Bagian 15

95 15 1
                                    

Sudah genap tiga bulan setelah hubungan itu berlangsung. Genap tiga bulan Rita menutup diri dari Jim. Setiap harinya, setiap menit, setiap detik, bergilir dengan cepat hingga ia menyadari telah membawa dirinya ke tepian jurang dan hanya ada dua keputusan untuk mengakhiri itu: terjun dan sepenuhnya berserah pada nasibnya, atau mundur dan kembali pada kenyamanan yang dimilikinya. Semua keputusan itu memiliki konsekuensi, segala hal patut diperhitungkan. Karena begitulah cara dunianya bekerja. Ia dapat terperosok masuk ke dalam jurang, atau berjalan di atas pecahan keramik. Bagaimanapun, keduanya bukan pilihan yang menyenangkan.

Rita merasakan angin malam yang terperangkap masuk ke melalui jendela kamarnya, berdiri dan menyaksikan langit gelap di luar sana. Puluhan pohon berbaris membentuk sebuah tempat yang lebih mirip perangkap di ujung hutan. Pintu-pintu langit terbuka, menyingkap kegelapan pekat yang menyelimuti jalanan kosong di ujung. Samar-samar ia menyaksikan lampu teras Louise berkedip, jendelanya dibiarkan terbuka di malam hari dan tirainya bergerak-gerak tertiup angin.
Rita membayangkan wanita itu sedang duduk di ruang tengahnya, mendengarkan irama akustik dari musik favoritnya, menggerakan bidak caturnya di atas papan persegi itu, atau menikmati sebotol bir dingin yang disembunyikannya di dalam lemari. Atau wanita itu bisa saja berdiri di belakang cermin, sibuk mewarnai rambutnya. Memotong-motong kentang atau sayuran jelas bukan hal yang akan dilakukannya pada malam hari, jadi bisa saja wanita itu hanya berdiri di belakang jendela, menatap persis ke arahnya. Apapun yang dilakukan Louise, Rita berharap ia terlibat di sana. Ia hanya ingin mengusir kesepian yang merayap di atap rumahnya, mematikan ketegangan yang sejenak terasa seperti hendak membunuhnya.

Ketika keheningan itu benar-benar menguasainya, sekelibat ingatan tentang kejadian-kejadian dalam masa lalunya bermunculan seperti sebuah kilatan cepat di kepalanya, ia tidak dapat mencegah hal itu terjadi, ia tidak dapat memundurkan waktu. Kemudian ia mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan: bagaimana jika ia dan Jim tidak pernah bertemu? Bagaimana jika pernikahan itu tidak terjadi? Dan bagaimana jika Rita memutuskan untuk menjauhi David sebelum ia terlibat lebih jauh? Namun ia tahu bahwa itu hanyalah pertanyaan-pertanyaan yang berusaha dihindarinya selama ini. Ia hanya mencari sebuah kemungkinan yang logis, kesimpulan dari apa yang akan terjadi padanya setelah ini.

Di balik kaca jendela itu, awan tampak berkabut. Kabut tebalnya menutupi sebagian hutan seperti atap. Sebuah cahaya dari lampu sen bergerak merambat di sepanjang jalan ketika mobil melintas. Ada sesuatu yang tidak ia mengerti tentang tempat itu, tentang bagaiamana Jim memutuskan untuk tinggal disini, tentang betapa sepi dan terisolasinya tempat ini. Rumah itu, jauh dari apa yang diinginkan Rita, terletak sangat jauh dari keramaian. Awalnya ide untuk menempati rumah di atas bukit terdengar menggoda, kemudian segala yang berjalan di sekitarnya menjadi terasa aneh. Rita tidak melihat titik cerah dari keputusannya. Ketika ia menatap ke balik jendela, ia hanya akan mampu melihat atap-atap rumahnya yang tinggi, hamparan rumput dan pagar yang lebih mirip isolasi. Rumah penduduk lain terletak beberapa meter jauhnya, nyaris tidak ada suara-suara saat malam, nyaris tidak ada kehidupan. Kemudian segalanya semakin jelas, rumah itu adalah isolasi untuknya. Rita tidak tahu apa ia sanggup bertahan lebih lama lagi. Ia telah berkeliling, mengenali setiap sudut bagunan itu dengan baik, namun tidak ada satupun tempat yang memberinya sebuah kehidupan yang layak. Mungkin, pikir Rita, ia hanya dapat berharap.

Rita melenggang dan bergerak meninggalkan jendela. Ia menggingit bibirnya, merasakan jari-jarinya menekuk dengan kaku. Dahinya berkeringat meskipun udaranya terasa dingin. Di ujung kamar kecilnya, ia menatap sebuah lemari yang menggantung dan tertegun.

Apakah ia siap menerima hasilnya? Bagaimanapun, itu adalah situasi tak terhindarkan lainnya. Karena itu dengan langkah yang terkesan kaku, ia berjalan mendekati lemari, mengulur waktu ketika mengeluarkan sebuah alat tes dari dalam sana, dan di sanalah ia berada: duduk di atas kloset sembari menatap alat tes itu dengan tidak percaya.

Air matanya berurai, pikirannya kalut. Ia muntah sebanyak tak terhitung jumlahnya, kondisi kesehatannya menurun dratis dan bobot tubuhnya juga menurun. Ia lupa kapan terakhir kali ia memakan sesuatu, semua itu tidak penting sekarang.

Tangannya bergetar ketika ia mengangkat ponselnya, menekan tombol angka yang diam-diam telah dihapalnya. Kemudian ketika suara serak yang dikenalinya muncul di seberang, Rita membuka mulut, memberanikan diri untuk berbicara. Tangannya kini terkepal, bibirnya bergetar.

“David ini aku..”

Ada keheningan yang mengisi ruang di sekitarnya.
“Aku hamil,” kemudian, “.. aku ragu ini milik Jim.”

***

Pada hari berikutnya, Jim pulang sebelum sore, laki-laki itu cukup sibuk untuk berbicara dengannya. Satu-satunya kesempatan mereka dapat berpapasan hanya ketika makan malam. Jim memesan masakan restoran kali ini. Ia meletakkan ponselnya di atas meja, mengabaikan beberapa panggilan yang masuk selagi ia menyantap makanannya. Rita di sisi lain hanya menatap makanan di atas piringnya dengan kaku, berusaha mencairkan ketegangan yang dialaminya. Namun ia merasa pusing sepanjang hari setelah dihadapi oleh pilihan untuk berbohong pada Jim dan mengatakan kehamilan itu, atau mengakuinya.

Secara langsung, Rita mempertaruhkan segalanya untuk itu. David mengatakan bahwa ia siap bertanggungjawab, siap untuk menikahi Rita. Namun seandainya semudah itu. Seandainya Rita mampu melangkah keluar tanpa harus merangkak – seandainya ia tidak harus menghadapi Jim.

Ada banyak pilihan, ada banyak kemungkinan, dan reaksi Jim saat ia mengatakannya adalah sesuatu yang tidak ingin dibayangkan Rita. Apa kemungkinan terburuk yang mungkin bisa terjadi? Rita terus memikirkan itu hingga tak terasa, makan malam telah berakhir dan kini Jim berbaring di sampingnya. Laki-laki itu berusaha mendapatkan perhatiannya dengan memainkan rambutnya, mencium puncak kepalanya, kemudian mendekatkan tubuhnya yang terasa panas dan memeluk Rita.

“Kenapa kau tidak berbicara padaku lagi?” bisik Jim di telinganya. Laki-laki itu begitu dekat hingga Rita benar-benar dapat merasakan panas tubuh Jim yang menguar dari kulit telanjangnya. Lengan Jim merangkulnya hangat, persis seperti cara yang disukai Rita. Jim tidak sedikitpun melupakan hal-hal kecil yang dapat dilakukannya untuk menyenangi Rita. Kali ini laki-laki itu melakukannya dengan tulus, penuh kelembutan.

“Beritahu aku sesuatu!” bisik Jim. “Hei! Katakan sesuatu!”

Rita tidak bersuara, namun Jim tidak menyerah. Ia menusap lengan Rita, sebelum menunduk untuk mencium tengkuknya, mengirimkan sebuah getaran yang nyaris terasa asing. Rita lupa kalau Jim memiliki kemampuan membuatnya bergetar. Sejenak Rita lupa dengan Jim dan bersenang-senang dengan laki-laki lain. Rita lupa apa yang telah mereka bagi di tahun-tahun awal pernikahan mereka. Segalanya terasa indah, bahkan dapat dikatakan sempurna saat itu. Rita nyaris tidak pernah merasa aneh, Jim adalah pasangan yang sempurna.

“Apa yang kau pikirkan?”

Jim bergerak turun. Bibirnya menyusuri panas tubuh Rita, seolah-olah ia hendak menciptakan sebuah jalur di sana. Laki-laki itu kemudian tersenyum padanya, menampilkan sederet gigi putihnya yang rata dan bentuk rahangnya yang nyaris sempurna. Itu adalah satu hal yang dirindukan Rita darinya, dan tiba-tiba laki-laki itu seakan menyeretnya kembali pada masa-masa awal pertemuan mereka: ketika Rita menyaksikan Jim berdiri di belakang panggung dan menghampirinya, ketika laki-laki itu dengan sengaja menggodanya sebelum malam itu berakhir dengan sejuta kesan. Perasaannya melambung, Rita nyaris lupa untuk bernafas. Jim menunjukkan kehebatan yang mampu dilakukannya malam itu, Rita sekaligus merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia. Laki-laki itu dapat melakukan apa saja, menyenangkan Rita adalah hal yang mudah.

Jim nyaris tersentak kaget ketika Rita menariknya, dengan tergesa-gesa mencium bibirnya dan melepas pakaiannya.

“Oke, oke,” laki-laki itu tertawa atas tindakannya, namun ia tidak berhenti untuk memuaskannya. Ia berhasil membuat satu lagi malam yang nyaris mustahil untuk dilupakan.

“Aku mencintaimu,” bisik Jim sebelum laki-laki itu tertidur di pundaknya. Rita tertegun menatap langit-langit di atas mereka, kemudian awan gelap di balik kaca-kaca tinggi di kamar itu. Ia dapat merasakan nafas Jim yang teratur. Jim tidur begitu tenang seperti bayi. Keluwesannya, caranya bersandar pada Rita, seolah laki-laki itu akan menyerahkan seluruh hidupnya, telah menyentuh Rita. Alasannya untuk meninggalkan Jim dan semua ini kemudian terdengar semakin konyol.


--

PUNISHMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang