36. Pesan Singkat dari Kak Tian

73 6 0
                                    

Tak ada yang tahu perasaan dan pemikiran orang lain. Untuk itu, jangan pernah menyamakan mereka dengan dirimu

🕊🕊🕊

Detik berganti menit kemudian menjadi jam. Hari-hari yang tak terasa terus berputar. Tanpa dirasakan dan tanpa disadari.

Sejak Tante Azkia datang ke rumah malam itu, kami semakin dekat. Aku juga cukup sering berkunjung atau sekadar mampir sebentar saat tak sengaja lewat. Hubungan kami seperti seorang Ibu dan anak. Meskipun diam-diam ada sosok yang selalu kami rindukan.

Aku bersyukur bisa mengisi kekosongan hati Tante Azkia setelah perginya Khanza. Karena kata Om Arta semenjak ditinggal Khanza, Tante lebih sering murung dan diam. Jelas saja, karena Khanza adalah pelengkap dalam keluarga Om Arta.

Meskipun sudah terbiasa dengan kepergian Khanza. Malam ini aku kembali mengingatnya dan sama sekali tak bisa memejamkan mata. Ada hal yang ingin kuceritakan padanya.  Tentang ucapan Kak Tian tadi saat makan bersama. Ucapan yang berhasil mengusikku. Membuatku sulit untuk mengistirahatkan pikiranku. Masalah serius. Dan itu mengenai diriku.

Selesai makan malam tadi Kak Tian memintaku untuk membuatkannya teh. Tidak biasanya. Karena semenjak ada Mbak Rahma, semua keperluan Kak Tian sudah menjadi tugas mutlak yang dikerjakan Mbak Rahma. Namun tadi Kak Tian meminta aku yang membuatkannya. Kupikir Kak Tian hanya rindu dengan rasa teh buatanku. Tetapi ada hal lain yang ingin dibicarakan denganku. Masalah serius yang menyangkut diriku.

"Shila." Panggil Mbak Rahma di luar kamarku.

"Masuk aja Mbak, pintunya nggak aku konci kok." Sahutku dari dalam. Aku segera menaikkan selimutku mencapai leher saat Mbak Rahma masuk ke kamarku.

"Kamu sudah tidur ya?"

"Belum kok, baru mau sih sebenarnya." Jawabku berbohong. Karena nyatanya entah sudah berapa lama aku mencoba memejamkan mataku. Tetapi tetap saja gagal.

"Mbak ganggu ya? Tadi pas ke dapur ambil air, Mbak denger kamu kayak ngomong sendiri, makanya Mbak samperin."

"Eh Mbak Rahma denger?" Tanyaku tak percaya.

"He'em, masalah tadi yang disampaiakan Kakak kamu ya?" Tanya Mbak Rahma tepat sasaran.

"Aku bingung Mbak harus merespon bagaimana." Ujarku mendesah pelan.

"Coba deh yakinin diri kamu sendiri. Nggak ada yang bisa nentuin kalau bukan kamu sendiri. Minta petunjuk Allah." Nasihat Mbak Rahma.

Ya, tak akan ada yang bisa menentukan hidupku selain diriku sendiri. Semua pilihan dan keputusan berada di tanganku. Tak akan ada yang bisa mengubah apa kehendakku selain Allah. Dan aku percaya apapun pilihanku itulah takdirku.

°°°

Pagi harinya semua bersikap biasa saja. Kak Tian juga sama sekali tak mengungkit hal semalam yang kami bicarakan. Mungkin membiarkanku untuk memikirkan semuanya.

"Ada kuliah pagi kamu?" Tanya Mbak Rahma.

"Iya Mbak. Oh ya nanti aku pulangnya telat ya, ada janji sama anak-anak."

"Anak-anak siapa?" Tanya Kak Tian heran.

"Biasa, Alya, Mega, Marko sama yang lainnya." Jawabku tanpa menatap Kak Tian.

"Itu terus. Kayak nggak punya temen." Sindir Kak Tian.

"Aku selektif dong dalam memilih temen. Percuma banyak temen, kalau datang cuma pas butuh dan menghilang saat dibutuhkan. Meskipun agak nakal mereka itu berkualitas. Selalu hadir terdepan saat yang lain ada masalah. Dan maju lebih depan lagi kalau denger kata traktiran." Ujarku menjelaskan.

"Iya. Terserah apa kata kamu. Yang penting kamu nggak bandel kayak dulu Kakak sudah Alhamdulillah."

"Bahas masa lalu terus. Udah ah, aku berangkat." Pamitku menyalami Kak Tian dan Mbak Rahma bergantian.

Tak ada yang menarik di kampus, selesai kuliah aku langsung menuju alun-alun bagian utara. Cafe terlalu sempit untuk kami yang banyak tingkah dan banyak bicara. Tempat terbuka lebih nyaman dan fleksibel.

"Si Mega enggak dateng?" Tanyaku yang tak melihat kehadiran Mega. Biasanya anak itu akan datang pertama.

"Sibuk dia. Besok atau besoknya gitu dia kan lamaran. Masa lo nggak tahu?" Ujar Hilmi yang membuatku sedikit kaget.

"Hah? Seriusan?" Tanyaku tak percaya.

"Yah ni bocah kebanyakan tidur, sampe temen mo nikah kagak tahu." Ujar Marko setengah menyindir.

"Eh emang beneran?" Tanyaku masih tak percaya.

"Kenapa emangnya? Nggak rela lo di duluin sama Mega?" Ujar Alya mengejek.

"Ya nggak gitu, kalau gue mau juga ada kok yang siap nikahin gue." Ujarku santai.

"Serius lo, ada yang udah mau nyeriusin emangnya?" Tanya Marko menatapku dengan intens.

Mendapat tatapan seperti itu membuatku sedikit canggung. Apa-apaan mulut ini berbicara seenaknya saja.

"Ya, secara gue kan cantik. Pasti banyak lah yang antre." Jawabku mencoba bersikap sntai.

"Beuh, iya cantik. Tapi mana ada yang mau kalo kelakuan kayak preman. Apa-apa lo kasih kepalan tangan. Mentang-mentang anak karate." Ujar Hilmi menatapku malas.

Ya, dulu dia memang pernah terkena tonjok dariku. Salah dia sendiri, berani menggoda Khanza. Tak peduli teman atau tidak bila salah tetap saja akan ku beri hukuman.

"Kalo cowoknya macem lo mah bukan hanya kepalan aja, bantingan juga ok." Tantangku pada Hilmi yang langsung mengibaskan tangannya.

"Tapi dari kita siapa duluan ya yang sold out?" Tanya Hilmi memandang kami satu-persatu.

"Harusnya Shila. Tapi karena Shila udah nggak ada cowok,,,, kayaknya Alya deh. Kan dia yang udah punya cowok." Ucapan konyol dari Marko membuat Alya dengan tega mencubit keras lengannya.

"Apaan sih lo?" Protes Marko tak terima tangannya sudah di cubit. Aku hanya tertawa melihat tingkah mereka berdua. Selalu seperti itu tapi tak bisa dipisahkan.

"Lagian kata-kata lo gak mutu." Ujar Alya judes.

Entah apa yang membuatnya bersikap seperti itu. Padahal pertanyaan dari Marko wajar saja bagi seseorang yang seusia kami.

"Kenapa sih Al?" Tanyaku.

Raut wajahnya langsung berubah saat perbincangan mengenai pernikahan dimulai. Seperti ada hal yang tak disukai.

"Nggak papa kok. Cuma males aja kalau bahas nikah-nikah."

"Kenapa males?" Tanya Hilmi penasaran.

"Tau deh banyak nanya kalian. Intinya kalian tuh lebih baik mikir masa depan dulu. Kuliah, kerja yang bener. Rumah tangga tuh nggak semudah seperti apa yang kalian pikirin." Ujar Alya menggebu.

Kami langsung terdiam saat mendengarnya berbicara dengan nada sedikit meninggi. Tak ada yang berani berkomentar. Semua hanya diam. Sampai sesaat kemudian Hilmi yang mencairkan suasana dengan lawakan khas dia. Untungnya Alya bukan seseorang yang mudah marah. Dia masih merespon candaan-candaan yang tercipta.

Pertemuan singkat yang selalu menyenangkan. Mengurangi beban pikiran. Sejenak semua masalah terlupa saat canda gurau menghiasi. Kekonyolan teman-teman membuatku bisa tertawa tanpa mengingat hal-hal yang sebenarnya masih terus menghantuiku.

Ya, pesan singkat yang disampaikan Kak Tian tadi malam. Tentang seseorang yang berniat serius untuk menghalalkanku.

TBC

Jeng, jeng, jeng.
Nggak nyangka Ashila udah sampai tahap ini. Bentar lagi bakalan ending kalau nggak malas nulis sih.

Selama masih ada yang membaca dan memberi vote pd cerita ini, insyaAllh akan tetep update sampai ending. Jadi mohon bantuannya untuk vote dan komen ya😊

Tegur aku bila apa yang kutulis salah

Sebaik-baiknya bacaan adalah Al-Quran

12-12-2020
nenins

ASHILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang