7. Berpikir Positif

148 9 0
                                    

Kadang menyembunyikan suatu hal dari orang lain itu lebih baik, daripada harus menceritakan

🕊🕊🕊

Pagi ini aku memutuskan untuk menjenguk Khanza. Dengan semangat pagi aku mulai mengayuh sepeda gunung milik kak Tian. Sebenarnya di rumah memang ada motor yang menganggur, tapi karena aku ngga berani naik motor sendiri, akhirnya sepeda inilah yang menjadi temanku.

Sampai di pertiga jalan rumahku banyak anak-anak yang sedang bermain lompat tali yang memanggilku.

"Mbak Zahra mau kemana?" Teriak Lita dengan sangat kencang.

"Mau sepedahan dong biar langsing" jawabku yang kemudian membuat anak-anak yang lain tertawa.

Aku melambaikan tangan kearah mereka kemudian mengayuh sepeda dengan penuh semangat.

Sampai di rumah Khanza aku tidak menemukan mobil yang biasa digunakan kak Rozi.

"Assalamualaikum, Khanza" ucapku sambil mengetuk pintu.

Tidak ada sahutan, kuulangi hingga berkali-kali tetapi tetap tidak ada jawaban.

Ah mungkin sedang keluar sebentar. Pikirku. Tapi?? Sepagi ini?? Aku segera mengambil ponsel yang tersimpan di saku celana dan dengan gerakan cepat segera menghubungi Khanza.

Tapi tidak ada jawaban. Yang terdengar hanyalah suara operator pertanda ponsel Khanza dimatikan.

Aku mulai cemas dan khawatir. Entah mengapa aku merasa ada yang tidak beres dengan Khanza, seperti ada yang disembunyikan dariku.

Dengan perasaan yang tak karuan aku memutuskan untuk meninggalkan rumah Khanza.

Sedikit rasa kecewa saat mengetahui Khanza tidak ada di rumah. Itu berarti liburanku akan berakhir dengan aku yang sendiri lagi.

°°°
"Mbak Zahra, jangan sepedahan terus, nanti kalau kurus jadi tengkorak loh" celetuk Lita, saat aku menuju rumah.

Anak-anak itu tidak akan pulang sebelum di panggil orang tuanya. Bahkan kalaupun dipanggil mereka akan melarikan diri dari ibunya.

Aku menghentikan sepedaku di dekat pohon kemudian menghampiri mereka yang sedang bermain.

"Main apa?" Tanyaku.

"Cerita setan mbk, kemarin Ifa liat di kali, anak pocong" jawab Liza dengan antusiasnya.

Aku menahan tawa mendengar cerita mereka. Padahal aku yakin 100% apa yang diceritakan mereka sama sekali tidak pernah terjadi. Biarlah anak kecil memamg imajinasinya di luar batas kemampuan orang dewasa.

"Mbak punya cerita lho, serem banget. Kalian mau denger?" Tanyaku pada mereka dan dijawab anggukan yang sangat antusias.

"Dulu waktu mbak kecil, mbak tuh punya temen namanya Vivian. Nah Vivian itu biasa main sama makhluk halus" ceritaku dengan nada yang kubuat seseram mungkin.

"Ah masa mbak. Makhluk halusnya apa?" Tanya Lita kepo.

"Ya pokoknya makhluk halus, mbak juga ngga tau"

"Makhluk halus sama bedak halusan mana mbak?" Tanya Ifa dengan polosnya.

"Makhluk halus itu setan. Kok disamakan sama bedak ya jelas beda" Liza mendorong bahu Ifa dengan gemas. Sedangkan aku tertawa melihat tingkah mereka.

"Udah jangan gitu, kan Ifa ngga tau" ucapku melerai perdebatan mereka antara makhluk halus dengan bedak.

"Lanjut mbak"

Baru saja aku hendak melanjutkan ceritaku, tapi salah satu dari ibu mereka memanggil untuk segera pulang.

"Eh itu dipanggil ibu nya loh. Cepet pulang" kataku menyuruh agar cepat pulang.

ASHILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang