David duduk di seberangnya, mengenakan kemeja putih dan terusan jins berwarna pucat. Laki-laki itu duduk membelakangi jendela di kedai, menghalangi sinar matahari yang menyusup masuk melalui kaca-kaca itu, juga menghalanginya dari pemandangan ramai di sekitar jalan. Sementara Rita duduk di kursinya dengan kaku, menatap David dengan cara yang tidak biasa.
“Kau bilang kau minum pil..”
“Ya, tapi.. aku kehabisan pil dan aku tidak minum dua hari. Kupikir itu..”
“Kenapa kau tidak bilang padaku?” David terdengar seolah hendak memprotesnya, namun Rita tidak dapat menyalahkan reaksi David. Ia tidak dapat menyalahkan laki-laki itu atas tindakan cerobohnya.
“Maafkan aku.. hanya saja aku..” kedua bahunya merosot dan Rita menyerah pada satu kata, “maaf.”
“Kenapa kau tidak mengatakannya lebih awal?”
“Aku takut,” aku Rita. Kala itu David menggeser kursinya kemudian mencondongkan tubuh ke arahnya. Seorang pelayan hadir untuk membawakan minuman mereka. David mengeluarkan sejumlah uang dari sakunya, menambahkan sjeumlah tip kepada pelayan yang kemudian melenggang pergi meninggalkan mereka.
“Bagaimana keadaannya? Sudah berapa lama?”
“Kupikir ini akan memasuki bulan pertama di minggu ini,” Rita memandangi laki-laki itu. Ada banyak hal yang mengisi pikirannya, Jim ada di urutan nomor satu.
“Apa Jim tahu?”
“Tidak, aku tidak ingin dia tahu.”
David tertegun cukup lama. Rita tahu bahwa dari tatapannya yang kosong, David berusaha untuk menimbang sesuatu.
“Beritahu aku apa yang kau inginkan? Kita hanya punya dua pilihan.”
“Aku tidak mau menggugurkannya,” jawab Rita dengan spontan.
“Maka kau harus bicara dengannya.”
“Tidak, ini bukan waktu yang tepat.”
“Lalu apa yang kau tunggu? Kau ingin mengatakan bahwa kau mengandung bayinya?”
“Tidak, Jim akan tahu. Kami tidak berhubungan selama satu bulan terakhir. Kami sering berdebat akhir-akhir ini.”
“Aku tidak yakin, tapi aborsi satu-satunya cara. Kita bisa tetap berhubungan.”
“Bukan seperti itu caranya.”
Kedua bahu David merosot. “Katakan saja padaku apa rencanamu?”
“Beri aku waktu. Aku tidak bisa berpikir jernih sekarang.”
“Kau ingin aku mengantarmu kembali?”
“Ya, jika kau tidak keberatan.”
Ada sesuatu yang benar-benar tak terpikirkan olehnya saat itu, fakta bahwa David secara sukarela akan menikahinya, membuat Rita berpikir ulang tentang keputusannya. Jim bersikap baik beberapa hari terakhir, mungkin terlalu baik untuk diabaikan. Ia telah berusaha mengembalikan suasana yang terasa sama seperti tahun awal pernikahan mereka, dan Rita juga berusaha menghargainya. Usaha Jim membuat Rita tidak dapat mengabaikan keberadaan laki-laki itu begitu saja. Mungkin dapat dikatakan ia begitu naif tentang hal itu. Namun, kesempatan untuknya terbuka di sisi lain. David adalah pintu lain, sekaligus menjadi pilihan lain, tapi meninggalkan Jim akan menjadi keputusan yang sulit mengingat pernikahan itu sudah berlangsung cukup lama dan ia perlu membiasakan diri untuk situasi baru.
Rita telah memikirkan hal itu di sepanjang perjalanan, merasakan keheningan yang tidak biasa mulai mencekik mereka. Sewaktu-waktu David akan memandanginya melalui spion dalam mobil kemudian kembali menatap jalanan di depannya. Laki-laki itu menghentikan mobilnya persis di seberang jalan. Ia menawarkan diri untuk mengantar Rita, namun Rita menolaknya dengan cepat.
“Kau yakin?”
“Ya.”
Rita membuka pintu mobil dan bersiap untuk turun ketika David bertanya, “kapan kita dapat bertemu lagi?”
“Aku akan menghubungimu.”
Laki-laki itu menatapnya. Ekspresi wajahnya menyatakan bahwa ia sangat terusik dengan sikap diam Rita. Namun Rita tidak dapat mengatakan apa-apa, ia pergi dan menghilang dengan cepat, berharap ditelan bumi.
Ketika mencapai halaman depan rumahnya, Rita menyaksikan mobil David berputar dan laki-laki itu pergi ke arah yang berlawanan. Ketakutan itu kembali menguasainya hingga ia menghilang di balik pintu...
Rita sedang berdiri di bawah pancuran air, membasahi wajah dan tubuhnya dengan pikiran kosong. Titik-titik air yang jatuh di atas lantai kini menjadi bayangan yang kabur. Sementara itu ventilasi udara yang terbuka di atasnya mengizinkan angin untuk dapat masuk, merayap di sudut-sudut dinding dan membawa hawa dingin yang mengikatnya. Ia sedang memikirkan usulan David untuk melakukan aborsi ketika duduk di atas sofa sembari minum anggur secara langsung dari botolnya. Cahaya yang membesar dari arah jendela mendekat. Cahaya itu bergerak membelah kegelapan jalan, kemudian berkedip dengan cepat. Rita tidak menyadarinya sampai kemunculan Jim di belakang mengejutkannya.
“Apa yang kau lakukan?”
Wajah Jim memerah, Rita tersentak di kursinya, ia nyaris saja menjatuhkan botol alkohol itu dari genggamannya. Namun, Jim telah merebutnya dengan cepat, berdiri menantangnya dengan tatapan marah.
“Ini yang kau lakukan di rumahku?”
“Tidak.. aku hanya..”
“Kenapa aku mabuk?”
“Aku tidak mabuk!”
“Kau minum banyak!” Jim melempar botol itu ke dinding, memecahkannya dalam sekejap dan suara berdenting saat potongan keramik itu berjatuhan di atas lantai memenuhi seisi ruangan. Tubuh Rita menegang, ia bergerak mundur.
“Maaf..”
“Tidak,” Jim mendekatinya, Rita mengambil langkah mundur. Ia merasa takut, namun ia terjebak. Jim disisi lain memejamkan matanya, berusaha mengatur nafasnya ketika berkata,
“Kau tidak pernah seperti ini sebelumnya. Beritahu aku apa yang kau sembunyikan?”
“Tidak! Tidak ada apapun.”
“Kau tidak pernah mabuk di rumahku!” teriak Jim di depan wajahnya. “Apakah pemberianku kurang? Ada sesuatu yang ingin kau sampaikan? Kau tidak suka rumah ini? Kau tidak suka berada disini?”
“Tidak..”
“Jadi kenapa kau mabuk di rumahku?!”
Keheningan menjalar, kemudian Rita menyaksikan laki-laki itu berbalik pergi meninggalkannya. Rita baru dapat bernafas lega saat Jim menghilang di atas tangga. Namun itu tidak berakhir begitu saja, keadaan tidak berbaik hati padanya. Tengah malam ketika Rita berbaring menyamping, teriakan Jim dari lantai bawah membuatnya terjaga sepanjang malam. Laki-laki itu melempar sesuatu hingga Rita mendengar suara pecahan lainnya dari arah kamar mandi. Tangannya meremas erat seprai, kedua matanya terasa perih dan ia mengedipkan kelopak matanya berkali-kali, tapi malam itu terasa panjang dan semakin panjang, sementara ia terus dilanda oleh ketakutan hingga pagi hari.

KAMU SEDANG MEMBACA
PUNISHMENT
Loup-garouRita Foster menjalani kehidupan pernikahan yang sempurna bersama Jimmy Foster - Jim. Sejauh ini semuanya berjalan mulus hingga suatu hari ia menatap keluar jendela dan membayangkan kehidupan yang berbeda.. Dari balik kaca jendela, Louise Paige suka...