Bagian 35

231 17 0
                                        

David masih berbaring di sana: bergeming menatap Rita dengan luka di kepalanya. Hingga detik itu, Rita masih melihat kekosongan di matanya, bertanya-tanya apa laki-laki itu masih bernyawa. Butuh keberanian besar untuk memeriksanya.

Sementara itu, keheningan menjalar di setiap sudut ruangan. Langit gelap mengintip dari balik jendela. Lemari kayu, nakas, meja-meja, semua barang yang ada di dalam ruangan itu seakan ikut menatapnya. Yang paling mengerikan dari semua itu adalah kedua mata David yang setengah terbuka, mengarah langsung tepat ke wajahnya. Kegelapan mulai membanjiri seisi ruangan. Hanya tersisa cahaya temaram dari lampu di konter. Setiap detik yang berlalu rasanya terlalu menyiksa dan Rita mulai berhalusinasi seolah ia dapat mendengar suara nafasnya sendiri, atau suara detak jarum jam yang tiba-tiba bergerak melambat. Dunia di sekitarnya mulai pudar, wajahnya semakin pucat, tangannya tidak berhenti bergetar.

Efek yang paling berpengaruh dari semua itu adalah rasa mual pada perutnya. Indra pendengarnya mulai peka terhadap suara-suara di sekitarnya. Rasanya ia dapat mendengar suara angin meskipun aneh jika ada angin di dalam ruangan sempit yang tertutup itu. Langit-langit kamar itu tiba-tiba berputar, dan ia sanggup merasakan cairan empedu naik ke tenggorokannya.

Rita beringsut dengan susah payah dari tempatnya untuk memeriksa David. Ia harus menahan nafas ketika tangannya dengan takut menyentuh denyut nadi pada tangan David. Hasilnya nihil.

Sialan.. sialan.. sialan!

Kedua matanya terasa menyengat. Rita masih tidak percaya, ia menarik tubuh laki-laki itu, membalikkannya dalam keadaan telentang kemudian menekankan telinganya di atas tubuh David, berharap menemukan denyut jantung David. Hasilnya nihil.

Dengan tubuh bergetar dan kedua mata berair, Rita menyentuh luka di kepala David. Kini cairan merah gelap memenuhi tangannya. Tidak ada kesempatan untuk menyelamatkan laki-laki itu. David kehilangan banyak darah. Darah dimana-dimana: kini darah itu merembet ke pakaiannya.
Rita berlari ke toilet, muntah di sana kemudian meraih kain bersih dan seember air untuk membenahi kekacauan yang terjadi. Rita melakukannya dengan cepat dan tergesa-gesa. Ia mencampurkan cairan sabun ke dalam air itu, menyeret jasad David dengan susah payah kemudian menghapus genangan darah di atas lantai.

Alarm di atas meja menunjukkan pukul tujuh lima belas malam. Rita berpacu dengan waktu. Ia mencuci lantai berkali-kali, memastikan tidak ada genangan darah yang tertinggal disana. Kemudian, Rita menggunakan kain dan seprai untuk membungkus jasad David. Ia melakukannya berkali-kali sehingga tidak akan ada orang yang menyangka apa yang ada di balik kain itu.

Pada pukul sepuluh, Rita masih membersihkan sisa kekacauan yang terjadi. Suara ketukan pintu dari luar mengejutkannya. Rita melompat ke arah pintu, menahan pintu itu hingga suara petugas dari luar terdengar.

“Jasa kebersihan?”

“Tidak, terima kasih.”

“Baik.”

Suara itu menghilang diikuti oleh suara derap langkah kaki seseorang yang menjauhi pintu kamar David. Rita menghela nafas dengan susah payah. Ia memastikan pintu terkunci rapat, kemudian dengan tergesa-gesa, ia menutup celah-celah jendela dengan kain hingga tidak mengizinkan siapapun dapat mengintip ke dalam sana.

Ia menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat, pergi ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya dan membasuh sisa darah di tangannya. Rita memasukkan kain dan pakaian yang bernoda itu ke dalam plastik, sisanya ia membasuh semua barang yang disentuhnya untuk memastikan tidak ada sidik jari yang tertinggal di sana. Kemudian duduk menunggu hingga larut malam.

Pikirannya terpusat pada kejadian yang dialaminya saat ini. Rita memandangi jasad David yang terbungkus kain di hadapannya dengan getir. Seluruh emosinya meluap di udara. Tidak ada yang dilakukannya selain menghitung detik saat itu, menunggu hingga pagi buta untuk keluar dari sana. Keheningan dan kegelapan di dalam ruangan itu adalah temannya. Rita memeriksa arloji, tepat pada pukul satu, ia memberanikan diri untuk membuka pintu. Lorong di depan ruangan gelap dan senyap, pintu-pintu kamar lain tertutup. Kamera cctv berada di ujung lorong, persis di dekat lift, jadi Rita tidak akan menggunakan lift untuk membawa jasad David turun bersamanya. Ia memeriksa setiap sudut, dan menemukan jalur aman melalui gudang. Tidak ada cctv yang dipasang disana, meskipun ia harus menuruni tangga yang melingkar, setidaknya jalur itu lebih aman.

Setelah memastikan kondisi di luar cukup aman, Rita berderap ke dalam untuk menarik jasad David. Ia menyeretnya di atas lantai dan membawanya ke tangga dengan susah payah. Ia mengalami kesulitan karena bobot David jelas lebih besar darinya dan Rita tidak punya kekuatan sebesar itu untuk membopongnya. Membawanya turun dari atas tangga nyaris tidak mungkin, jadi satu-satunya pilihan adalah menjatuhnya dari atas tangga.

Rita harus menutup pintu gudang untuk mengedapkan suaranya. Ia mengintip keluar untuk memastikan tidak ada seseorang yang berlalu-lalang sebelum menjatuhkan jasad David dari atas tangga. Jasad itu berguling-guling hingga mencapai anak tangga. Rita kemudian berlari cepat menuruni tangga untuk menyeret jasadnya. Ia keluar dengan aman melalui pintu belakang. Mobilnya tidak terparkir jauh dari sana, namun Rita harus mengangkat jasad David ke dalam bagasi.

Udara dingin malam menusuk kulitnya. Meskipun sekujur tubuhnya terasa lemas, Rita tidak menyerah sampai di sana. Ia menyapukan pandangannya ke sekitar setiap beberapa detik untuk memastikan tidak ada seseorang yang melihatnya. Kekhawatirannya memuncak dalam setiap detik, dan ketika Rita akhirnya berhasil memasukkan jasad David ke dalam bagasi mobilnya, satu masalah hilang.
Rita menyentak atap bagasi itu dengan keras kemudian mengitari mobil dan duduk di kursi kemudi. Ia menyalakan mesin mobilnya dengan tangan bergetar, sekilas menatap wajahnya melalui spion dalam mobil dan menyaksikan peluh membanjiri dahinya.

Ketika mesin menyala, Rita menstarter mobilnya kemudian menginjak pedal gas dan pergi meninggalkan bangunan itu secepat mungkin. Ia berkendara dengan kecepatan tinggi ketika menembus perbatasan kota, menghilang di jalanan panjang untuk sampai di rumahnya.

Di sepanjang perjalanan, Rita masih kebingungan untuk memindahkan jasad itu dari bagasi mobilnya. Apa yang harus ia lakukan? Jika Rita membuangnya di sungai, seseorang akan menemukannya. Satu-satunya cara hanyalah menghilangkan jasad itu. Ia tidak punya ide yang cukup bagus untuk itu – Rita tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya. Ia tidak pernah bermimpi akan mengubur jasad seseorang dengan tangannya sendiri. Nyatanya mimpi buruk itu terjadi. Ia masih kesulitan untuk memercayainya: David tewas di tangannya dan itu hanya berarti dua hal: penjara atau lari untuk kebebasan. Rita tidak siap untuk yang pertama.
Pikirannya buyar di sepanjang perjalanan. Ia nyaris menabrak pembatas jalan jika saja kakinya tidak cukup cepat menginjak pedal rem. Nafasnya memburu, matanya menatap lurus ke arah jalanan gelap yang kosong. Cahaya dari lampu sennya menyorot hamparan rumput di bahu jalan dan pepohonan tinggi yang berbaris di sekelilingnya. Rumah penduduk yang tak jauh di sana tampak hening. Lampu terasnya berkedip beberapa kali, dan seekor anjing dari balik pagar menggonggong keras.

Rita menginjak pedal gas dan kembali mengemukan mobilnya, kali ini ia menurunkan kecepatan berkendaranya hingga ia sampai di tikungan yang mengarah menuju rumahnya dan ia menghentikan mobilnya disana, menolak untuk membawa jasad itu masuk ke halaman rumahnya. Apa yang harus ia lakukan?

Rita menyandarkan keningnya di atas setir sembari memejamkan matanya. Ketika ia mengangkat wajahnya, ia menatap kedua matanya melalui kaca spion dan melihat wajah yang benar-benar berbeda, seseorang yang tidak dikenalinya. Semua yang hadir di kepalanya, runtuh begitu saja oleh kesadaran bahwa ia telah melakukan suatu tindakan besar – mungkin terlalu nekat dan berlebihan, dan meletakkan jasad seseorang di bagasi mobilnya. Tapi itu bukan seseorang, ia mengingatkan dirinya, itu adalah jasad David. Laki-laki yang dikenalnya sejak bertahun-tahun lalu, laki-laki yang dalam beberapa bulan terakhir menjadi begitu dekat dengannya dan seorang ayah dari bayi yang sedang dikandungnya. Apa yang harus dikatakan Rita ketika bayi itu lahir? Kejutan! Ibumu membunuh ayahmu dan menyimpan mayatnya di bagasi mobil. Atau sesuatu yang terdengar tidak kalah mengerikan seperti: kejutan! Ibumu adalah sampah, pelacur yang berselingkuh dari suaminya dan membunuh ayah dari bayi yang dikandungnya.

Well, tidak satupun dari jawaban itu yang berarti baik. Delusi itu telah memakan seisi pikirannya dan ia mulai menggambarkankan bayangan-bayangan buruk yang mungkin dapat terjadi pada kehidupannya nanti. Bisa saja ia hal itu tidak pernah terjadi: ia tidak akan melahirkan anaknya dan ia akan menghabiskan sisa hidupnya mendekam di dalam penjara. Atau ia dapat memilih cara lain dengan berbohong tentang bayinya, menghindari hukuman atas apa yang diperbuatnya pada David dan hidup dalam ketakutan. Dua-duanya bukanlah pilihan yang menyenangkan. Yang satu tidak lebih baik dari yang lainnya. Keduanya memiliki tujuan yang sama untuk menghancurkan Rita secara perlahan. Pada akhirnya, ia hanya akan mendapat kesimpulan bahwa dengan atau tanpa usaha sekalipun, seluruh hidupnya akan hancur dan semua bermula dari malam itu: persis ketika Rita memikirkan kehidupan bebas di balik jendela kamarnya. Siapa sangka jenis kehidupan itu akan menjadi seburuk seperti yang saat ini dialaminya? Ini adalah mimpi buruknya! Diam-diam Rita masih berharap bahwa suatu saat ia akan terbangun dari tidurnya dan menyadari betapa mengerikannya mimpi itu.

Namun, udara dingin yang menusuk kulitnya dan bau busuk yang tercium dari bagasi mobilnya menegaskan bahwa mimpi buruk itu bukanlah mimpi buruk melainkan sesuatu yang lebih buruk dari mimpi buruk itu sendiri. Rita mengetuk keningnya di atas setir, menahan rasa perih pada kedua matanya. Ia menarik nafas, mengembuskannya dan melakukan hal yang sama berkali-kali. Kemudian, cahaya yang berkedip dari rumah Louise menyita perhatiannya. Louise terlihat sedang berdiri di belakang jendela. Matanya menatap lurus ke depan namun Rita dapat menyadari perubahan emosi di wajahnya ketika Louise menyaksikan mobilnya yang terparkir di bahu jalan.

Rita menatap ke lurus ke depan, ia harus mengumpulkan keberanian untuk keluar dari mobilnya dan berjalan menuju rumah Louise. Firasatnya mengatakan bahwa Louise menyadari hal itu, wanita itu menyingkir dengan cepat dari jendela, berusaha untuk tidak terlihat meskipun rasanya bodoh untuk bersembunyi lagi. Tidak ada rahasia di antara mereka, Louise tahu itu – ia hanya enggan mengakuinya.

Melibatkan wanita itu mungkin bukanlah keputusan yang baik, bagaimanapun Louise – dengan caranya yang aneh akan mengetahuinya. Sementara Rita tidak memiliki cukup keberanian untuk menghadapinya sendirian. Ia berharap menemukan seseorang yang akan memaklumi tindakannya, seseorang yang memahami kondisinya dan seseorang yang tidak akan menghakiminya. Tampaknya seseorang itu hanya akan menjadi bayangannya. Namun, bayangannya di cermin saja sudah membuat ia takut!

Dengan perasaan kalut, Rita memberanikan diri untuk mengangkat tangannya dan mengetuk pintu Louise. Keheningan merayap di sekitarnya, suara jangkrik yang mengerik terdengar dari arah pekarangan dan pohon-pohon tinggi yang mengelilinginya membuat ia ketakutan. Indra-indranya menjadi peka. Ia dapat merasakan angin dingin malam menembus masuk melalui sera-serat pakaiannya dan menusuknya. Ia dapat mencium bau busuk nafasnya, dan merasakan panas tubuhnya hingga pintu dibuka perlahan dan Louise mengintip dari balik celah sempit pintu itu. Ada ketakutan di wajahnya, namun setelah memandangi Rita cukup lama, menyadari betapa kacaunya tampilan Rita malam itu, Louise membuka pintu lebih lebar, berdiri menunggu di hadapan Rita hingga kedua mata Rita berair dan wajahnya memerah. Suaranya juga terdengar serak dan bergetar.

“Tolong aku!”

--

PUNISHMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang