Bagian 20

71 15 1
                                    

Seseorang yang berdiri di depan pintu rumahnya adalah pria berkulit hitam dengan tinggi sekitar 170 sentimeter dan memiliki sepasang mata cokelat yang hangat. Aksen texasnya yang kental terdengar familier, dan Rita sudah dapat menebak sebelum pria itu memperkenalkan dirinya.

“Detektif Sanders Clooney dari kepolisian Corolado, saya yang menghubungi Anda siang kemarin. Keberatan jika saya masuk?”
Rita membuka pintu lebih lebar, berpikir bahwa pria itu hadir bersama rekannya yang lain, namun detektif Clooney benar-benar sendirian. Pakainnya sedikit terlalu formal, namun tatapannya cukup bersahabat. Tidak mau membiarkan pria itu menunggu lama, Rita membukakan pintu lebih lebar, menunggu hingga detektif Clooney sampai di tengah ruangan sebelum menutup pintu di belakangnya.

“Kau mau minum sesuatu?” tanya Rita. “Teh? Kopi?”

“Kopi kedengarannya enak, terima kasih.”

Pria itu mengekor di belakangnya ketika Rita pergi menuju bar untuk menyiapkan minum. Bahkan dari tempatnya berdiri tepat membelakangi pria itu, Rita masih sanggup mendengar suara entakan kakinya di atas lantai. Detektif Clooney sedang meneliti lusikan dan panjangan-pajangan antik di dinding seolah sedang menimbang nilainya persis ketika Rita hadir untuk membawakan minumannya. Pria itu berkeliling membawa cangkirnya ke sudut ruangan, mengamati setiap sudut tempat itu dengan cermat.

“Kau tinggal disini sendirian Mrs. Foster?”

“Tidak aku bersama Jim,” selama sesaat Rita lupa insiden yang merenggut nyawa Jim. Meniadakan laki-laki itu di dalam rumah masih terasa aneh. Jim tidak mungkin terlihat berbaring di atas kasurnya malam kemarin untuk kemudian pergi dan tidak pernah kembali keesokan harinya. Namun detektif Clooney enggan mempermasalahkannya. Laki-laki itu mengangguk-anggukan kepalanya sebelum mengajukan pertanyaan lain. Di balik sweter hitam tebal yang dikenakannya, ia merasakan kedua tangannya bergetar. Rita merasa canggung dengan cara yang aneh, ia bersikap paranoid terhadap pertanyaan-pertanyaan polisi itu seolah-olah ia sedang menunggu bom diledakkan di hadapannya.

“Dimana jasadnya sekarang?” tanya Rita kemudian, berusaha untuk meredam ketakutannya.

“Jasadnya masih diperiksa tim, kami akan memastikan prosesnya berlangsung cepat. Sementara itu, kami melarang keluarga korban untuk melihatnya.”

“Bagaimana itu bisa terjadi? Maksudku.. apa dia menabrak pohon itu begitu saja? Dia tidak melakukannya kan?”

“Kami melakukan tes untuk mendeteksi adanya kemungkinan alkohol di dalam darahnya dan memastikan korban tidak mabuk saat berkendara. Jalanan yang dilaluinya juga kebetulan sepi pengunjung, tidak ada yang tahu jika seseorang menabraknya, atau dia menghantam pohon. Satu-satunya harapan kami hanyalah kamera pengawas. Namun untuk mendapatkan rekamannya agak sulit, jaraknya cukup jauh dan saya sedang berusaha berbicara dengan kepala pos keamanan tentang hal itu. Semua masih dalam proses penyelidikan tahap awal. Hasil tes baru akan keluar satu atau paling lambat dua minggu.”

“Dua minggu?”

“Ya, teknologi kami terbatas untuk mendapatkan hasil DNA lebih cepat. Dugaan sementara, korban meninggal karena kecelakaan. Tidak ada motif, tidak ada pelaku yang bertanggujawab. Tapi kembali lagi, itu hanya dugaan. Saya benar-benar berharap Anda memiliki informasi yang lebih mendetail tentang hal itu mengingat Anda satu-satunya orang yang tinggal bersama korban sebelum kecelakaan itu terjadi.”

Rita menggelengkan kepalanya. “Aku tidak yakin itu akan membantu.”

“Tidak apa, kepolisian membutuhkan semua informasi untuk menemukan bukti. Apa yang kau tahu tentang itu Mrs. Foster? Kapan terakhir kali kau melihat korban?”

“Pagi, sebelum dia pergi bekerja,” Rita meremas keliman bajunya dengan jari-jarinya, berusaha keras untuk mengangkat pandangannya dari atas lantai. Ia masih bertanya-tanya apa pria itu akan mempertanyakan tampilannya yang kacau hari ini? Bagaimanapun, tampilannya cukup mendukung untuk seorang istri yang sedang dirundung duka akibat kehilangan suaminya. Rita merasa geli, ia benci menjadi sosok yang pernah dibayangkannya: seorang istri berhati dingin yang bahagia setelah kepergian suaminya.

“Apa saja yang dikatakan korban? Apa kau mengingatnya?”

“Dia hanya bilang dia ingin lembur.”

“Artinya dia tidak kembali selama lebih dari dua puluh empat jam, apa kau tidak berusaha menghubungi polisi?”

“Tidak, kupikir.. kupikir masalahnya tidak sebesar itu. Maksudku, aku khawatir tentu saja.”

“Dalam catatan panggilan yang kami temukan di ponselnya, ada sejumlah panggilan masuk dari telepon kabel. Kau menghubunginya sejak malam, bukan?”

“Ya.”

“Dan kami mendapati panggilan terakhir yang masuk ke ponselnya sekitar pukul dua. Kau pasti menyadari bahwa sesuatu yang tidak beres terjadi, bukan?”

“Ya, dia.. dia biasanya tidak pernah terlambat. Dia seharusnya sudah pulang sejak pukul sebelas. Aku tertidur saat itu, aku kelahan jadi aku tidak menunggunya, kemudian aku bangun dan dia tidak ada, jadi aku berusaha menghubunginya, tapi dia tidak menjawab. Kupikir.. kupikir dia memutuskan untuk menginap di tempat lain..” Rita menghentikan ucapannya seketika itu juga, tahu bahwa jika ia berbicara lebih jauh maka akan ada lebih banyak perangkap yang dibuatnya sendiri.

“Kenapa?”

Pertanyaan itu tak terhindarkan. Pada akhirnya, ia tidak dapat bersaksi tanpa membuka satu hal yang berharap dapat ditutupinya rapat-rapat.

“Kami bertengkar beberapa hari terakhir,” sahut Rita akhirnya. Ia tahu dari cara laki-laki itu memandanginya, bahwa Detektif Clooney hanya berusaha memancing Rita untuk mengungkapkan segalanya. Namun ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Rita tidak akan menyerah – tidak karena ia telah sampai sejuah ini.

“Teruskan Mrs. Foster, aku ingin mendengarnya!”

“Itu hanya masalah sepele.”

“Masalah sepele apa?”

“Jim pulang terlambat beberapa hari terakhir,” Rita berdalih. Dengan cepat mengedipkan matanya dan menjatuhkan tatapan ke atas lantai. “Dia melewati makan malam dan itu membuatku sedikit kesal.”

Detektif Clooney tidak berkomentar untuk kesaksian bohongnya, Rita merasa lega untuk itu, namun selama laki-laki itu masih menginjakkan kakinya di atas lantai yang sama, masalah belum sepenuhnya lenyap.

“Apa dia mengatakan hal lain padamu? Mungkin hal-hal yang menganggunya selama beberapa hari terakhir?”

“Tidak. Kupikir semuanya baik-baik saja. Dia jarang menceritakan masalah pekerjaannya dan semuanya memang baik-baik saja sampai hari itu.”

“Kau yakin dia tidak pernah menyebutkan satu nama atau seseorang yang mungkin terlibat dengannya beberapa hari belakangan? Masalah yang menimpanya, baik itu masalah finansial, hubungan sosialnya atau masalah pekerjaan?”

“Tidak,” sahut Rita dengan yakin.
Detektif Clooney kembali mengitari ruangan, kali ini laki-laki itu berhenti di depan lukisan wanita dengan jubah hitam yang dipajang di dinding.

“Apa pekerjaanmu, Mrs. Foster?”

“Aku tidak bekerja.”

“Maksudmu kau berada di rumah ini, sendirian?”

“Ya.”

“Tidak ada seseorang yang membantumu mengurus rumah ini?”

“Kami membayar seorang tukang kebun pada hari libur untuk memotong rumput, hanya itu.”

“Apa yang biasa kau lakukan disini? Apa kau sering keluar akhir-akhir ini?”

“Hanya beberapakali, jika aku memiliki urusan di luar.”

Detektif Clooney berbalik, menatapnya lurus. “Maaf, urusan apa?”

“Kelas.”

“Kau bersekolah?”

“Ya aku mengambil studi setiap hari kamis.”

Pria itu kembali mengangguk-angukkan kepalanya. “Aku tahu ini sulit untuk diterima oleh keluarga korban,” katanya. “Bagaimanapun, aku berusaha menemukan memastikan kecelakaan itu bersih. Maaf menganggu waktumu ma’am dan terima kasih untuk kopinya. Mungkin aku akan datang lagi jika membutuhkan informasi lain.”

Pria itu meletakkan gelas kopinya di atas meja, kemudian berjalan menyusuri ruangan menuju pintu keluar. Rita mengekor tepat di belakangnya, merasakan wajahnya pucat seiring berjalannya waktu. Tapi bagaimanapun, Detektif Clooney tidak boleh menyadarinya, ia tidak diizinkan untuk meninggalkan kesan yang akan memancing kecurigaan.

“Kapan jasadnya dikembalikan?” tanya Rita ketika mereka sampai di ambang pintu.

“Mungkin dalam dua atau tiga hari, kami mengusahakan secepatnya.”

Percakapan berakhir disana, dan beruntunglah karena pria itu segera menghilang sehingga Rita dapat bernafas lega. Ia menghabiskan sisa harinya di dalam kamar dan lagi-lagi mengurung dirinya disana. Rita hanya menyantap roti selai sejak pagi tadi, hingga sore menjelang, ia benar-benar merasa kelaparan. Di sudut lain seseorang sedang mengawasinya di belakang jendela. Itu Louise. Rita ingin menyapanya, atau sekadar melambaikan tangan padanya, namun Louise berbalik dengan cepat dan menghilang ke sudut lain.

Rasanya Rita baru mengedipkan mata beberapakali sebelum masalah berikutnya hadir. Kali ini Helen. Wanita itu mengendarai sedannya memasuki halaman rumah dan keluar dari dalam mobil dengan marahnya. Wajahnya tampak pucat. Ia tidak mengenakan polesan make up tebal kali ini. Rita menyeret tubuhnya meninggalkan jendela, ia menuruni tangga dengan cepat dan sebelum ia mencapai ambang pintu, suara ketukan yang keras terdengar.

“Itu tidak benar, kan?” tanya Helen saat Rita muncul di depan wajahnya.

Rita menggeser pintu lebih lebar, membiarkan Helen menyeruak masuk tanpa bersusah payah dan mondar-mandir di sekitar ruangan seperti orang yang gelisah.

“Itu tidak benar, kan?”

Rita menatapnya dari sudut ruangan, terpojok seperti seonggok kotoran dalam rumah sebesar itu.

“Aku tidak tahu,” ia mencoba angkat bicara, suaranya pelan dan serak. Tidak lama lagi, Rita harus menghadapi keluarga Jim lainnya. Mereka akan bermunculan seperti badai yang dalam sekejap memporakporandakan seisi rumah.

“Bagaimana kau tidak tahu!” teriak Helen.

“Mereka menahannya untuk di autopsi. Aku tidak diizinkan untuk datang dan melihatnya.”

“Kenapa kau tidak menghubungiku?”

“Aku takut, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.”

“Ini konyol. Ini konyol,” Helen mengulangi kata yang sama berkali-kali sembari mondar-mandir mengitari ruangan. Keberadaannya membuat Rita merasa sesak, namun memintanya pergi juga nyaris mustahil. Akhirnya Rita memutuskan untuk menempati sofa di dekat perapian dan tertegun hingga masalah berikutnya muncul bersamaan dengan kehadiran orangtua Jim di dalam rumah itu.

“Bagaimana itu bisa terjadi?” tanya Danielle Foster yang menempati sofa panjang di seberangnya.

Malam itu Richard, Danielle dan Helen hadir secara tak diundang dan menempati ruang tengah yang tiba-tiba terasa menyesakkan. Menghadapi kebisuan Jim di meja makan adalah satu masalah, tapi menghadapi tiga Foster lainnya, tepat di bawah atap rumahnya, diam dan membiarkan mereka terus menerus mendesaknya, membuat Rita ingin muntah seketika itu juga. Namun ia tidak melakukan apapun sejak kemunculan Helen. Rita berusaha menguatkan dirinya karena menghindari situasi itu nyaris tidak mungkin dan kali ini ia harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan mereka. Satu bagian dalam dirinya memintanya untuk pergi, satu bagian yang lain memaksanya untuk tinggal dan berpura-pura. Rita dapat melakukannya, toh selama ini ia hidup dengan kepura-puraan. Rumah itu adalah hadiah pernikahan mereka, seisi barang yang mengisinya juga dibelikan Jim untuknya, namun ia terus berpura-pura bahwa semua itu miliknya. Ia terus berpura-pura bahwa pernikahannya baik-baik saja hingga Rita bertemu David dan tiba-tiba semuanya berubah.

“Pagi itu aku masih melihatnya,” ucap Rita dengan pelan. “Kami masih berbicara di meja makan. Dia bilang.. dia bilang dia ingin lembur.”

“Sesuatu pasti terjadi,” ujar Helen, merasa enggan untuk memercayai Rita. “Dia tidak menjawab panggilanku ketika aku menghubunginya dua minggu yang lalu. Kau ada bersamanya saat itu,” Helen mengangkat jarinya, dengan tegas menudingkannya ke arah Rita.

“Apa maksudmu?”

“Dia tidak berbicara padaku sejak makan malam itu, dia tidak berusaha menghubungiku. Dia tidak pernah seperti itu sebelumnya. Kau sebaiknya bicara apa yang terjadi padanya karena aku tidak suka mendengar adikku begitu mabuk untuk mengendara hingga dia menabrak pohon dan menyebabkan kematiannya!”

“Aku tidak tahu!” Rita nyaris berteriak. Kini setiap pasang mata di ruangan itu menatapnya – mengintimidasinya dengan cara yang tidak menyenangkan. Ia telah membayangkan hal ini, perdebatannya dengan Helen dan tuduhan-tuduhan keluarga Foster padanya. Tidak ada orang di ruangan itu yang mendukungnya dan ia – seperti yang selalu dirasakannya, hanyalah seonggok kotoran yang meski disingkirkan.

“Apa kau berpikir ini kesalahanku?”

“Ya, sesuatu pasti terjadi pada adikku dan kau satu-satunya orang yang tahu!”

Untunglah saat itu Richard maju untuk menengahi mereka. Ia menarik Helen mundur, meskipun itu hanya masalah waktu sebelum mereka kembali mengintimidasinya. Rita merasa waktu bergerak lambat di sekitar mereka. Keluarga Foster tidak akan berhenti sampai mereka mendengar apa yang ingin didengarnya, jadi Rita memutuskan untuk mundur. Jika Jim ada disana, laki-laki itu akan menariknya keluar. Berpikir bahwa perdebatan itu hanya akan berakhir sia-sia, Rita memutuskan untuk menghindarinya. Ia mejauhi keluarga Jim sebisa mungkin, mencari-cari tempat di rumah seluas itu yang masih tersisa untuknya. Namun disanalah ia – terintimidasi di dalam rumahnya sendiri. Rita memiliki hak untuk mengusir mereka, bagaimanapun rumah itu milik Jim dan diwariskan untuknya dan karena nama Jim secara otomatis bergeser dari hak kepemilikian rumah itu karena peristiwa yang merengut nyawanya, Rita satu-satunya orang yang berhak atas rumah itu tidak peduli jika keluarga Foster akan mencecarnya habis-habisan. Ia telah menunggu waktu yang lama untuk memasang bom di tengah-tengah mereka, sekarang adalah saat yang tepat.

--

PUNISHMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang