Bagian 32

58 15 1
                                    

Louise berjalan menyusuri jalanan panjang yang melandai menuju bangunan yang disewa Ed untuknya dan Lidia. Ia hanya mengingat jalanan menuju rumah bangunan itu sekilas. Dulu, Louise pernah mengikuti Ed kesana, laki-laki itu tidak tahu sampai ia tertangkap sedang bedebat dengan Ally di sekitar rumahnya. Ally punya kemampuan nomor satu sebagai pengacau. Ed mengusir Louise dan dengan kasar mengecamnya untuk tidak membuntutinya lagi. Sejak saat itu, Louise tidak pernah menginjakkan kakinya lagi di sekitar jalanan itu. Tidak sampai hari ini. Louise benar-benar penasaran apa yang akan dikatakan Lidia tentang suaminya: seorang ahli sejarah, dosen terbaik yang berhasil ditidurinya, adalah bajingan hidung belang dan peselingkuh nomor satu. Louise tidak sabar untuk melihat reaksi Lidia, karena itu ia mempercepat langkahnya.

Louise hampir tersesat. Namun, ia adalah seseorang yang memiliki kemampuan mengingat yang baik. Louise selalu berhasil memetakan setiap tempat yang pernah dilewatinya. Tempat ini: jalanan yang dilaluinya hanya mengalami sedikit perubahan setelah bertahun-tahun.

Karena letaknya yang cukup dekat dengan kaki bukit, jalanannya dipenuhi kabut dan pepohonan tinggi yang berbaris di belakang trotoar jalan. Daun-daun kering berserakan di atas jalanan dan rumah penduduk terdekat letaknya beberapa meter jauhnya. Louise menyaksikan asap yang mengepul dari belakang rumah seorang penduduk. Jalanan yang melandai itu mengarah ke bukit dimana sebuah bangunan kosong tiga lantai berdiri di sana. Udaranya terasa dingin dan lembab. Di atas dahan-dahan pohon yang menggantung rendah, burung mangpie berterbangan, berkicau seolah menyambutnya. Nyaris tidak ada kendaraan yang berlalu lalang di sekitar sana dan suara gemuruh mesin dari rel kereta terdengar dari arah terowongan kecil, tepat di ujung jalan. Kereta itu bergerak menuju Corolado. Rodanya berputar dan melesat dengan cepat.

Ketika Louise sampai di depan rumah Ed, ia melihat Lidia sedang duduk di anak tangga dengan sebuah ponsel dalam genggamannya. Ia menekankan ponsel ke telinganya dan berbicara dengan seseorang di seberang sana. Ekspresinya tampak kesal, tapi bocah itu selalu terlihat kesal. Dari sudut pandangnya, Lidia tampak lebih gemuk, lengan dan kedua kakinya membesar, perutnya juga terlihat sedikit membuncit dan perubahan pada rangnya terlihat sangat jelas. Kali ini ia tidak mengenakan riasan wajah tebal seperti yang diingat Louise dulu. Gagasan untuk memiliki dua orang anak bisa saja mengubah siapapun, bahkan wanita nyentrik dengan selera humor yang buruk seperti Lidia.
Namun, Louise senang melihatnya. Hal itu terasa aneh karena untuk pertama kalinya ia begitu bersemangat menemui wanita itu dan – jika diizinkan, Louise akan mengolok-oloknya. Tapi ia menyingkirkan niatan itu ketika menatap jendela yang terbuka dari arah dapur. Ed sedang berdiri di belakang lemari dapur. Ia sedang mengeluarkan sebotol cuka, atau mungkin gin yang diam-diam disembunyikannya. Apa yang akan dilakukan laki-laki itu?

Ketika Louise bergerak melewati batas rumah mereka, ia merasa berkuasa. Siapa yang dapat menghalanginya kali ini? Lidia membeliakkan matanya seolah sedang menyaksikan hantu berkeliaran di atas rumputnya, menginjakkan kaki dan dengan berani meledeknya.

“Edmund!” teriak wanita itu sembari bangkit dari tempatnya di atas tangga. Louise melihat Ed melongok dari arah dapur. Ia mempercepat langkahnya mendekati Lidia hingga wanita itu bergerak mundur menjauhinya.

“Tetap ditempatmu! Apa yang ingin kau lakukan?!”

“Lidia, aku ingin memberitahumu bahwa Ed menghianatimu.”

“Apa?”

“Ed menghianatimu, seperti yang dia lakukan padaku dulu,” Louise mengulanginya dengan tegas.

“Kau gila.”

“Tidak. Aku berusaha menghubunginya, dan dia bersama wanita lain. Aku bersumpah, dia menghianatimu. Kau bukan satu-satunya, kau tahu itu.”

“Louise! Louise!!” seruan itu terdengar ketika Ed muncul di depan pintu. Wajahnya memerah dan laki-laki itu bergerak untuk menyerangnya.
Ed merenggut lengannya dengan kasar kemudian memaksa Louise untuk menjauhi pekarangan rumahnya.

“Aku tahu semuanya! Aku tahu kebusukanmu! Kau peselingkuh! Kau tidak akan berhenti! Aku tahu..”

“Apa yang kau bicarakan?!” Ed nyaris berteriak di depan wajahnya. Tangannya mencengkram lengan Louise dengan kasar kemudian mengempasnya keluar dari batas pagar.

“Pergi! Jangan datang lagi, kau membuat Lidia takut.”

Louise memandangi wajah Ed sejenak kemudian mendengus keras. “Aku yang takut padamu. Aku tahu semuanya.. aku tahu..”

“Lidia masuk!” perintah Ed pada wanita yang masih berdiri di atas tangga. Louise menyentak Ed dengan kasar, berusaha menepis tangan Ed yang menahannya dan berteriak dari atas bahu Ed.

“Tidak, Lidia! Dengarkan aku! Aku bersumpah padamu, aku tidak bohong.”

“Diam!”

Louise tidak berhenti sampai sebuah tamparan keras melesat di wajahnya. Kala itu Lidia menyaksikannya dengan kedua mata membeliak. Ed menarik Lidia untuk masuk, menutup pintu bagi wanita itu kemudian kembali pada Louise hanya untuk merenggut lengannya, menyentak Louise dengan kasar ke jalanan.

Rasa sakit yang ditimbulkan Ed pada lengannya tidak seberapa dibanding fakta bahwa laki-laki itu – untuk kedua kalinya melakukan kesalahan yang sama. Louise tidak bisa menahan diri ketika air matanya merebak, suara yang keluar dari mulutnya terdengar bergetar. Nyalinya ciut.

“Kenapa kau lakukan ini?”

“Kau orang yang menghubungiku, kan?” Ed menudingnya dengan kasar. Sepasang matanya yang gelap tidak lagi dikenali Louise. Laki-laki ini bukanlah orang yang sama yang dikenal Louise dulu. Ed, entah bagaimana, telah mengubah dirinya menjadi semacam bencana yang akan menimpa wanita yang mendekati atau didekatinya. Louise secara kebetulan adalah korban, selanjutnya Lidia, kemudian siapa lagi?

“Apa maumu?! Apa maumu! Kau tidak mengerti, ya? Kita sudah berakhir.”

“Tidak, kau bilang pada Ally bahawa kau menyesal.”

Ed mendengus, kemudian memperlihatkan sederet giginya dan tersenyum lebar.

“Apa mulai berhalusinasi lagi?”

“Tidak, Ed. Aku tahu kau menyesalinya karena jika tidak, kau tidak akan bersama wanita lain..”

Sebelum Louise sempat mencegahnya Ed menarik rambutnya dengan kasar, membekap mulut Louise dengan satu tangannya dan memelototinya.

“Apa maumu? Kau ingin mengatakannya pada Lidia? Silakan katakan! Dia tidak akan memercayaimu. Kau gila. Itu yang dia tahu. Sekarang apa yang ingin kau lakukan? Kau ingin kembali, atau bermain-main disini? Kau ingin aku menyakitimu? Kau selalu ingin melihat itu, kan? Kau pikir aku tidak bisa melakukannya hanya karena keyakinan bodohmu. Kuberitahu kau, aku bisa melakukan apa saja sekarang. Jika kau cari masalah di wilayahku, aku tidak akan tinggal diam. Sekarang kau punya pilihan, pergi atau kita selesaikan semuanya disini.”

Louise berusaha payah menahan pekikannya. Bersikap lemah di hadapan laki-laki itu adalah sebuah pantangan. Ia harus berjuang keras untuk melepaskan diri dari Ed, dan ketika Louise berhasil melakukannya, ia mulai berteriak, mengayunkan kedua tangannya untuk memukuli laki-laki itu hingga Ed menghantamkan pukulan ke wajahnya sekali lagi.

“Kau berengsek! Aku benci padamu! Kau bajingan!”

“Hei! Hei! Berhenti! Louise!”

Ed memukulnya sekali lagi hingga Louise jatuh di atas jalanan beraspal. Darah mengalir dari lubang hidungnya, kepalanya terasa pening dan pandangannya mulai kabur. Samar-samar Louise menyaksikan Ed menjauhinya, bergerak menuju teras rumahnya dan menghilang di dalam sana.

Louise berusaha keras untuk merangkak. Ia mencari tasnya yang terlempar jauh ketika ia berusaha melepas diri dari Ed. Kedua kakinya terasa keram dan rasa sakit akibat pukulan Ed di wajahnya terasa berdenyut-denyut. Kini pukulan itu menyisakan memar biru yang bersarang di rahangnya.

Jalanan masih berkabut, kabutnya semakin tebal ketika Louise bergerak meninggalkan tempat itu. Ia berjalan semponyongan di atas trotoar. Sebuah truk yang melintas membunyikan klakson keras yang membuat Louise menyingkir dari jalanan. Truk itu nyaris saja menabraknya. Kini Louise berlari cepat meninggalkan jalanan. Ia memilih untuk melewati rawa di dekat terowongan sempit, tempat dimana kubangan air memenuhi lubang-lubang di jalanannya yang terjal. Bebatuan tersebar di atas tanah merah yang lembab dan dahan-dahan pohon menggantung rendah di atas kepalanya.

Ia mengeluarkan botol minumnya dari dalam tas, berusaha meneguk gin yang ia campurkan ke dalam minuman itu dengan cepat. Sensasinya berhasil menekan rasa sakit pada lebam di wajahnya. Louise menyaksikan langit berubah gelap, ia memilih untuk berjalan bersisian dengan pagar berkawat, dan menyaksikan kereta melintas di atas rel. Suara gemuruhnya disertai oleh angin kencang yang menerpa wajahnya kemudian lampu merah di dekat rel itu mulai berkedip-kedip.

Ketika Louise melewati jalanan sempit yang biasa di laluinya, ia melihat Rita duduk di dalam mobil yang ditumpanginya bersama wajah yang tampak tidak asing. Mobil itu melintas cepat menuju rumah di seberang taman. Louise melihat Rita turun dari kursi penumpang kemudian menyaksikan mobil itu meninggalkan halaman depan rumahnya.

Ketika Rita benar-benar sendirian, Louise mengambil kesempatan dan berlari ke arah wanita itu. Ekspresi Rita ketika melihatnya sudah dapat ditebak. Ada ketidaksukaan yang jelas dalam raut wajahnya dan sebelum Rita menghilang di balik pintu rumahnya, Louise mengambil kesempatan itu dengan berkata,

“Aku melihat suamimu malam itu.. aku melihat dia pergi.”

Louise ragu jika ia mengucapkan sesuatu yang keliru, namun setidaknya ia berhasil menghentikan langkah Rita dan membuat wanita itu berbalik menatapnya.

“Apa aku harus memercayaimu?”

“Ya, karena aku punya buktinya. Aku tidak pernah memberitahu siapapun.”

Rita hanya bergeming menatapnya, tapi firasat Louise mengatakan wanita itu akan berbalik untuk bukti apapun yang melibatkan Jim. Meskipun kelihatan ragu-ragu, namun Rita menyetujuinya untuk ikut. Louise lebih berhati-hati kali ini. Ia tidak ingin kehilangan kepercayaan wanita itu untuk kedua kalinya. Namun, sesuatu yang ingin ditunjukakannya bukanlah hal apapun yang berarti baik. Jika diberi kesempatan Louise berharap dapat mengubah skenarionya, menghentikan apapun yang terjadi hari itu untuk menghentikan insiden yang akan terjadi.

Louise punya firasat buruk tentu saja. Tidak ada yang tahu apa yang benar-benar dirasakan Rita Foster. Wanita itu duduk dengan pucat di atas kursinya. Jari-jarinya yang ramping menekuk dengan kaku di atas meja ketika Louise menunjukkan sejumlah gambar yang ditangkap oleh kameranya pada hari ketika Jimmy Foster menghilang.

“Dia tidak pergi ke tempat kerjanya,” simpul Louise ketika menyaksikan wajah pucat Rita yang terus memandangi gambar di kamera itu.

Sedan hitam yang biasa digunakan Jim untuk pergi bekerja terlihat baru saja keluar dari garasi. Kemudian pada gambar berikutnya, laki-laki itu: mengenakan kemeja biru, jas hitam dan siap untuk pergi bekerja, terlihat mengitari mobil menuju kursi kemudi. Di gambar lain, sedan hitam itu melintas ke arah yang berlawanan dari biasanya. Louise menyimpulkan bahwa Jim tidak pergi bekerja. Rita tahu persis bahwa jalur itu tidak akan dilalui Jim untuk pergi ke kantornya. Lantas laki-laki itu pergi kemana?

Untuk menjawab pertanyaan yang terbesit dalam benak Rita, Louise bergerak untuk menunjukkan cetakan gambar lain dalam bukunya.

“Gambar ini kuambil beberapa hari sebelumnya,” ucap Louise saat menyodorkan cetakan gambar itu di atas meja.

Rita tertegun memandanginya. Kali ini Jim terlihat berdiri di belakang mobil, mengenakan pakaian yang cukup santai berupa jaket berwarna coklat, jins longgar, sepatu kets dan topi bisbol. Laki-laki itu sedang memasukkan sebuah tas hitam besar ke dalam bagasi, ia tampak terburu-buru.

“Saat itu sore sekitar pukul empat,” ujar Louise. “Kau berada di luar.”

--

PUNISHMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang