24. Kisah Kita Selesai

127 12 3
                                    

Sebuah kisah pasti akan selesai.
Tetapi kenangan dan pesan yang diterima tak akan pernah usai begitu saja

🕊🕊🕊

Aku terus berlari di sepanjang koridor rumah sakit. Tidak peduli dengan beberapa orang yang kutabrak. Juga Kak Tian yang masih tertinggal jauh dibelakangku. Tetapi bodohnya aku tidak bertanya dulu Khanza dirawat di ruang apa?

"Ke sini." Ujar Kak Tian berbelok kiri.

Sampai di depan ruang rawat itu, aku terdiam. Langkahku tiba-tiba terhenti. Tubuhku menegang dengan tangan yang bergetar hebat. Ah dia datang disaat yang tidak tepat.

"Hei tenangin diri kamu." Ujar Kak Tian yang menuntunku untuk duduk di salah satu kursi tunggu.

Berkali-kali aku mengatur napasku. Mencoba tenang. Kak Tian menggenggam erat kedua tanganku yang bergetar dan dingin. Mengusap-usapnya dengan lembut.

"Jangan nangis." Ujar Kak Tian ketika aku sudah mulai tenang.

Tetapi air mata malah kembali luruh. Bagaimana bisa aku tidak menangis disaat aku terlambat menyadari sesuatu.

"Ayo masuk." Ajak Kak Tian membantuku berdiri.

Aku menggeleng kuat dan menubruk tubuh Kak Tian. Sebelah tanganku memukul-mukul dadaku yang terasa sesak.

"Zahra hei, lihat Kakak. Kamu kuat, kamu bisa hadapin semua masalah yang ada dalam hidup kamu."

"Aku bukan sahabat yang baik." Ucapku dengan masih memukul dadaku.

Kak Tian meraih kedua tanganku dan menggenggamnya erat. "Hei hei jangan mikir gitu. Kakak yakin kamu adalah sahabat terbaik Khanza. Dia sayang banget sama kamu. Ayok masuk. Dia butuh kamu sekarang."

Aku masih menggeleng, tetapi Kak Tian menuntunku untuk tetap masuk ke dalam. Memeluk Kak Tian adalah cara agar tak ada yang bisa melihat mataku yang sembab. Aku tak berani untuk menatap Khanza.

"Shila, sini."

Suara itu, suara yang selalu terdengar ceria kini menjadi sendu. Perlahan aku mendekatinya. Selang infus dan alat-alat yang tak kutahu apa namanya menempel sempurna ditubuhnya. Tetapi Khanza tetap menampilkan senyuman seperti biasa. Senyum yang selalu meneduhkanku.

"Maaf ya kemarin aku nggak datang. Kamu marah?"

Aku menggeleng, dan mengusap air mata yang terus saja turun dari mataku. Aku menggenggam erat tangan Khanza yang terasa dingin.

"Kenapa kamu nggak bilang?" Ucapku dengan suara pelan. Isak tangis tetap saja keluar dari bibirku.

"Ini bukan kabar gembira. Kenapa aku harus kasih tahu kamu?"

"Aku sahabat kamu. Itupun kalau kamu anggap. Seharusnya kamu berbagi sama aku, bukan diam aja Za. Aku bodoh banget karena nggak menyadari semua ini. Bodoh banget." Ujarku dengan sesenggukan.

"Kamu sahabat yang baik. Kamu Shilaku, Zahra Ashilaku yang terbaik."

"Hust. Jangan banyak bicara. Kamu istirahat aja." Ucapku.

"Aku capek kalau tidur terus. Aku juga takut nggak bangun lagi."

Air mataku kembali turun. Bahkan Tante Azkia sudah tak bisa lagi mengontrol tangisannya. Om Arta juga. Kemudian Om Arta mendekat pada Khanza dan mengelus pelan kepala Khanza.

"Jangan ngomong gitu. Kamu harus istirahat supaya cepat sembuh."

"Kamu dengar kan kata Shila, kamu bilang kamu sayang sama Shila dan mau Shilanya yang dulu kembali lagi. Jadi kamu harus kuat. Wujudkan mimpi itu nak. Sekarang itirahat." Ujar Om Arta seraya tersenyum.

ASHILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang