Bagian 27

81 14 2
                                    

“Kita tidak keluar dari semua ini dan memulainya kembali dari awal, karena jujur saja, aku tidak mau jadi gelandangan seperti dulu. Kau tahu betapa sulitnya itu. Kau harus berpikir ulang tentang keputusanmu! Aku benar-benar tidak setuju jika kau melepasnya begitu saja. Rumah itu milikmu, Jim memberikannya padamu dan jelas-jelas dia mencantumkan namamu dalam surat wasiatnya. Kau benar-benar gila jika kau berpikir untuk menyerahkan semuanya.”

Julie punya pendapat yang bertolak belakang dengan Rita. Secara jelas wanita itu mengungkapkan keberatannya tentang keputusan Rita untuk menyerahkan wasiat Jim kepada keluarganya dan meninggalkan semua itu. Ibunya benar tentang satu hal: itu sama artinya dengan memulai kembali hidupnya dari bawah, namun itu juga berarti Rita tidak harus berurusan dengan Helen Foster atau keluarga Jim yang lain. Pemusuhan dari keluarga Jim seharusnya tidak menjadi masalah besar untuknya, Rita telah menghadapi itu sejak dulu. Rasa takutnya-lah yang memicu timbulnya pemikiran itu: bahwa dengan menyerahkan seluruh wasiat milik Jim pada keluarga Foster, maka ia akan dapat bernafas lebih bebas. Namun apa jadinya jika polisi mengetahui soal obat itu? Apa jadinya jika mereka memukan petunjuk yang akan membawa mereka pada kesimpulan bahwa Rita secara tidak langsung terlibat dalam kejadian yang menimpa Jim, bukankah itu sama saja? Mungkin Julie benar, mungkin keputusannya sama sekali tidak masuk akal. Tidak ada cara yang cukup aman untuk menghindari penyelidikan. Keluarga Foster akan tetap bersikeras untuk melanjutkan penyelidikan itu tidak peduli jika Rita meninggalkan rumah dan wasiat Jim untuk mereka.

“Aku tidak setuju dengan keputusanmu,” tegas Julie. Wanita itu berbalik menuju konternya dan membuat margarita pada dua gelas kosong. Rita tidak akan terkejut lagi mengetahui Julie mengisi lemarinya dengan alkohol, atau memenuhi rak-raknya dengan rokok. Wanita itu melakukan hal-hal aneh yang disenanginya di dalam apartemennya. Julie memiliki tempat tinggal yang tidak cukup besar, namun cukup nyaman dan hangat persis seperti yang diinginkannya. Ia mendekorasi semua barang yang ada di ruangan itu. Tampak jelas bahwa dana yang diberikan Jim menyokong kehidupan glamournya yang unik. Julie punya selera bagus terhadap gaya interior yang unik, ia membelanjakan semua uangnya untuk membeli peralatan antik yang disukainya, pergi ke pub dan berkumpul secara aktif dengan teman-teman di media sosialnya. Ibunya telah menjalani kehidupan yang sama sekali berbeda dengan Rita: jenis kehidupan yang tidak akan dimiliki Rita. Tapi ibunya menyukai kemewahan yang dapat ditawarkan oleh siapapun yang akan memberinya. Setelah terbiasa dengan semua itu, Rita tidak yakin akan mudah untuk menyeret Julie meninggalkan semuanya dan memulainya kembali dari awal.

“Bagaimana kondisimu? Bagaimana bayinya?” tanya ibunya ketika wanita itu menyerahkan segelas margarita pada Rita dan menyesap satu yang lainnya.

Rita menggeleng saat memandangi cairan berwarna kuning pucat di gelasnya kemudian meletakkan gelas itu kembali ke atas meja konter. Kini jari-jarinya memijat lengannya dengan kaku.

“Aku takut. Aku benar-benar ketakutan.”

“Berheti mengatakannya! Kau tidak boleh menunjukkan hal itu atau polisi akan mencurigaimu. Kau tidak ingin hubungan gelapmu terbongkar. Mereka akan berpikir kau memiliki motif untuk menyingkirkan Jim dan aku tidak yakin Harlan dapat mempertahankan wasiat itu jika mengetahuinya. Begitulah aturannya.”

Kening Rita berkerut, alisnya menyatu. “Apa maksudmu?”

“Aku punya rencana, kau harus mengikuti rencana ini untuk membuat posisimu aman di dalam rumah itu.”

“Rencana apa?”

“Kau harus mengatakan kalau kau mengandung anak Jim.”

“Apa? Mereka akan tahu..”

“Tidak kecuali kau mengatakan yang sebenarnya. Tes DNA tidak bisa dilakukan hingga usia kandunganmu mencapai tiga bulan. Mereka tidak akan menunggu hal itu sebelum sidang dimulai. Warisan itu tetap akan jatuh ke tanganmu, bahkan itu akan memperkuat posisimu sampai bayinya dilahirkan, tapi jika mereka tahu atau kau mengatakan yang sebenarnya, kau tidak akan mendapatkan sepeserpun. Aku berani menjaminnya.”

“Aku tidak yakin tentang rencana itu.”

“Kau tidak punya pilihan.”

“Bagaimana jika mereka tahu? Mereka akan menyeretku ke penjara. Aku tidak mau mengambil risikonya.”

“Tidak, jangan!” tatapan Julie menusuknya tajam. Rita dapat merasakan emosinya yang kentara. Ada banyak hal yang berkubang di dalam pikirannya saat ini. Kehidupan pernikahannya bersama Jim sudah cukup untuk direkayasa, Rita tidak membutuhkan rekayasa lain untuk menjalani sisa hidupnya. Tapi mengakuinya sama berarti kehilangan segalanya termasuk posisinya di dalam rumah itu dan apa yang dipertahankannya sejauh ini. Setelah apa yang terjadi, Rita tidak yakin untuk memulai hidupnya dari awal lagi. David mungkin mengatakan kalau laki-laki itu akan menanggungnya, tapi ada hal lain yang masih harus dipikirkannya terutama nasib Julie dan bagaimana mereka akan menjalani kehidupan setelah ini.

“Jangan katakan apapun pada polisi!” tegas Julie. Genggamannya terasa kuat dan menyakinkan di atas tangan Rita. “Kau harus berjanji padaku! Kita tidak akan melepas semua ini, kita akan memperjuangkannya. Aku akan memperjuangkannya untukmu. Kau tidak perlu takut. Katakan itu padaku!”

Kala itu Rita tidak berkutip. Matanya hanya memandang lurus pada deretan porselen antik yang diletakkan Julie di dalam raknya. Meskipun begitu, benaknya masih bertanya-tanya seberapa lama lagi ia akan bertahan.
Gelombang rasa takut itu masih bertahan hingga Rita berdiri di bawah pancuran air, sekali lagi merenungi apa yang dapat terjadi padanya setelah ini. Mungkin saja seseorang meletakkan bom di sana dan meledakkan rumahnya dalam sekejab, atau yang lebih konyol insiden kebakaran terjadi dan melahapnya hidup-hidup, tidak menyisakan suatu apapun untuknya. Namun itu semua hanyalah suatu hal konyol yang muncul dalam pikirannya. Sementara itu, di bawah pancuran air dingin yang terasa menusuk, ia merasakan kekhawatirannya menguap, namun hanya sesaat karena mereka tidak pernah pergi meninggalkannya alih-alih mengisi setiap sudut ruangan di dalam rumah besar itu dan mencekiknya.

Pikirannya mulai merancu dan ia merasakan suatu sensasi aneh ketika memijakkan kakinya di ruang kerja Jim. Bola lampu yang padam selama berhari-hari itu kini menyala, membanjiri seisi ruangan dengan cahaya keemasan yang lembut. Karpet merah melapisi lantai, sebuah meja kerja berbentuk persegi membelakangi kursi empuk yang diduduki Jim selama ini. Samar-samar Rita mengingatnya: Jim duduk di atas kursi berlengan yang empuk, sibuk membolak-balik halaman buku, atau tumpukan kertas di atas mejanya. Laki-laki itu tidak pernah mengangkat wajahnya ketika Rita bergabung di sana untuk sekadar membawakannya kopi panas, atau meletakkan kue kesukaannya. Jim hanya menatapnya sekilas, kemudian memusatkan pehatian sepenuhnya pada pekerjaan yang dinikahinya.

Sejak satu tahun terakhir, Rita selalu merasa dinomor duakan. Jim disibukkan oleh pekerjaannya dan mereka tidak lagi melewati percakapan yang dirindukannya. Cara Jim menatapnya tidak sama seperti kali pertama mereka bertemu, cara Jim mengatakan bahwa laki-laki itu mencintainya tidak sama seperti dulu. Segalanya memang telah berubah, Rita hanya terlalu naif untuk mengakuinya. Selama ini ia hanya berpura-pura bahwa kehidupan pernikahan mereka baik-baik saja. Bahkan dalam ilusinya yang paling bodoh, ia tidak pernah membayangkan momen indah bersama laki-laki itu. Mereka tidak pernah membicarakan anak. Anehnya, Jim tidak pernah menyinggung hal itu. Laki-laki itu mungkin tidak tertarik. Dulu sekali, kali pertama Rita mengenal Jim, ia benar-benar berharap dapat melahirkan anak dari laki-laki itu. Semuanya berubah persis ketika Rita menginjakkan kakinya di dalam rumah mewah Jim, dan mengenal keluarga Foster lebih dekat. Satu bagian dari dirinya berharap agar ia melepas semua itu, satu bagian lain ingin agar ia tetap bertahan. Pikirnya, ia akan segera terbiasa dengan semua itu. Pikirnya, sikap keluarga Foster yang seakan-akan tengah memusuhinya tidak akan bertahan lama. Nyatanya semua jauh dari apa yang dapat dibayangkannya. Bahkan ia memiliki ketakutan bahwa suatu saat ia benar-benar menyesali keputusan untuk tidak pergi selagi masih ada kesempatan. Rita merasakan penyesalan itu sekarang. Namun setelah apa yang terjadi, ia terjebak di dalam sana dan ia harus menunggu lebih lama untuk dapat bebas.

Rita berusaha mengingat-ingat momen kebersamaannya dengan Jim ketika kakinya menyusuri karpet merah di bawahnya, berjalan mengitari meja dan duduk di atas kursi berlengan milik Jim yang terasa sangat nyaman. Pantas Jim tidak pernah merasa bosan untuk duduk disana. Kursi itu dirancang untuk siapapun yang rela membayar mahal untuk kenyamanan kualitas A. Rita menyenderkan punggungnya di atas kursi, menengadahkan wajahnya dan menatap langit-langit ruangan. Kini ia menyaksikan kabut tipis di atas sana, bergerak menyusuri langit-langit dan merayap di dinding.

Rita mengerjapkan matanya berkali-kali, berpikir bahwa ia baru saja memulai delusinya yang lain. Namun, kabut itu tidak hilang, malahan semakin tebal hingga kini menutupi seluruh langit-langit.

“Tidak..”

Rita merasakan tanggannya bergetar, jari-jari kakinya menekuk. Ia harap ia dapat pergi meninggalkan ruangan itu secepat mungkin kalau saja kakinya tidak menjadi lumpuh secara tiba-tiba dan seluruh tubuhnya membatu.

Kini gumpalan kabut mulai membentuk awan di atas kepalanya. Awan itu menggumpal membentuk satu lingkaran besar, kemudian membuka bagian tengahnya seperti sebuah portal. Dari sana, Rita menyaksikan setitik noda berwarna merah gelap mulai membesar, bergerak dengan cepat hingga menutupi sebagian kabut tebal. Noda gelap itu tiba-tiba jatuh membanjiri seisi kamar seperti air bah yang datang dari langit. Kini sekujur tubuhnya bersimbah darah. Rita berteriak keras terutama ketika melihat Jim berbaring di langit-langit ruangan itu: pucat dan membiru, aroma tubuhnya tercium menyengat seperti bau belerang. Karena tidak dapat menahannya Rita memuntahkan seisi perutnya di atas karpet.

..

Rita tersentak di atas kursi, kedua matanya terbuka lebar dan nafasnya tersengal. Ia menatap ke sekeliling ruangan, mendapati ruangan itu tidak berubah sedikitpun. Tidak ada genangan darah yang mengisi setiap sudut tempat, tidak ada pemandangan mengerikan Jim di atas langit-langit, tidak ada kabut tebal dan jam di dinding menunjukkan pukul satu dini hari. Tampaknya ia mengalami satu lagi mimpi buruk.

Rita terburu-buru ketika bangkit dari atas kursi hingga kakinya membentur kaki meja dan membuatnya jatuh di atas karpet. Rasa sakit yang menusuk itu menyerang perutnya. Rita tergeletak di atas karpet dan berteriak saat rasa sakitnya tak tertahankan. Tangannya mencakar permukaan karpet dan ia mulai menepuk-nepuknya dengan kesal. Tangisnya pecah. Sementara itu ia masih kesulitan menggerakan kakinya untuk bangkit dari sana. Akhirnya Rita menyerah dari usahanya dan hanya menunggu hingga rasa sakit itu memudar.

Dengan kedua matanya yang basah dan sembab, pandangannya mulai berkabut. Ia kesulitan untuk melihat dengan jelas dan Rita terus mengedarkan pandangannya ke sekeliling hingga tatapan itu jatuh pada pot besar yang diletakkan Jim di sudut ruangan. Ia menyeret tubuhnya menuju pot itu, memaksa dirinya untuk berhenti menangis dan terus mengigit bibirnya demi meredakan rasa sakit yang menusuk rahimnya. Namun sesuatu yang tertatam pada tanah di dalam pot besar itu benar-benar menyita perhatiannya. Rita melihat botol obat tergeletak di belakang pot. Ia meraihnya, menyadari bahwa botol obat itu telah dikosongkan dan isinya: pil-pil berwarna putih tersebar di atas tanah dalam pot besar. Rita masih mengingatnya. Itu adalah pil yang sama yang ia berikan untuk meracuni Jim. Suatu kesadaran menyentaknya, memaksanya untuk menghentikan tangisnya saat itu juga dan menekan rasa sakitnya. Jim tidak menelan pil-pil itu. Jim, entah bagaimana tahu bahwa Rita telah menukar obat tidurnya dengan pil itu dan membuangnya di dalam sana. Jim tahu dan laki-laki itu tidak mengalami penurunan kesadaran selama ini. Rita tidak mencelakainya – atau secara tidak langsung, tidak benar-benar mencelakai Jim. Lalu apa yang menyebabkan kecelakaan itu? Dan jika Jim tahu, mengapa laki-laki itu tidak pernah membahasnya?


--

PUNISHMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang