37. Laki-Laki Pilihan

74 7 0
                                    

Sifat ingin tahu pasti akan ada pada setiap diri manusia

🕊🕊🕊

Sudah lama sejak Kak Tian menyampaikan pesan singkat itu. Tetapi sampai sekarang tak ada lanjutannya. Entah pemuda itu mundur atau bagaimana aku tidak tahu. Tetapi diam-diam aku bersyukur dan merasa lega. Dengan begitu aku masih bisa menjaga hatiku. Karena jujur saya selama ini diam-diam aku masih berharap bahwa kelak yang akan menjadi imamku adalah Avan.

Meskipun kami tak lagi bertukar kabar, namun aku tetap yakin bahwa hatinya masih tertaut dengan hatiku. Keyakinanku dipicu oleh sifat Avan yang selama ini selalu menepati ucapannya. Maka dari itu aku selalu meyakinkan diriku bahwa dia sedang bersiap untuk meminangku kelak.

"Mbak," panggilku pelan.

"Kenapa dek?" Tanya Mbak Rahma yang tengah menggoreng tempe.

Hanya ada kami berdua di rumah. Kak Tian belum pulang.

"Emm mau nanya boleh?"

"Apa?"

"Soal, laki-laki yang dulu berniat meminangku." Jawabku pelan.

"Oh itu, kenapa nggak coba kamu tanyakan ke Kakakmu. Dia lebih berhak menyampaikan."

"Ih enggak deh." Jawabku spontan.

"Kenapa?" Tanya Mbak Rahma menatapku heran.

"Ya enggak mau. Entar dikira Kak Tian, aku kepo dan malah buat kak Tian ngira kalau aku tertarik." Jawabku dengan santai.

"Dicoba dulu aja Shila, siapa tahu cocok kan."

"Enggak ah, kenal aja enggak, tiba-tiba mau ngajak nikah. Lagian nanti yang akan jadi suamiku harus memenuhi syarat yang aku kasih dulu."

"Setau Mbak nih orangnya baik kok." Ujar Mbak Rahma memasang senyum meyakinkan.

"Berarti Mbak Rahma kenal?" Tanyaku menatap penuh selidik.

"Hanya sekadar tahu. Syarat apa emangnya yang mau kamu ajuin nanti?"

"Ada deh. Masih mikir buat nyiapin syarat untuk siapapun nanti yang datang ngelamar aku." Ujarku dan langsung meninggalkan Mbak Rahma.

"Syaratnya yang berbobot ya, jangan asal-asalan." Ujar Mbak Rahma. Aku hanya menunjukkan dua jempolku.

Otakku terus berpikir untuk membuat syarat yang akan kuajukan pada siapapun pria yang akan meminangku kelak. Hanya berjaga-jaga bilamana laki-laki yang menyampaikan niat baiknya padaku kembali datang. Karena bagiku ini adalah hal yang cukup serius.

Memilih pendamping bukan hanya dilihat dari tampang dan materi. Namun, akhlak, agama, dan hal-hal lain yang penting untuk dipertimbangkan. Karena hidup hanya sekali, dan aku ingin pernikahan hanya sekali juga. Menjalani sisa hidup dengan orang yang kucintai dan mencintaiku, tentunya sosok yang lebih baik dariku dan mampu menuntunku menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Memikirkan hal tentang pernikahan membuat kepalaku berdenyut. Sebelumnya semua hal yang berkaitan dengan pernikahan tak pernah mampir di otakku. Namun sejak laki-laki misterius yang memintaku pada Kak Tian itu datang, perasaanku menjadi tidak tenang. Aku sangat takut kalau dia laki-laki yang memang telah disiapkan Allah untukku.

Benar-benar kecemasan yang sebenarnya tidak penting untuk dicemaskan. Karena sekuat apapun aku menolak, aku tidak akan pernah bisa mengelak dari takdir yang ditetapkan Allah.

"Dek, sholat maghrib jamaah." Teriak Mbak Rahma dari luar kamarku.

Mataku melirik jam beker yang kuletakkan di atas meja belajarku. Sudah maghrib ternyata. Dan aku sama sekali tak menyadari, karena terlalu sibuk memikirkan hal yang cukup menyita pikiranku.

ASHILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang