Bagian 3

295 23 2
                                    

Hanya butuh beberapa hari - bahkan mungkin beberapa jam untuk membiasakan diri dengan kemewahan yang ditawarkan Jim. Kali pertama Jim membawanya ke dalam rumah itu, Rita benar-benar terpukau dengan kemewahannya. Tidak seperti apartemen lamanya, rumah itu menawarkan kenyamanan yang sebelumnya tidak ia dapatkan. Segalanya diatur dengan rapi di sana: mesin pemanas air, sebuah bathup, kaca-kaca besar di ruang ganti pakaian, sebuah sekat kecil di lantai atas dengan kursi yang mengarah ke jendela yang terbuka, pemandangan indah di balik kaca jendela. Bahkan, Jim memiliki perpustakaanya sendiri. Keluarga Foster telah memastikan rak-raknya terpenuhi oleh buku-buku. Karena Rita tidak menaruh ketertarikan besar pada kegiatan membaca, buku-buku itu akhirnya tak tersentuh, berdiri di tempatnya selama berbulan-bulan dan diselimuti debu. Perpustakaan itu hanya digunakan Jim sebagai tempat bekerja. Sisanya, ada begitu banyak ruangan kosong yang tak terpakai. Rumah itu dapat dikatakan terlalu besar untuk ditempati dua orang, namun Jim menolak untuk menjualnya dan membeli rumah yang lebih sederhana. Sama seperti barang-barang yang mengisi sebagian besar ruang di dalam bangunan itu, rumah itu merupakan aset keluarga Foster.

Richard, ayah Jim, tidak kekurangan selera seni. Ia mencintai segala keindahan bentuk dan menganggapnya sebagai aset yang tak ternilai. Jim pernah mengatakan bahwa ayahnya benar-benar merangkak sendirian untuk membangun semua kekayaan yang dimilikinya saat ini. Laki-laki itu seorang pekerja keras dan tidak ingin siapapun menyia-nyiakan hasil kerjanya. Ia telah menetapkan aturan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota keluarganya dan menentang siapapun yang berniat melanggar. Tampaknya Jim dibesarkan dengan didikan keras. Kelembutannya adalah sesuatu yang dipertanyakan Rita. Bagaimana mungkin seseorang yang begitu romantis dapat menyeretnya ke dalam lingkaran penuh aturan ini. Bagaimanapun, kebisuan telah menjawab segalanya.

Dalam keheningan yang kosong di ruang duduknya, Rita menatap jam dinding, memerhatikan jarum jam bergilir memutar kemudian ia memeriksa ponselnya. Jim pergi beberapa menit yang lalu. Segera setelah ban rodanya melesat meninggalkan halaman rumah, Rita membenahi bekas peralatan makan Jim dan meletakkannya di bak pencuci piring. Ia menuang poci teh untuk dirinya kemudian duduk sembari memandangi ponselnya.

Tiba ketika keheningan itu menyelimutinya, ia selalu merasa mendengar suara angin yang menderu-deru. Dari balik kaca jendela, ia menyaksikan belahan langit utara meninggalkan wilayah itu dan sebagai gantinya musim panas telah merangkul setiap sudut jalan. Langit-langit cerahnya tampak kosong, jendela-jendela rumah di seberang taman tertutup rapat. Rita dapat mencium aroma mangnolia yang khas dari kebunnya, aroma yang mengingatkannya tentang perkebunan di alaska tempat dimana ia lahir dan di besarkan. Sepanjang musim kemarau, Rita menghabiskan waktunya untuk melatih kemampuan baletnya. Dapat dikatakan ia telah mendikasikan hidupnya di teater. Kemampuannya mengungguli seluruh balerina yang ada, dan panggung adalah hidupnya. Bertahun-tahun ia merasakan cahaya lampu menyorot wajahnya sementara tubuhnya bergerak dengan leluasa di atas panggung. Rita menyukai permainan musik dalam setiap tariannya, mempelajari gerakan-gerakan rumit dan ketegangan yang dialaminya setiap gladi bersih.

Pelatihnya pernah mengundang Rita makan siang pada musim panas tahun lalu. Itu adalah kali pertama sekaligus kali terakhir ketika Rita menemui seseorang tanpa sepengetahuan Jim. Tapi ia dan Harold sudah seperti keluarga. Harold mengatakan maksudnya dan membujuk Rita untuk kembali bermain di panggung teater. Rita tidak pernah mengakuinya, tapi ia adalah aset besar Harold. Penampilan pertamanya dalam teater yang membawakan kisah klasik ‘putri angsa’ berhasil membawa keuntungan besar. Sejak saat itu, Harold sering menampilkannya sebagai peran utama pada proyek besarnya. Rita mendapat bayaran yang layak, ia diberi tempat tinggal dan biaya kehidupannya ditanggung oleh Harold – setidaknya sampai Rita bertemu Jim.

“Sayang sekali suamimu memiliki terlalu banyak uang untuk diamburkan,” kata Harold dalam pertemuan mereka siang itu.

Rita baru saja memesan burger cheese ukuran sedang untuk dirinya, sedangkan Harold hanya memesan kopi karamel. Mereka duduk dan mengobrol selama beberapa jam dan dalam setiap kesempatan yang ada Harold selalu membujuknya untuk kembali. Namun, seiring berjalannya waktu laki-laki itu menyadari bahwa Rita tidak akan mengubah keputusannya hingga Harold menyerah dan memutuskan untuk sekadar melewati obrolan santai untuk melepas kerinduan semasa mereka masih bekerja di belakang panggung yang sama.

“Bagaimana Nina?”

Seorang balerina lainnya yang dinikahi Harold pada akhir musim semi dua tahun yang lalu, selalu tampil mengesankan di atas panggung. Nina baru benar-benar berhenti dari panggung ketika mengetahui dirinya tengah mengandung anak Harold. Samar-samar Rita masih mengingat bayi laki-laki yang sehat itu. Warna matanya persis seperti Harold, namun kulitnya sepucat Nina.

“Semuanya baik-baik saja. Bagaimana denganmu? Apa kau tidak merindukan panggung?”

Rita menyeka sisa saus di sudut bibirnya. Ketika seorang pelayan baru saja membawakannya segelas air lemon dingin, Rita langsung menenguknya dengan bersemangat. Nafsu makannya tidak pernah sebesar itu ketika berada di rumah. Harus ia akui, Rita merindukan hidangan-hidangan di kedai-kedai kecil favoritnya. Jim, entah bagaimana, menaruh ketertarikan besar pada makanan cina. Laki-laki itu memenuhi kulkas mereka dengan makanan cina dan Rita nyaris kehilangan selera.

“Aku akan terbiasa.”

“Kau kelihatan berbeda,” komentar Harold.

“Apa?”

Laki-laki itu menunjuk rambut Rita. “Sejak kapan kau menyukai potongan rambut pendek dan.. pirang?”

Secara impulsif, Rita menyentuh rambutnya. Potongan rendah di atas bahu adalah ide Jim dan seolah itu belum cukup buruk, laki-laki itu meminta Rita untuk mengubah warna rambutnya menjadi pirang sempurna. Rita menyukai rambut gelap, Jim tidak menyukainya, jadi Rita harus mengubahnya.

“Ini ide Jim.”

“Suamimu memiliki selera yang tinggi. Kau seharusnya melihat dirimu.” Kemudian situasi canggung itu terjadi begitu saja ketika Harold mencondongkan tubuhnya ke arah Rita, dengan sengaja memojokkan Rita di tempatnya.

Laki-laki itu, yang penuh dengan guyonan konyol, tiba-tiba menjadi begitu serius dan Harold benar-benar menjadi seseorang yang berbeda. Mungkin, karena mereka sudah tidak bekerjasama lagi untuk waktu yang cukup lama.

“Maaf jika aku bertanya, tapi Rita.. apa kau bahagia dengan pernikahanmu?”

Rita terpaku di kusinya, bingung untuk memberi jawaban. Pendekatan Harold tidak pernah berubah. Laki-laki itu tidak akan kesulitan untuk mengungkapkan kata-katanya dan cara terbaiknya adalah menyentuh inti dari topik itu secara langsung. Tapi pertanyaan itu masih menyisakan celah hingga sekarang. Rita memikirkannya nyaris setiap malam, hingga tanpa sadar tahun telah berganti dan semakin ia memikirkannya, semakin ia larut.

Ponselnya kemudian berdering, dan panggilan yang ia nanti-nantikan akhirnya muncul. David Kovacs muncul dalam panggilan-panggilan di ponselnya dalam beberapa hari terakhir. Kedekatan mereka tak terhindarkan. Laki-laki itu, yang hanya berusia satu tahun lebih muda darinya, adalah penari balet andalan Harold di panggung yang sama sebagai aktor. Rita, David dan Harold dapat dikatakan menciptakan sebuah keajaiban di atas panggung. Ketertarikannya pada David bukanlah sesuatu yang dirasakannya dulu ketika mereka masih berada di panggung yang sama. David tidak lain seperti penari balet lainnya, rekan kerja yang tidak akan dipikirkan Rita ketika ia hendak pergi tidur.

Segalanya berubah persis sejak satu bulan yang lalu ketika mereka secara tidak sejanga bertemu di jalan. Hari itu, tepat di kamis pagi, Rita baru saja menghadiri kelasnya ketika David melihatnya berkeliaran di sekitar halte. Awalnya, laki-laki itu mengatakan nyaris tidak mengenali Rita dengan tampilan barunya, namun satu hal yang diketahui Rita bahwa tidak ada yang benar-benar berubah dari David. Pria pendiam itu dikenal memukau. Mereka jarang mengobrol kecuali karena pekerjaan. Dan siapa sangka David benar-benar mengikutinya, diam-diam menghubungi Rita melalui telepon dan mengatakan keinginannya untuk bertemu secara gamblang.

Awalnya Rita menolak. Gagasan untuk meninggalkan rumah dan menemui laki-laki lain adalah hal konyol yang akan memicu amarah Jim. Kemudian pemikiran itu berubah beberapa minggu yang lalu. Dengan alasan konyol ia berpikir bahwa (mungkin) dirinya membutuhkan suasana baru. Rita dapat menunda kesenangannya selama satu pekan untuk menemui David. David mengusulkan pertemuan di restoran berbintang, namun Rita menolaknya dan mengatakan bahwa tempat itu terlalu mencolok mengingat seseorang di dalam restoran itu bisa saja mengenali wajahnya. Jadi mereka pergi ke sebuah restoran kecil, sangat jauh dari keramaian kota dan hanya menyajikan makanan yang bisa mereka dapatkan dengan harga murah. Setiap kali pulang terlambat, Rita memberi alasan pada Jim bahwa jadwal kelasnya tertunda sehingga ia harus pulang lebih lambat. Menghadiri sebuah perkumpulan selalu menjadi alasan yang tepat untuk menghindari kecurigaan Jim. Lagipula, Rita tidak memiliki tujuan lain selain mengobrol dengan teman lamanya – setidaknya untuk saat itu sebelum segalanya berubah.

“Apa yang kau katakan pada suamimu?” tanya David pada pertemuan pertama mereka.
Rita merasa takut, disisi lain merasa tergugah. Perselingkuhan tidak pernah terbesit dalam benaknya. Ia mencintai Jim, menganggumi laki-laki itu segenap hatinya. Pernikahan mereka begitu sempurna dan Jim sangat berhati-hati dalam memperlakukannya. Rita juga memercayai Jim: cara laki-laki itu menjaganya, memastikan kebutuhannya terpenuhi, menyenangkannya di atas ranjang. Jim adalah pasangan yang sempurna – tipikal laki-laki yang diharapkan wanita manapun. Untuk satu alasan konyol, Rita kesulitan membayangkan Jim berhubungan dengan wanita lain selama pernikahan mereka. Gairah laki-laki itu tidak pernah surut, caranya memandangi Rita masih sama seperti perjumpaan mereka dan Jim tidak akan berpikir duakali untuk memberinya kesenangan. Tapi Jim memiliki aturan, sebuah kesepakatan mutlak yang tidak harus dipatuhinya jika ia hidup bersama David.

Setelah mengobrol cukup banyak, sikap David terkesan konyol dan terbuka. Jauh dari kesan pertama ketika mereka masih menjadi rekan kerja, laki-laki berdarah prancis itu sama sekali bukan pendiam. David memiliki selera humor yang tinggi, tampang yang menarik, keterbukaannya yang membuat Rita nyaman dan yang selalu dirindukannya adalah aksen prancis-nya yang kental.
David memberitahunya bahwa laki-laki itu lahir dan dibesarkan di Prancis selama belasan tahun. Ia menempuh studi di sana sebelum memutuskan untuk pindah ke Denver dan memulai perjalanan kariernya sebagai penari balet. Hubungan David dan Harold sudah cukup dekat. Harold adalah pembimbingnya, dan David telah menjadi penari favoritnya selama bertahun-tahun. Laki-laki itu memiliki pengalaman menari di atas panggung selama belasan tahun dan kemampuannya sudah tidak lagi dipertanyakan. Kemudian Harold menemukan Rita, namun posisi David tidak berubah. Ia tetap menjadi penari panggung yang dipercayainya. Bahkan setelah Rita hengkang bertahun-tahun lalu, hubungan David dan Harold masih berlangsung mulus.

“Semuanya berubah sejak kau meninggalkan teater,” aku David terang-terangan. Rita merasakan wajahnya memerah, hawa panas menjalar naik ke punggungnya ketika laki-laki itu meletakkan satu tangannya di atas punggung tangan Rita. Sikapnya berubah konyol. Ia telah melakukan sebuah kesalahan dengan memikirkan David ketika bercinta dengan Jim semalam. Namun, Rita tidak pernah mencapai batas pikiran liarnya yang seperti itu dan ada sebuah kepuasan tersendiri, hasrat yang mendorongnya untuk masuk lebih jauh.

Bermandikan cahaya lampu-lampu redup di restoran itu, Rita dapat menyaksikan David mencondongkan tubuhnya, berdeham ketika mereka dilanda keheningan untuk waktu yang lama.

“Sebaiknya kita bertemu lagi.”

“Apa?” Rita nyaris menertawai dirinya. Ia merasa semakin tua namun bertingkah seperti remaja konyol yang sedang kasmaran.

“Aku selalu menerima usulanmu untuk bertemu di tempat ini, aku juga ingin mengusulkan sebuah tempat yang bagus.”

“Tempat bagus apa?”

“Kau tahu Sloan Lake? Itu tempat yang indah.”

Sebelah mata David berkedip dan Rita tidak bisa menahan seringainya.

“Ya, itu tempat yang indah.”

“Kita bertemu di sana besok.”

“Tidak bisa besok. Minggu depan.”

“Oke.”

Pertemuan-pertemuan selanjutnya menjanjikan sesuatu yang berbeda. Ada banyak alasan untuk menghindari pertanyaan Jim. Tujuan utamanya merupakan sesuatu yang patut dipertanyakan. Mulanya ia hanya bermaksud untuk mengobrol kemudian tingkahnya berubah aneh. Rita dapat menyadarinya meski itu terasa sangat wajar. Ia tidak pernah begitu bersemangat ketika memoleskan lipstik di bibirnya, atau memberi perona wajah yang mencolok. Jim akan menertawai penampilannya, tapi laki-laki itu tidak akan melihat Rita dengan tampilannya yang sekarang. Memilih pakaian berwarna gelap tiba-tiba menjadi kegemarannya. Rita menyukai baju berlengan panjang dengan lekukan pinggang yang pas. Ia memadankannya dengan stocking yang membentuk struktur kaki jenjangnya. Orang-orang mengatakan Rita memiliki sepasang kaki yang indah, Rita jarang menunjukkannya meskipun ia sangat menikmati saat-saat ketika memamerkannya di hadapan Jim. Baginya itu memberinya sedikit kekuasaan yang tidak akan ia dapatkan di dalam rumah itu.

Untuk menutupi pakaiannya, Rita menggunakan mantel dan ia berencana untuk melepaskan mantelnya di hadapan David. Rambut pirangnya tidak cukup membantu, namun mengubah warna rambut dan strukturnya hanya akan memicu kecurigaan Jim, jadi Rita memutuskan untuk menggelungnya, membuat tampilannya seindah mungkin. Ia jarang menggunakan perona wajah, hari ini ia menggunakannya hingga hal itu membuatnya merasa geli. Anting-anting yang digunakannya saat remaja masih tersimpan di dalam kotak perhiasannya. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Rita membuka kotak itu, mengeluarkan anting-anting itu dari dalam sana dan menjejalkannya satu persatu hingga ia menemukan anting yang dirasanya pas dengan penampilannya.

Tepat pukul sepuluh, Rita berjalan kaki keluar dari rumahnya dan menyusuri empat blok sebelum menemui David di tikungan. Laki-laki itu mengendarai sedan hitam dan memarkirnya di sembarang tempat. Kaca jendela mobilnya bergerak turun dan wajah David muncul di belakang setir. Ia menggunakan pakaian kasual dengan kemeja putih dan tampak baru saja mencukur rambut di rahangnya. David melambai ke arah Rita, tersenyum ketika wanita itu bergegas untuk bergabung dengannya ke dalam mobil.

“Kau siap?”

“Ya,” Rita melepas kaca matanya kemudian melirik David. Laki-laki itu beraroma krim cukur yang menyenangkan. Kilat geli di matanya adalah sesuatu yang memukau. Samar-samar Rita merasakan jari-jarinya bergetar dan ia merasa geli dengan dirinya hingga melupakan rencana untuk melepas mantelnya.

“Maaf,” kata Rita. “Sebaiknya jangan terlalu menarik perhatian. Kita bisa menghindari tempat-tempat yang biasa dilewati Jim jika kau tidak keberatan.”

“Tentu saja. Tunjukan saja aku arahnya.”

“Oke.”

“Kau gugup?”

Rita menggigit bibirnya yang kaku, merasakan detik bergerak lambat di sekitar mereka. Obrolan mereka tidak pernah secanggung itu sebelumnya, namun pertemuaan kali ini adalah sesuatu yang berbeda. Rita akan menempuh sebuah petualangan baru yang tidak pernah dirasakannya dan ia selalu bersemangat. Energinya bagaikan sebuah cawan yang kosong dan meminta untuk diisi. Rita selalu menggebu-gebu ketika hendak memulai sesuatu yang baru. Itu seperti sebuah mesin daur ulang yang mengatur suasana hatinya. Rita ingat pernah mengalami hal yang sama bersama Jim, namun itu sudah bertahun-tahun yang lalu dan ia nyaris melupakannya. Luapan emosinya kini tak terbendung. Ia begitu bersemangat hingga lupa diri.

“Santai saja,” David menyakinkannya sebelum menarik tuas persneling dan melajukan mobilnya di jalanan lepas.
Dari balik kaca mobil, angin kencang yang berkabut mengaburkan pandangannya. Rita menyaksikan jalanan bergerak meninggalkan mereka. Bangunan-bangunan tinggi yang tampak mencolok berada di kedua sisinya. Jalanan tampak ramai seperti biasanya, kota begitu bising dengan keributan lalu lintas, kemudian ia teringat malam kencannya bersama Jim.

Mereka telah melewati jembatan panjang untuk sampai di danau Sloan. Pemandangan kesibukan kota memudar digantikan oleh sesuatu yang jarang dijumpainya. Danau itu adalah tempat yang indah. Sebuah lokasi yang memberinya kesejukan yang berbeda. Angin dari utara menyapu lembut hamparan rumput di bawah kakinya, membelai air danau dan menciptakan gerakan lembut seperti menyapu air ke tepian. Seorang pengunjung lainnya berjalan di tepian danau sembari membawa seekor anjing bersamanya. Pemandangan itu mengingatkannya akan anjing rottweiler besar dipeternakan pamannya. Dulu Rita sering berjalan melintasi jalur panjang dan mengajak anjing milik pamannya berkeliling. Pagi sebelum cahaya matahari merangkak naik di atas kepala, anjing itu akan menyalak dengan berisiknya, kemudian mengejar-ngejar ngengat yang berkeliaran di pekarangan.

Sentuhan lembut angin kini menerpa wajahnya, membawa kilasan balik tentang ingatan-ingatan lama yang kabur. Belasan hal, mungkin puluhan, menyita perhatiannya, namun mengabaikan keberadaannya saat itu adalah sesuatu yang mustahil. Setiap momen seakan bergerak melampaui angin, meloncat pada kedalaman dirinya. Sesuatu yang mustahil nyatanya terjadi dan ia sedang memandangi danau sembari duduk berpaku di atas sikunya. Pikirannya menyelami sesuatu yang dalam hingga ia khawatir jika mereka tidak menemukan jalan kembali. Masih ada banyak pertanyaan yang tidak terjawab, obrolan-obrolan ringan yang masih terasa segar dalam ingatannya, juga rasa takut sekaligus keingintahuan yang besar. Seisi kepalanya seperti ratusan orang yang dikumpulkan dalam sebuah tempat: ramai dan bising. Sementara bibirnya membisu, nyaris tidak mengeluarkan sepatah katapun seperti malam yang kosong. Kemudian David meletakkan tangan di atas punggungnya. Sensasi asing itu mengejutkannya, membuatnya penasaran. Apa yang akan dikatakan Jim tentang hal itu?

“Beritahu aku apa yang kau pikirkan!” kata laki-laki itu, sekilas meliriknya dari sudut mata, kemudian kembali menatap danau luas.

Riak kecil muncul di permukaan air. Rita sedang memerhatikan genangan air yang bergerak lembut menyapu tepian. Rumput-rumputnya tumbuh subur, mereka menjalar di sepanjang tepian danau.

“Aku tidak tahu, ini.. mengangumkan.”

“Ya.”

“Jim dan aku selalu memilih restoran atau pantai, kami tidak pernah mengunjungi danau.”

“Ya?”

“Ya.”

“Kau suka pantai?”

Rita menggeleng, “tidak terlalu. Itu idenya. Tapi, yang ini benar-benar bagus.”

“Aku memiliki lebih banyak jika kau ingin aku membawamu kesana.”

“Sungguh?”

“Ya, tapi itu tidak gratis.”

Mereka tertawa dan tiba-tiba saja hal itu terasa aneh.

“Bagaimana teater?” tanya Rita kemudian, berusaha memecahkan keheningan di antara mereka.

“Tidak lebih baik tanpamu.”

“Omong kosong! Kalian pasti sudah menemukan yang lebih baik dariku.”

“Ya, tapi itu berbeda.”

“Aku tidak melihat itu sesuatu terlalu buruk.”

“Kau harus melihat teater. Aku bisa mencari tempat kosong untukmu.”

“Kapan?”

“Lusa.”

“Aku ingin, tapi..”

“Aku akan menunggumu. Kau tidak boleh datang terlambat. Acaranya dimulai pukul tujuh.”

Rita dapat mencari alasan untuk keluar rumah hari itu. Namun, meninggalkan rumah seperti sesuatu yang mustahil. Jim akan hadir di sana sebelum ia sempat pergi, kecuali jika laki-laki itu memutuskan untuk bekerja lembur.
Mereka berjalan-jalan di sekitar danau dan bertukar percakapan ringan tentang pertunjukan: bagaimana mereka mengasingkan diri beberapa hari sebelum pertunjukan, atau rentetan persiapan sebelum acara dimulai. Rita lebih banyak mengingat-ingat. Berbicara dengan David memunculkan kembali semangatnya yang dulu. Ketika ia masih cukup muda untuk melakukannya, segalanya berjalan dengan baik. Berkeliling sebelum pertunjukan adalah idenya. Terkadang hal itu dibutuhkan untuk meredakan ketegangan yang dialaminya setiap hendak tampil. David lebih suka menyendiri, mendalami musik dan tidak berbicara pada siapapun.

David menceritakan banyak hal tentang rencananya membeli properti. Ia berencana untuk memulai bisnisnya bersama seorang teman bernama Harry, dan mungkin David akan meninggalkan teater dalam waktu dekat.

“Perkerjaan itu adalah hidupku,” katanya. “.. tapi aku tahu bahwa aku tidak bisa selamanya berada di panggung. Aku sudah semakin tua, nantinya akan ada yang menggantikanku.”

Rita menyetujuinya. Bagaimanapun, menari adalah kesenangannya. Ia dapat membiasakan diri dengan panggung pertunjukan, menyukai bagaimana cara kepuasan itu bekerja hingga pada suatu saat, ketika lampu-lampu itu tidak lagi menyorot wajahnya, ketika fisiknya berada pada batas pengabdiannya, Rita akan mundur perlahan-lahan dan mungkin ia benar-benar terlupakan. Begitulah cara segalanya bekerja. Sekarang yang benar-benar tidak siap dihadapinya adalah kembali ke rumah itu – kembali pada Jim. Rita ingin menghabiskan waktu lebih lama bersama David, mendengar rencana bisnis pria itu dan berbicara lebih banyak tentang mimpi mereka. Tapi waktu bergilir cepat. Hari semakin sore dan Rita harus berada di rumah untuk menyiapkan segalanya: makan malamnya bersama Jim, percakapan mereka di atas meja, menyetrika piyama Jim, dan memastikan rumah itu bersih.

Pikirannya terbagi untuk beberapa hal. Rita cenderung memikirkan rencana-rencana pertemuan selanjutnya dengan David, atau alasan yang akan ia beri pada Jim sehingga ia dapat mengunjungi teater lusa dan menyaksikan pertunjukan David.

Setibanya di rumah, seluruh pemikiran itu meleleh seperti lilin yang diletakkan di atas kepalanya. Rencana-rencana menyenangkan berubah menjadi gagasan buruk yang membuatnya tidak bersemangat. Ada banyak alasan untuk bersenang-senang, namun diiringi oleh banyak kemungkinan yang akan membatalkan kesenangan itu sendiri. Jim ada di urutan nomor satu.

Laki-laki itu pulang lebih cepat dari dugaannya. Rita begitu hanyut dengan pikirannya hingga ia tidak mendengar suara gemuruh mesim mobil Jim dan kemunculan laki-laki itu di dapur benar-benar mengejutkannya. Jim tidak mau bersusah payah dan melempar tasnya di atas meja. Suara berebum keras itu sekaligus membuyarkan lamunan Rita dan ia berbalik untuk melihat laki-laki itu berjalan menyambar soda di lemari pendingin. Saat Jim berbalik menghadapnya, Rita nyaris merasakan emosi membuncah dalam raut wajahnya. Laki-laki itu mengangkat kaleng soda ke mulutnya dan menatap Rita dari atas sana. Sesuatu dalam diri Jim benar-benar berbeda ketika ia sedang marah, perubahannya terlihat begitu jelas.

“Maaf aku tidak mendengarmu datang.”

Rita berjalan mengitari meja, menata sejumlah peralatan makan yang bertebaran di atas sana dan merasa terintimidasi oleh tatapan Jim.

“Kau ingin makan sekarang?”

Jim tidak menjawab pertanyaannya. Laki-laki itu justru berjalan menyebrangi dapur dan berhenti di depan bak pencuci piring. Ia baru saja meraih apel dari keranjang dan menggunakan pisau dapur untuk memotongnya. Bahunya bergerak naik turun, punggungnya tampak menegang dan Rita berdiri kebingungan di tempatnya. Ia masih bertanya-tanya apa yang perlu dilakukannya untuk membuat ketegangan itu mencair.

“Mengapa kau tidak mengangkat telepon?”

Sekujur tubuh Rita menegang dan laki-laki itu berbalik untuk menyaksikannya. Ia memasukan potongan besar apel ke dalam mulutnya, mengunyahnya dengan cepat sembari menunggu jawaban Rita.

“Um.. aku ketiduran,” itu adalah jawaban paling logis yang dapat dipikirkannya. Lagipula, bagaimana bisa ia melupakan soal telepon itu?

“Itu tidak seperti biasanya,” ujar Jim sembari melipat kedua tangannya.

“Ya, aku hanya merasa sedikit pusing, jadi aku minum obat dan itu memberi efek samping yang membuatku cepat lelah.”

“Kenapa kau tidak pergi ke dokter?”

“Tidak, itu hanya pusing biasa. Hanya sedikit kelelahan. Itu saja.”

“Kau yakin?”

“Ya. Maaf.”

“Tidak masalah jika begitu, aku hanya menghawatirkanmu.”

Jim berjalan mengitari meja, menarik sebuah kursi dan meminta Rita untuk duduk di sana. Kemudian laki-laki itu duduk di kursi lain, ia menyingkirkan serbet dari atas meja dan memandangi Rita.

“Kau menghadiri kelasmu hari ini?”

“Ya, seharusnya itu menyenangkan jika aku tidak merasa pusing. Aku pulang lebih cepat.”

“Kau sebaiknya tidak melakukan pekerjaan berat besok. Aku bisa menghubungi Helen untuk menemanimu.”

“Tidak, jangan.”

“Tidak ada-apa, dia tidak akan keberatan. Aku tidak ingin kau melakukan pekerjaan rumah dan jangan berlama-lama menjemur dirimu di bawah matahari. Jika kau ingin aku akan menemanimu sepanjang hari besok.”

“Tidak, tolong.. aku akan baik-baik saja.”

“Baiklah kalau begitu. Katakan saja kau mau apa.”

“Tidak masalah, ini akan membaik.”

Rita menjulurkan tangannya dan meraih piring besar di seberang Jim. Ia meletakkan potongan danging besar di atas sana dan beberapa sayuran rebus kesukaan Jim. Laki-laki itu menikmati hidangannya selagi Rita terpikir untuk membicarakan undangan pertunjukan teater itu. Suasana hati Jim mungkin tidak akan menjadi buruk, dan mungkin ia dapat memanfaatkan situasinya.

“Jim..”

Jim mengangkat wajahnya, sedikit memutar wajah ketika mengalihkan perhatiannya.

“Temanku menghubungiku siang ini dan dia mengundangku untuk menyaksikan pertunjukannya lusa. Jika kau tidak keberatan, aku benar-benar ingin menghadiri acara itu.”

“Siapa?”

Rita berpikir untuk menjawab David, kemudian berpikir ulang untuk memberi jawaban itu.

“Amber.”

“Aku tidak tahu Amber.”

“Kau tidak pernah bertemu dengannya. Aku bekerja dengannya di teater dulu.”

“Oh ya?”

Rita mengangguk.

“Pukul berapa acaranya dimulai?”

“Tujuh. Aku akan naik mobil. Itu tidak akan lama. Aku janji.”

“Tidak, kau tidak akan pergi sendirian.”

“Aku bisa menyetir, apa kau lupa? Aku tidak butuh supir.”

“Siapa bilang kau butuh supir? Ingatanku masih jelas tentang bagaimana kau mengendarai mobilmu dengan ugal-ugalan, sayang. Tapi bukan itu yang kukhawatirkan. Percayalah aku tidak meragukan kemampuan mengemudimu sedikitpun, aku hanya ingin mengatakan kalau aku akan ikut pergi bersamamu.”

Rita memandangi Jim untuk waktu yang lama, menimbang keputusan untuk Jim untuk pergi bersamanya. Seharusnya ia mengetahui skenario Jim dan tidak bersikeras untuk pergi sendirian. Lagipula bagaimana Rita bisa berpikir kalau ia dapat membodohi suaminya dengan mudah.

“Ada apa? Kau kelihatan tidak senang?” tegur Jim.

“Tidak, aku hanya.. kupikir kau bekerja lembur.”

“Ya, tapi aku tidak ingin dianggap sebagai suami yang tidak perhatian. Aku bisa meluangkan waktu. Lagipula itu bukan permintaan besar.”

“Oke. Kurasa itu jelas. Terima kasih sudah mau meluangkan waktumu.”

“Tentu.”

“Aku mau minum bir, kau mau satu?”

“Ya, tolong. Terima kasih.”

---

PUNISHMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang