Chapter 25 : Satu Lompatan Menuju Awal Baru

455 96 2
                                    

Itu adalah akhir dari liburan musim panas pada usianya yang ke-15 tahun. Pemandangan punggung anak laki-laki di kejauhan merupakan hal yang akan selalu dia ingat.

Pada malam hari itu, dia membakar semua catatannya dan mulai berusaha membujuk Ibunya untuk pindah dan pergi, ketahanannya sudah lama rapuh dan habis, dia menahannya sampai sekarang demi bisa melihat seseorang untuk setidaknya lebih lama lagi.

Namun, sangat disayangkan, meskipun Ibunya diam-diam setuju, ada pertentangan sengit yang menyebabkan perkelahian besar di antara keluarga Ayahnya dan Ibunya. Keluarga mereka tidak setuju dan dia tidak dapat berharap itu berhasil dengan baik.

Ketika liburan benar-benar akan segera berakhir dan awal masuk sekolah datang lagi, dia memiliki pemikiran bengkok yang berbahaya setelah secara diam-diam bekerja sebagai portir orang-orang dalam kegelapan.

Pada suatu malam yang sunyi, bunyi pecahan kaca dari botol memekakkan telinga. Dia melihatnya sekali lagi dari balik tempat persembunyian yang selalu dia gunakan untuk mengamati.

Entah karena mentalnya sebagai anak kecil ataukah karena dia memang membenci kejadian di depannya, pikiran aneh bermunculan di kepalanya saat suara-suara semakin keras.

Beberapa lama hingga batas toleransinya berhenti bekerja, dia mengambil pisau yang telah dia taruh di dekatnya dan berjalan mendekati mereka dengan langkah kaku.

Orang itu mengayunkan botolnya ke meja dan memecahkannya, mengarahkan ujung tajam botol ke arah Ibunya. Namun, berikutnya orang itu terjatuh karena saking mabuknya dan botol itu mengenai lengan Ibunya. Darah membasahi lantai dan itu adalah pemicu.

Isi otaknya dipenuhi segala fantasi gila, demi menghentikan kejahatan ini yang merusak mental, dia bersedia menjadi kotor. Dia... sungguh melakukannya, mengabaikan pekikan Ibunya.

"Dokja!"

"Dokja! Hentikan! Tidak, Dokja!"

Dan dia mendapatkan akal sehatnya kembali ketika darah dan teriakan saling beradu. Ibunya menariknya sambil mengacuhkan rasa sakit di lengannya dan menyadarkan putranya yang gila dengan tangisan.

"Hentikan, tidak! Dengarkan Ibu, Dokja!"

Dia melihatnya Ibunya dengan tatapan kosong lalu ke pisau di tangannya yang berlumuran darah kemudian pada tubuh yang terbaring di dekat mereka. Akhirnya, dia memahami apa yang telah dia lakukan.

Telinganya berdengung membuatnya ngeri dan kepalanya menjadi sangat menyakitkan. Dia merasa telah kehilangan jiwanya dan menjualnya kepada iblis. Fragmen ingatannya berantakan sekaligus, berubah menjadi mozaik yang tak beraturan.

Dia tidak hanya samar-samar mendengar Ibunya berkata, "Kau tidak melakukan apapun, ingat itu, ya?! Kau tidak melakukan apapun! Kau tidak melakukan apapun!"

Seakan terhipnotis oleh suara Ibunya yang penuh keinginan, dia secara naluriah mengangguk, sejujurnya tidak tahu apa yang telah dia lakukan. Jika Ibunya berkata dia tidak melakukan apapun, maka jadilah itu.

Ibunya mengambil pisau berdarah dan mengucapkan sesuatu yang membingungkan seperti, "Cerita ini dimulai dari sisi yang berbeda." Juga, "Kau harus mencermati cerita itu nanti!"

Mata hitamnya masih kosong saat dia terus mengangguk seperti boneka. Suara-suara aneh menjerit di kepalanya menyebabkan dia pingsan. Tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

...

Ibunya dipenjara dan dia terpaksa dirawat oleh bibinya dari keluarga Ayahnya. Itu merupakan neraka baru dan lebih intens dibandingkan sebelumnya.

Dia seharusnya menemui psikiater, namun bibi dan pamannya melarang, mengatakan itu sama sekali tidak berguna. Dia harus menanggungnya karena menjadi anak pembunuh.

Fragmen ingatan miliknya masih kacau sehingga dia tampak seperti mayat hidup dengan perasaan sensitif. Semua teguran, ejekan, siksaan kata-kata, dan kutukan itu dia simpan dalam hatinya yang paling dalam.

Selama beberapa waktu berlanjut, dia masih bisa menahannya, itu sampai sebuah novel mengerikan diterbitkan, novel seorang pembunuh yang menekankan bahwa putra pembunuh tidak bersalah.

Namun, itu memicu reaksi sebaliknya dari masyarakat dan lingkungan tempat tinggal dan sekolahnya.

Dia mulai mempunyai gejala gangguan kejiwaan, ditambah dorongan orang-orang di sekitarnya membuatnya nekat.

Dia merasa tidak memiliki apapun lagi di dunia ini, dia tidak punya penyesalan apapun ketika dia melihat ke bawah dari jendela ruang kelasnya, lantai tiga, mungkin cukup untuk anak seumurannya hancur atau mungkin tidak, dia mencobanya.

Mengharapkan kebebasan untuk satu lompatan.

...

Fragmen ingatannya menyatu berkat kecelakaan tersebut, perlahan-lahan memperoleh kesadaran diri dan sesuatu yang penting.

Dia telah melewatkan sesuatu yang penting itu karena terlalu larut dalam rasa ketidakberdayaan, bukan rasa bersalah.

Dia menyusun catatannya lebih lengkap, diisi dengan berbagai rencana terperinci untuk awal yang baru.

***

"Mimpi yang menyebalkan," rutuk Forgotten Ones yang terbangun dari tidurnya di ruang istirahat dekat laboratorium 3.

Walaupun tidak mempengaruhinya sekarang, tetap saja itu menjengkelkan.

Mimpi tersebut muncul akibat efek dari obat khusus semacam racun itu, beberapa kali terjadi secara acak seolah memaksanya mengingat masa lalu kelam.

"Hahhh." Forgotten Ones tidak berani melepas topengnya di wilayah musuh, jadi dia menyangga dagunya dan berpikir keras untuk langkah selanjutnya dalam jadwal. Berusaha mengenyahkan ketidaknyamanan yang tersisa dari mimpi.

...

"Apa kau bisa berbicara?" tanya Forgotten Ones pada Biyoo yang telah mendapatkan kesadaran dari perawatan sebagai subjek uji.

Biyoo menjawab dengan ekspresi datar, "Ya."

Mengejutkan bahwa subjek uji ini tidak sesuai perkiraannya yaitu seperti robot, ternyata Biyoo masih manusia meskipun kemampuannya tidak dapat dipercaya.

'Apakah dia sejenis Esper?' pikir Forgotten Ones yang pernah membaca informasi rahasia tentang makhluk misterius tersebut.

'Dia senjata yang bisa menghancurkan dunia jika kemampuannya berkembang, haruskah kubunuh saja?'

Namun, tentunya dia takkan melaksanakannya saat ini di markas musuh.

"Ada keluhan lain selain kondisi tubuhmu dan kemampuanmu?"

Biyoo yang memiliki rambut pirang kecoklatan dan mata oranye menatapnya penuh minat yang aneh.

Forgotten Ones memiringkan kepalanya ketika mata mereka berpapasan.

"Ahjussi, kamu sama denganku, kan?" bisik Biyoo, hanya dapat didengar pihak lain dan mesin perekam suara di ruangan tidak berfungsi karena kemampuannya.

Mata hitam Forgotten Ones membelalak kaget, dia mengalihkan perhatian ke topik lain segera.

⸢Tidakkah kau ingin pergi dari sini?⸥

Bukan lewat suara melainkan pesan langsung ke otak lewat transmisi.

Biyoo tersenyum. "Itu selalu yang kuinginkan, Ahjussi."

Forgotten Ones memandang wajah tenang yang abnormal di depannya dengan serius kemudian membalas setelah memastikan perekam suara tidak dapat mendeteksi percakapan mereka. Kemampuan manipulasi jaringan kuantum sistem benar-benar keajaiban teknologi dari manusia, bukan robot.

"Mari kita buat kesepakatan."

***

Fanfic ORV : SalvationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang