setelah ia tiba. Ia tidak mengambil banyak waktu untuk mandi dan membersihkan dirinya. Sebisa mungkin, Rita berusaha menghapus wangi David yang tertinggal di kulitnya, atau bekas percintaan singkat mereka yang terkesan liar.

Ketika Rita memandangi dirinya di depan cermin, sesuatu dalam dirinya merasa geli, terutama karena wajahnya yang memerah setiap kali Rita mengingat David, atau percakapan-percakapan mereka, sentuhan-sentuhan intim David di atas tubuhnya. Sebelumnya Rita tidak memiliki gagasan untuk memulai semua itu. Yang dirasakannya terhadap David adalah sebuah reaksi alami. Tubuhnya bereaksi cepat terhadap sentuhan laki-laki itu dan suatu perasaan asing yang bergolak dalam dirinya menginginkan David lebih jauh. Rasa penasaran itu memakan pikirannya, seolah-olah menjadi kabut tebal di dalam kepalanya yang membuat Rita kesulitan untuk berpikir jernih. Mabuk adalah satu kata yang tepat untuk menggambarkannya.

Rita nyaris lepas kendali. Setelah bertahun-tahun pernikahannya dengan Jim berlangsung, gairah itu kian memadam. Rita tidak lagi memandang Jim sebagai laki-laki yang sama. Ia tidak merasakan keberadaan Jim mampu memberinya sensasi yang sama. Mereka telah melalui itu selama bertahun-tahun, rasa hausnya terhadap Jim mungkin semakin surut setiap harinya. Sementara itu, bersama David ia mampu merasakan suatu sensasi yang berbeda, menggiurkan dan memberikannya rasa tentang hal yang benar-benar dirindukannya. Rita rindu merasa diinginkan. Ia rindu untuk merasakan sentuhan-sentuhan asing yang membuat sekujur tubuhnya bergetar. Ia rindu untuk merasa bergetar ketika dihadapi oleh sesuatu yang didambakannya. Bersama Jim semuanya terasa serba salah, namun David telah memberinya suatu kesan yang berbeda, sebuah tantangan terbuka yang terus mencari celah untuk menyusup masuk ke dalam pikiran Rita.

Mungkin seks adalah hal benar-benar dibutuhkannya. Namun, Rita tidak menyakini hal itu sepenuhnya. Itu adalah kesimpulan bodoh yang dapat ditarik dengan cepat jika ia hanya mempertimbangkan suatu tindakan. Bercinta tidak selalu berarti menginginkan kepuasan. Ada sesuatu dalam dirinya yang merasa haus, bagian yang nyaris tidak pernah dijamah oleh Jim dan David entah bagaimana telah menyentuh bagian itu. Laki-laki itu membawa Rita pada kesadaran bahwa mungkin saja ia masih memiliki kesempatan untuk kembali pada dirinya. Kehidupan yang dijalaninya sejauh ini adalah ilusi, versi terburuk dari visualisasinya tentang kehidupan mewah yang menyenangkan. Satu hal yang benar-benar pasti dalam situasi ini hanyalah kejelasan tentang apa yang diinginkannya dan apa yang benar-benar dibutuhkannya.

Meskipun begitu, Rita tidak memiliki rencana khusus setelah ini. Ia belum memikirkan segalanya dengan matang. Ia tidak berniat untuk mengambil keputusan dalam waktu dekat dan jauh dari rencananya, Rita benar-benar berpikir bahwa jika ia harus meninggalkan semua ini, ia membutuhkan lebih banyak waktu untuk menikmatinya sekali lagi. Ketika ia hanyut dalam gelombang pikirannya, Rita kemudian mendengar suara pintu digeser terbuka.


--

PUNISHMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang