Bagian 25

62 14 1
                                        

Rita pernah memiliki ketakutan jika suatu saat ia akan terbangun dari tidurnya dan menyadari bahwa ia membuat keputusan yang salah – atau dalam skala besar, ia menyadari bahwa hidupnya telah hancur. Pagi itu ia terbangun, mungkin terlalu terlambat untuk bangun karena cahaya matahari yang besar telah merangkak masuk melalui celah jendela, kemudian ia menyadari tempatnya.

Ranjang kecil itu sangat tidak nyaman, bantalannya keras dan permukaannya kasar. Rita pernah memiliki satu yang seperti itu, tapi yang ini adalah yang terburuk. Mungkin karena Rita terbiasa memanjakan dirinya dengan kenyamanan yang ditawarkan Jim di dalam rumah besarnya. Tapi bukan ranjang keras dan sempit itu yang benar-benar menganggunya. Ruangan di sekelilingnya tampak asing meskipun Rita pernah berada disana. Sekat-sekat kecilnya mulai terlihat familier, jendela-jendelanya terbuka untuk satu alasan khusus, dan tidak ada lampu. Bagian dapurnya terhubung dengan kamar tidur, juga kamar mandinya di sudut. Suite itu merupakan gambaran tentang ide rumah dalam satu ruangan. Nyaris tidak ada privasi dan memang ditempati khusus untuk satu orang.

Rita beringsut dari atas kasur, menyadari bahwa ia tidak berpakaian di balik selimut yang membungkus tubuhnya. Ketika melirik ke arah jam dinding, Rita menyadari bahwa ia tertidur semalam bersama David di apartemennya. Kemunculan laki-laki itu di balik pintu menyita perhatiannya. David mengenakan jins dan kaus santai, datang untuk menyapanya dan tampak sibuk menyiapkan makanan di dapur.

“Kau akhirnya bangun,” komentar laki-laki itu saat memunggunginya.
Rita menarik diri dari atas kasur kemudian berjalan untuk memungut pakaiannya yang berserakan di lantai. Ia mengenakan pakaian itu dengan cepat, kemudian berjalan mendekati David.

Laki-laki itu beraroma krim cukur. David tampak seperti baru saja mandi karena rambutnya masih basah dan tampilannya begitu acuh tidak acuh. Ia mengeluarkan sebotol bir dan duduk bersama Rita di belakang meja. Senyumnya mengingatkan Rita tentang suatu perasaan aneh yang sama ketika kali pertama mereka mengenal satu sama lain. David duduk di sana, menyundutkan api pada putung rokoknya kemudian mengisapnya dalam-dalam sebelum mengeluarkan asap yang mengepul dari hidung dan mulutnya. Sepasang mata birunya tampak cemerlang, segaris kerutan di dahinya terlihat dan ada beberapa detail yang benar-benar dilupakan Rita tentang David. Ada luka baret di bawah lehernya dan tulang selangka yang sedikit bengkok, juga otot lengannya yang selalu berkedut. Rita tidak pernah kesulitan mengenali detail spesifik itu, mereka telah bersama-sama untuk waktu yang lama kemudian mereka menjadi sekedat ini dan membayangkan dirinya akan melahirkan anak David membuat darahnya berdesir cepat. Suatu perasaan aneh dalam dirinya merasa geli dan disisi lain merangsang kebutuhan primitifnya.

David menghunjamkan ujung rokoknya pada asbak, bergeser mendekati Rita dan mengerahkan jari-jarinya untuk menyampirkan helai rambut Rita ke balik telinga. Sentuhan itu, untuk alasan yang aneh, membuat darahnya berdesir. Rita dapat merasakan bagian primitif dalam tubuhnya berteriak meminta lebih. Ia selalu kalah jika menyangkut hal itu. Gairahnya adalah kebutuhan dasar yang bersifat primitif dan mendominasi otaknya sehingga sangat sulit baginya untuk berpikir secara waras ketika dihadapi oleh hal itu. Kebutuhannya untuk melengkapi dan dilengkapi begitu besar hingga mengalahkan amarahnya sendiri. Rita begitu mudah jatuh dalam perangkap. Itulah yang dilakukan Jim – kali ini David.

“Bagaimana keadaanmu?” tanya David untuk pertama kalinya pada pagi itu.

“Jim tewas.”

David bereaksi dengan cara yang sudah dapat ditebaknya. Laki-laki itu tidak berkomentar banyak, hanya mengangguk-anggukan kepalanya seolah hendak menanggapi Rita dengan tulus.

“Itu tidak berarti baik,” ucap Rita dengan ketus.

“Itu bukan salahmu,” laki-laki itu akhirnya berkomentar. “Dia mengemudi dengan tidak baik dan mencelakakan dirinya.”

PUNISHMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang