17. Runtuhnya Ego

136 8 0
                                    

Bukankah tak akan seru jika cerita hanya berjalan datar tanpa ada konflik?

🕊🕊🕊


"Ayah, kenapa pergi ninggalin Zahra?"

"Waktu ayah buat jagain Zahra sudah selesai." Kata ayah sambil tersenyum lembut.

"Tapi Zahra ngga mau sendiri. Semua orang benci sama Zahra yah." Aku memeluk erat tubuh ayah.

"Kamu tau kan ayah ngga benar-benar pergi. Perpisahan ini hanya sementara." Ucap ayah meyakinkanku.

"Semua sanyang kamu. Dan nanti akan ada laki-laki yang akan menggantikan ayah untuk menjaga kamu." Dengan pelan ayah melepaskan pelukanku. Memgecup kepalaku pelan dan pergi meninggalkanku.

Kubuka perlahan mataku ketika ada tangan yang menepuk pipiku. Dan ternyata orang itu kak Tian. Keringat dingin membasahi tubuhku. Ditambah dengan nafasku yang tak teratur.

Pandanganku mengarah menelusuri tempat dimana sekarang aku berada. Kamarku. Entah apa yang telah terjadi yang jelas aku yakin bahwa kak Tian yang membawaku pulang kerumah.

"Minum ya." Kak Tian membantuku duduk dan memberikan segelas air.

Seperti orang linglung aku terus menolehkan kepalaku mencari-cari keberadaan ayah. Karena biasanya ayah selalu menyempatkan waktu untuk mengobrol denganku di pagi dan malam hari.

"Kak, ayah mana?"

Kak Tian diam, dan kemudian menggenggam erat tanganku.

"Ikhlas Ra."

"Ayah mana?" Tanyaku sekali lagi. Air mataku tiba-tiba mengalir begitu saja. Ketika mengingat bahwa ayah telah pergi.

Kak Tian memelukku dengan erat. Meyakinkanku semua akan baik-baik saja, meskipun tanpa ayah. Perkataan macam apa itu, tanpa ayah semua tidak akan baik-baik saja.

Masalah dalam keluarga ini terjadi karena perginya bunda. Dan penyebab utamanya adalah aku. Apalagi sekarang, ayah juga pergi. Semua akan semakin runyam.

"Ayah akan sedih kalau kamu terus kayak gini." Ucap kak Tian mencoba menenangkanku.

"Gara-gara aku lagi." Kataku pelan.

Mendengar penuturan yang keluar dari bibirku, kak Tian menggelengkan kepalanya tegas.

"Takdir Ra."

"Gara-gara aku." Pandanganku masih kosong. Rasa bersalah seakan tumpang tindih dalam otakku. Membuatku tak bisa berpikir jernih.

"Ra!" Bentak kak Tian. Kedua tanganya mengguncang-guncang pundakku. Mencoba membawaku kembali dari keterpurukan.

"Kamu ngga bisa terus-terusan gini. Semua karena takdir Ra. Ayah pergi, karena emang udah waktunya. Terlepas dari apapun di dunia, ayah tetap akan pergi. Tugasnya di dunia sudah selesai."

Suara kak Tian memelan. Pelukanya terlepas. Dan hal yang tak kusangka terjadi. Kak Tian menangis didepanku, menunduk dalam, dengan kedua bahu yang bergetar. Bibirnya mengeluarkan isakan pelan.

"Ikhlasin ayah. Jangan buat kakak tambah hancur dengan kamu yang kayak gini. Bantu kakak melaksanakan tugas dari ayah dengan baik Ra." Katanya di sela isakanya.

Aku menatap kak Tian yang jauh dari kata baik. Baru kali ini kak Tian terlihat sangat rapuh. Mengeluarkan beban yang selama ini di pendam sendiri. Aku memeluk kak Tian erat. Tak mau melihatnya jatuh terpuruk seperti ini.

"Semua takdir Ra. Jangan salahin diri kamu terus."

Aku mengangguk pelan. Mencoba meredakan emosi dalam diriku. Dan mencoba menenangkan kak Tian. Karena sekarang tak ada ayah yang mampu menenangkan putra-putrinya.

Cukup lama kami berpelukan dengan air mata yang tak mau berhenti mengalir.

"Ra." Panggil seseorang yang muncul dari arah pintu.

Kak Aisyah berdiri disana dengan air mata yang mengalir di pipinya. Melangkah pelan kearahku dan kak Tian.

"Maafin kakak." Ucapnya berbarengan dengan memelukku erat. Tangisnya pecah begitu saja.

"Maafin kakak yang selama ini egois dan terus nyalahin kamu." Kata kak Aisyah dengan suara serak.

Mendengar hal tersebut, terang saja membuatku kembali menangis. Bukan tangis kesedihan, melainkan bahagia. Karena entah kapan terakhir kalinya kak Aisyah memelukku.

"Jangan minta maaf. Kakak ngga salah."

Dan pagi ini menjadi hari pertama dimana kami saling memberikan pelukan. Saling menguatkan satu sama lain. Membuang sejenak ego yang ada pada diri. Meskipun nantinya, semua tak akan semulus jalan raya. Akan ada kerikil atau bahkan batu yang setia menanti.

Kemarin mungkin menjadi hari buruk untukku. Namun hari ini, menjadi sebuah hari dimana momen yang sangat kurindukan terjadi.

Jungkir-balik nasib seseorang itu sangat lumrah. Untuk itu, akan sangat sombong bila kita tertawa saat bahagia dan menangis dikala sengsara. Bukankah tak akan seru jika cerita hanya berjalan datar tanpa ada konflik?

Maka itu Allah juga membuat berbagai macam kisah untuk makhluknya. Dan kita sebagai makhluknya hanya dapat menjalani dengan ikhlas.

Mulai hari ini hubunganku dengan kak Aisyah membaik. Meskipun kak Ais masih sering bersikap dingin dan terkadang menghindariku. Namun aku tetap bersyukur, karena dia mau berbicara denganku.

Karena aku tau, tak akan mudah untuknya menerimaku begitu saja. Proses. Nanti semua akan kembali baik-baik saja.

TBC

🕊🕊🕊

Selamat membaca dan jangan lupa tinggalkan jejak ya!
Karena dukungan merupakan kekuatan tersendiri untuk melakukan suatu hal. Untuk itu jangan lupa vote dan komen.

Terima kasih😊

Tegur aku bila apa yang kutulis salah.

Sebaik-baiknya bacaan adalah
Al-Quran

11-01-2020
nenins_



ASHILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang