Bagian 23

70 16 1
                                    

Louise berdiri di halaman belakang rumahnya, mengumpulkan kayu bakar dan menumpuknya di dalam tong besar kemudian menumpahkan satu botol penuh bensin ke dalam sana dan menyulutkannya dengan api. Lidah api yang tajam menyebar dengan cepat, merambat dan menciptakan api yang lebih besar kemudian mengepulkan asap hitam tebal ke wajahnya. Louise menyingkir dan menunggu hingga api besar itu jinak dengan sendirinya. Sementara itu, angin mendesau dari utara, menyapu dedaunan kering di pekarangannya. Dahan panjang pohon tinggi mengetuk atap rumahnya, menyadarkan Louise dari lamunannya. Di bawah kesejukan yang dapat ditawarkan pekarangannya pada pagi itu, Louise menumpuk semua barang-barang milik Ed: pakaian dan buku-bukunya yang tersisa. Ia melemparkan semua itu satu persatu ke dalam tong besar dan membiarkan api melahapnya hingga menjadi abu. Louise melakukannya dengan cepat, nyaris tanpa keraguan.

“Hei! Hei! Berhenti!”

Suara mesin mobil yang bergemuruh di belakangnya muncul bersamaan dengan kehadiran seseorang. Ia berteriak ke arah Louise, menerjang Louise ketika Louise hendak melempar barang yang tersisa ke dalam tong.

“Apa yang kau lakukan?! Sialan! Louise! Jangan!”

Ed menariknya mundur, mencegah Louise saat ia berusaha melempar barang terakhir miliknya hingga Louise mengamuk. Ia meronta-ronta dan berteriak saat berusaha melepaskan diri dari Ed.

“Pergi kau, berengsek! Kenapa kau datang!”

“Berhenti! Berhenti! Sialan!”

“Kau berengsek! Berengsek!”

Louise terus menyumpah, mengarahkan sisa tenaga yang dimilikinya untuk melepas diri dari Ed. Suara lidah api yang menjilat kayu bakar itu berdengung di telinganya, sementara kedua matanya mulai basah dan tubuhnya terus memberontak. Louise menghantamkan kepalanya pada wajah Ed, merasakan darah jatuh dan mengalir di lengannya, kemudian ia menggigit tangan Ed yang menahannya. Louise mendengar teriakan, makian, tapi ia pernah mendengar yang lebih buruk dari itu. Ia menyingkir dari Ed, namun tidak cukup cepat karena laki-laki itu menangkapnya. Louise terpeleset jatuh, wajahnya menghantam tanah dan tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

..

Ketika Louise terbangun, segalanya tampak buram. Namun ia dapat mengenali tempat itu, aromanya yang khas, dan suasananya. Tahun-tahun yang dihabiskannya di dalam rumah itu, sendiri dan kesepian, telah menajamkan seluruh indra-indranya, membuatnya merasa akrab dengan setiap sudut tempat di sana. Sebuah kursi kayu yang hampir reyot ada di seberang meja, kemudian karpet flanel merah, sofa berwarna biru tua yang ditempatinya, kemudian hiasan yang dipajang di dinding. Sebelumnya ada tiga bingkai, kini yang tersisa hanya dua. Ia tidak merasa malu sedikitpun ketika bangkit dari tempatnya karena hal itu. Tapi Ally telah menahannya, mendorong Louise agar tetap menyandarkan kepalanya di atas sofa. Louise bisa mengenali wangi parfum Ally, wanginya selalu mencolok, sementara gambaran sosok Ed yang buyar sebelumnya kini mulai terlihat jelas. Ia tidak sedang memimpikan laki-laki itu, ia hadir di sana, mondar-mandir di belakang meja dapur sembari menekankan kain basah ke hidungnya. Lingkaran gelap berwarna merah menyisakan bekas di atas kain itu, Ed berdarah. Louise merasa bangga mengetahui ia mampu menyakiti Ed.

“Sialan, Louise! Apa yang kau lakukan?” pertanyaan itu bukanlah kalimat yang ia harap akan didengarnya dari Ally. Sementara itu Ed tidak berkomentar apapun. Ia merendam kainnya di atas baskom berisi es, membersikan noda darah yang tertinggal di sana kemudian menekankannya sekali lagi ke hidung. Tampaknya kesadaran Louise tidak cukup menarik untuk menyita perhatiannya.

“Kenapa dia masih disini?” tuding Louise, kali ini tatapannya tertuju langsung pada Ed.

Kini laki-laki itu menatapnya, dengan marah meninggalkan meja dan berjalan mendekati Louise.

“Mengapa aku disini? Kau bilang mengapa aku disini? Lihat perbuatanmu!”

“Kau pantas mendapatkannya.”

Ed mendengus, Ally mencegah Louise ketika Louise berniat menerjang laki-laki itu. Kini Louise mendapat pelototan sengit dari Ally.

“Apa yang ingin kau lakukan? Sialan, Louise! Jangan buat onar!”

“Tutup mulutmu! Aku tidak ingin mendengarmu dan aku ingin Ed pergi sekarang. Bisakah kau usir dia dari sini? Aku tidak ingin melihat wajah pecundangnya lagi!”

“Ini juga rumahku, Demi Tuhan! Kau sakit dan aku cukup iba untuk membiarkanmu menempati rumah ini! Jika aku mengajukan pembagian yang adil, dapat kupastikan kau sudah menjadi gelandangan. Sekarang kau membakar barang-barangku! Kau pikir apa yang kau lakukan? Kenapa kau tidak pernah berterima kasih?”

“Apa! Berterima kasih? Untuk apa? Untuk gadis pelacur yang kau setubuhi! Kau iblis, kuharap kau pergi ke neraka!”

“Sshhh.. Lou!” bentak Ally.

“Tidak! Jangan hentikan aku! Pria ini, dia pantas mendapatkannya. Dia menghancurkan hidupku dan sekarang dia memintaku untuk berterima kasih.”

“Louise, diam!”

Ed berjalan mengitari ruangan kemudian meraih mantelnya dan mengenakannya dengan cepat.

“Aku tidak ingin terlibat dengan wanita gila ini, sebaiknya kau urus dia atau aku akan meminta pengacaraku untuk mengusirnya dari tempat ini.”

“Kau berengsek!” teriak Louise dengan kasar, namun Ed telah berjalan ke ambang pintu. Tanpa berbalik menatapnya laki-laki itu pergi dan membanting pintu dengan kasar.

“Kenapa kau membiarkannya pergi?” Louise memelototi Ally. “Kau harus menahannya! Ally!”

“Lalu apa? Kau ingin aku meneriakinya sampai kau puas? Kau ingin aku memukulnya? Meludahinya?” Kata-kata Ally membiusnya, membuatnya bisu untuk sementara. “Louise dia benar, kau seharusnya berpikir kalau saja dia mengajukan pembagian harta secara adil, kau tidak akan mendapat rumah ini. Jika kau masih ingin menempati rumah ini, kusarankan sebaiknya kau berdamai dengannya dan jangan lakukan hal-hal bodoh.”

“Apa yang kau bicarakan?”

“Tidak, apa yang kau bicarakan?!” lempar Ally. “Dengarkan aku! Aku berbicara dengannya dan dia sangat menyesal tentang kau. Dia menyesali perbuatannya tapi dia juga tidak bisa kembali. Situasinya sudah berubah, dan sebentar lagi dia akan menjadi ayah dari dua anak. Dia tidak akan meninggalkan istrinya, tapi dia minta maaf tentangmu. Kau seharusnya berbicara dengannya baik-baik.”

“Omong kosong.”

“Aku tidak peduli pendapatmu, aku mengatakan yang sebenarnya. Sekarang kau ingin aku pergi, aku pergi. Tapi tolong, jangan buat kekacauan lain atau kau akan menyeret kita ke dalam masalah besar.”

Louise hendak mengatakan bahwa Ally sebaiknya tinggal. Namun adiknya terlanjur kecewa dengan sikapnya dan memutuskan untuk pergi. Mobil yang dikendarai Ally baru saja melintas pergi ketika Louise bergerak keluar, duduk di atas tangganya dengan kedua tangan terlipat. Kepalanya terasa pening dan berdenyut-denyut, obat pereda sakit kepala saja tidak cukup. Ia butuh sesuatu yang lebih keras dari itu, sesuatu yang lebih keras dari alkohol. Namun jurnalnya yang terbengkalai menyita perhatian Louise malam itu. Ia mengawasi Rita Foster dari belakang jendelanya, melihat wanita itu tengah duduk di belakang balkon sembari menikmati minumannya. Angin yang menerpa wajahnya membelai rambutnya dengan lembut. Kali ini gaun sutra tipis berwarna putih membalut tubuhnya, menyisakan sedikit bagian tubuhnya untuk diekspos. Rita jarang terlihat dengan tampilan itu. Wajahnya semakin asing, kedua matanya gelap dan Louise merasa perut Rita sedikit membuncit.

Louise melukiskan pemandangan itu dengan cepat ke dalam jurnalnya, ia tidak sabar untuk memberitahu Dr. John tentang apa yang dilihatnya. Ia memeriksa jadwal terapinya, masih ada satu minggu sebelum pertemuan selanjutnya. Masih ada banyak waktu untuk kelanjutan kisahnya.

--

PUNISHMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang