Chapter 8 : Psikiater

1.2K 257 24
                                    

Visinya timbul tenggelam berkali-kali kemudian menjadi jelas, atap putih di atas, bau obat, dan ranjang rumah sakit membentur kesadarannya. Dia memulihkan indera dan menoleh ke samping untuk mendapati seorang wanita yang tertidur dengan kepala di samping tangannya di ranjang.

Kim Dokja perlahan mengusap rambut wanita itu pelan sambil berkata dalam hati. 'Aku harus mempercepat jadwal untuk bertemu psikiater itu.'

Dia menyadari kesalahannya karena meremehkan penyakit mentalnya, berada di batas antara gila dan waras atau dalam istilah disebut jiwa tidak konsisten semakin membuatnya ragu untuk terus hidup. Sebenarnya dia sendiri tak tahu tujuan hidupnya selain menuruti kemauan sahabat baiknya ini dan melihat orang-orang dari masa lalu dari jauh. Oleh sebab itulah, dia nekat melakukan itu ditambah setelah membaca kalimat <Aku merasa melupakan seseorang> yang ditampilkan di layar smartphone-nya.

Pemikiran bahwa tak ada yang akan mengingatnya, bahkan teman lamanya itu yang dia kira akan selalu mengingatnya. Namun, itu tidak bisa membantu, dia sendiri mengetahui penyebab teman lamanya melupakannya.

Menutup mata sejenak kemudian merasakan wanita itu terbangun. "Kim Dokja?" Masih terlihat setengah sadar selama beberapa saat. "Ah! Kau bangun! Syukurlah, kau hampir membuatku terkena serangan jantung, dasar bodoh!!! Apa kau lupa janjimu padaku? Huh?!" teriak Han Sooyoung dengan ekspresi lega.

Kim Dokja bertanya-tanya mengapa Han Sooyoung bertindak sejauh ini untuknya?

Dia berusaha bangkit, tetapi Han Sooyoung menghentikannya dengan ancaman. "Dengar! Tetaplah begini atau aku akan mengikat tangan dan kakimu!"

Kim Dokja meliriknya dengan kedipan mata bingung, tetapi menuruti perintahnya. Lagipula siapa lagi yang mau menyelamatkannya selain sahabatnya ini?

"Terimakasih, Sooyoung-ah," ucapnya dengan serak.

Wanita berambut sebahu itu tertegun sesaat, lalu mendengus. "Aku akan kembali nanti, makanan apa yang kau mau untuk makan siang? Kimbab toko? Sandwich? Atau mungkin … makanan apapun dengan tomat?" tanyanya sambil menyeringai licik.

Kerutan muncul di kening pria yang berbaring lemah dengan infus menempel di pergelangan tangan kirinya. "Kau tahu aku benci tomat!" rengeknya dengan gusar.

"Tidak, tidak," kata Han Sooyoung sembari menggelengkan kepalanya. "Cobalah sesekali, aku ingin melihatmu mengernyit ketika memakannya," lanjutnya lagi.

"Sooyoung."

Memperhatikan ekspresi tidak senang yang jarang terlihat di wajah pria itu sedikit melelehkan hatinya yang diisi kemarahan terpendam. "Tenanglah, bodoh!" katanya saat berbalik dan berjalan keluar ruangan.

Kim Dokja baru menyadari bahwa dia sendirian di sini, ternyata Han Sooyoung menempatkannya di bangsal individu sehingga dia takkan terganggu oleh pasien lain. Meskipun sangat sepi, tetapi dia menyukainya. Tirai di sisi kirinya berkibar tertiup angin dan cahaya di sisi lain menerobos sekilas mengenai lengannya.

Untuk waktu yang lama, dia berekspresi kosong sembari mengamati pergerakan tirai biru muda tipis tersebut.

***

"Hah? Kau mau ke Amerika akhir pekan ini? Bukankah harusnya masih sekitar dua minggu lagi?" Han Sooyoung menanyakan keputusannya yang mendadak.

"Semakin cepat semakin baik, kan," balas Kim Dokja sambil memakan kimbap daging di tangannya. Rasanya enak sehingga dia menduga bahwa sahabatnya membeli ini di restoran bukan toko.

Tangan kirinya masih nyeri, tetapi dia bahkan tidak berkedip ketika rasa sakitnya bertambah.

Tak ada tanggapan dari wanita di sampingnya membuatnya menoleh kemudian terkejut. Dia belum pernah melihatnya menangis, tidak, itu sangat langka. Kenapa? Kim Dokja berhenti makan dan menatapnya. Punggungnya yang bersandar terasa dingin.

"Tidak bisakah kau menyuruh psikiater itu datang ke sini?" tanya wanita itu tiba-tiba.

"Mungkin bisa, tapi aku ingin ke sana sendiri," jawab Kim Dokja dengan suara datar.

"Begitu, kau tidak akan membiarkanku ikut, kan?"

Han Sooyoung menghapus air mata yang mengalir lalu mengubah ekspresi wajahnya menjadi menantang.

Yang pertama menyahut, "Ya, siapa yang akan menghadiri pesta perayaan itu jika kau tidak mau? Aku tahu ini keterlaluan. Tapi, hanya kau lah yang bisa kuandalkan, Sooyoung-ah."

Han Sooyoung terkekeh sebelum menimpali. "Berapa lama pengobatanmu di sana?"

Pria di ranjang mengangkat bahu menunjukkan bahwa dia juga tak tahu pasti. "Mungkin paling cepat satu atau dua tahun, —"

Puk!

Han Sooyoung menjitak kepalanya, rasanya sedikit menyakitkan. "Itu lama sekali! Kau ingin aku menjadi 'Salvation' selama itu? Oh, baiklah. Lagipula kekayaanku akan bertambah besar," ujarnya.

Sudut mulut pria kurus itu terangkat sesaat ketika berseru, "Kau bisa memakai semua uang di rekeningku, tanpamu, aku takkan menjadi seperti sekarang, seorang penulis dengan nama yang berarti pembaca. Kau tidak perlu khawatir, aku sudah menyiapkan semua kebutuhanku sendiri."

"Oke, oke. Berterimakasih lah lebih banyak padaku! Hum," balas Han Sooyoung sambil menyilangkan kedua tangannya.

Krek!

Pintu geser ruangan terbuka, keduanya melayangkan pandangan ke orang yang membukanya. Seorang wanita berambut pirang cantik dengan mata hijau cerahnya yang terkenal, Uriel, pemilik media dan Perusahaan Hiburan Eden. Dan diam-diam dia adalah seorang penulis webnovel yang berfokus pada tema …… LGBT.

"Dokja-ya~!"

Dia berlari langsung ke tempat Kim Dokja berada lalu memeluknya erat, mengabaikan rengekan pihak lain. "Hal gila apa lagi yang kau perbuat? Kau tidak boleh lupa membawa obatmu saat bepergian!" peringatnya sembari menggosok pipinya yang lembut.

"Uriel-nim, maafkan aku," balas yang terakhir dengan kelopak matanya melebar.

"Ya, ya. Jangan seperti ini lagi. Kau tahu, aku tidak tidur semalaman," bisiknya sedikit keras.

Kim Dokja membalas pelukannya dan tertawa palsu. Dia menyesali tindakannya, setidaknya masih ada mereka yang sangat peduli padanya. Andai saja dia tidak lagi mendengar suara-suara itu selamanya. Oleh karena itu, dia harus sembuh dan melepaskan keterikatan pada obat penenang.

Setelah sesi pelukan berakhir, Uriel memaparkan usahanya dalam menghapus jejak berita tentangnya, entah mengapa Uriel dan Han Sooyoung sangat memperhatikan media yang berniat memasukkannya dalam berita. Menurutnya itu tidak masalah, hanya saja memang dia akan teringat masa lalu yang mengerikan. Namun, hal itu masih bisa ditahan.

Toh dia bukan aktor atau siapapun yang sering muncul dalam perhatian publik, tetapi tetap saja mereka begitu berhati-hati.

Tiba-tiba Kim Dokja teringat satu hal dan dia langsung menanyakannya. "Sooyoung, apa kau bertemu wanita yang bersamaku?"

Han Sooyoung berkedip, kilatan sengit melintas sekilas. "Ya, dia wanita yang cantik. Ehem, jadi kenapa? Oh, dia bisa pulang sendiri, jadi tidak perlu mengkhawatirkannya," jelasnya.

Kim Dokja mengangguk, tidak menyadari perubahan raut muka sahabatnya ketika menjelaskan tentang wanita yang dia ajak menonton kemarin. Mungkin dia harus meminta maaf sebab meninggalkannya tanpa penjelasan.

Pada saat berikutnya, dia menghabiskan makanan di tangannya kemudian mendengarkan pembicaraan dua wanita yang mengetahui kondisinya.

Smartphone-nya ada di meja samping, dia perlahan mengambil dan menyalakannya. Ekspresinya mengeras ketika tidak menemukan hal yang dia cari, foto itu.

'Sooyoung menghapusnya? Apa ini lebih baik?' pikirnya.

***

Aku hanya ingin menulis lebih banyak untuk fanfic ini, yang satunya menjadi agak berat ∪ˍ∪

Fanfic ORV : SalvationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang